Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-1
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-1
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-1
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN: MAHASISWA SEBAGAI
PEMIKIR DAN ILMUWAN
B. SUB POKOK BAHASAN: MEMBANGUN KESADARAN DIRI SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: MEMBANGUN KESADARAN DIRI SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUAN
C.Kompetensi Standar: Mahasiswa
memahami hakikat dirinya selaku pemikir dan ilmuwan professional.
D.Kompetensi Dasar: Diharapkan setelah selesai perkuliahan ini Anda dapat:
- menjelaskan arti dan hakikat mahasiswa sebagai pemikir sejati;
- memberikan contoh pemikir sejati;
- menjelaskan hakikat pikiran sebagai pengobat rasa ingin tahu;
- menjelaskan hakikat pikiran sebagai tenaga keilmuan.
I. Komunitas yang Ingin Mencetak Jati
diri dengan Mengerjakan Pikiran.
Mahasiswa adalah kelompok manusia atau komunitas
akademis yang "secara aktual" sedang senangnya mencari jati diri
dengan pikirannya, untuk berusaha mencetakkan baginya sebuah identitas baru
sebagai "kaum pemikir". Filsafat Ilmu, karena itu, pertama-tama
berusaha menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan dalam diri mahasiswa sebagai
calon pemikiran sejati. Kesadaran diri selaku pemikir sejati, mendorong Anda
selaku mahasiswa untuk mengembangkan diri sebagai ilmuawan sejati, dan calon
professional yang sejati.
Memang, filsafat memandang manusia sebagai makhluk
berpikir (Homo Sapiens), namun filsafat juga menegaskan bahwa tidak semua
manusia, secara otomatis, dapat memanusiakan diri sebagai pemikir sejati.
Kesadaran diri sebagai makhluk berpikir, merupakan langkah awal bagi manusia,
khusunya mahasiswa dalam menempatkan diri sebagai makhluk istimewa yang berbeda
dari makhluk lainnya dengan berusaha mengembangkan daya pemikiran atau
kemampuan berpikirnya secara baik, aktif, kreatif jujur, dan benar.
Jelas bahwa manusia, khusunya mahasiswa, tidak dapat
membangun kehidupan, mengembangkan diri, serta kehidupan kemahasiswaannya tanpa
berpikir. Mahasiswa, setiap saat seolah berada dalam sebuah kecemasan
intelektual atau kegelisahan pemikiran, dalam mengamati keadaan di sekitarnya.
Mereka terdorong untuk mengamati, menguji, mengkritisi, dan mengembangkan
pemikiran-pemikiran baru yang lebih jelas atau tajam dalam memecahkan realitas
dimaksud. Mereka tidak mau menerima sesuatu sebagai apa adanya, tetapi
menghadapinya sebagai obyek berpikir untuk mengerjakan pengertian-pengertian
(konsep), keputusan-keputusan intelektual yang khas. Mereka menguji setiap
konsep, teori, atau pandangan dalam dunia kenyataan dengan menciptakan bahasa
sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikirannya. Pendeknya, mereka ingin
memecahkan misteri ketidaktahuan, dan menemukan pemikiran-pemikiran dari
hal-hal yang telah ada menuju pengetahuan baru, serta menciptakan pemikiran
atau penemuan-penemuan baru dalam bentuk ilmu,teknologi, dan industri.
Perhatikan gambar di bawah, yang seolah mengekprasikan
seorang mahasiswa dalam kegelisahan pemikiran, yang seolah-olah membuatnya di
berpikir dalam dua dunia. Di satu sisi, ia berkelana dengan pikirannya dalam
berbagai teks pemikiran yang seolah menggerogori alam pemikirannya, sementara
di sisi lain ia berpikir dalam dunia relitasnya dalam sebuah keprihatinan
pemikiran (keprihatinan intelektual), dengan mata pemikirannya yang melotot
untuk mengamati, menguji, mengkritisi, dan memecahkan permasalahan hidup yang
terjadi di lingkungannya.
Gambar No.1. Mahasiswa yang berpikir dalam dua dunia.
Keterangan Gambar:
- Gambar imaginer ini menunjukkan bahwa mahasiswa selalu berpikir dengan dua kaki, yaitu satu kaki ditancapkan dalam dunia ide, yang tersaji secara konseptual dalam bentuk teks (buku), sementara kaki yang lain ditancapkan dalam dunia empiris yang dibimbing oleh mata inderawinya dalam sebuah dunia pengalaman yang nyata.
- Ciri berpikir dalam dunia ide diarahkan untuk mendapatkan legitimasi rasional guna kepentingan teori keilmuan, sementara berpikir dalam dunia empiris untuk mendapatkan legitimasi empiris untuk kepentingan aplikasi atau penerapan keilmuan.
Mahasiswa, karena itu, hendak menegaskan bahwa, manusia sejak
dari lahir sampai matinya, tidak pernah berhenti dari berpikir. Manusia, hampir
tidak ada masalah menyangkut kehidupannya (baik yang remeh dan sederhana
misalnya, sarapan pagi sampai pada soal-soal yang paling asasi seperti sorga
atau neraka), yang lepas dari jangkuan berpikirnya. Baginya, manusia yang
mengabaikan tugas melatih, mendewasakan, dan mencerdaskan diri dan hidup dengan
berpikir akan tergilas oleh kehidupan itu sendiri, sehingga tidak berdaya
menghadapi arus kehidupan yang terus mengalir. Otak manusia bekerja seperti
jantung yang tidak berhenti berdenyut, siang malam, sejak masa kecil sampai tua
renta. Otak manusia menyimpan berbagai jaringan yang menyimpan serta
mengalirkan berbagai juta, bahkan, bilyun ingatan, kemampuan bicara, perhitungan,
keinginan, kekuatan, pola, dan suara. Otak manusia, membuat manusia mampu
mengerjakan pengertian-pengertian (konsep), keputusan-keputusan, menciptakan
bahasa sebagai tanda kepribadian dan alat komunikasi, memecahkan misteri
ketidaktahuan, dan menemukan pemikiran-pemikiran dari hal-hal yang telah ada
menuju pengetahuan baru, serta menciptakan pemikiran atau penemuan-penemuan
baru dalam bentuk ilmu, teknologi, seni, dan industri.
Baginya, banyak manusia yang memiliki potensi
kecerdasan, tetapi bisa lalai, gagal, atau salah dalam mengembangkan
kecerdasannya, baik dalam membangun kehidupan sehari-hari. Bahkan, banyak yang
gagal mengembangkan potensi kecerdasannya dalam meraih ilmu atau pengetahuan
sebagai sarana kekuatan dan kekuasaan manusia dalam alam. Akibatnya, mereka
gagal meraih martabat diri dan mengembangkan kehidupan sebagai makluk berpikir.
Melalui studi filsafat Ilmu, hendak ditegaskan bahwa
martabat diri manusia ditentukan oleh sejauh mana ia berpikir dan mengembangkan
pikirannya. Filsuf Rene Descartes, menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa:
"karena berpikir maka aku ada" (Cogito ergo sum). Implikasi pandangan
tersebut adalah bahwa karena manusia itu berpikir maka ia ada", sebab
tanpa berpikir maka manusia tidak pernah akan menyadari keberadaan aktualnya
sebagai potensi "ada" dan "mengada", atau mampu menempatkan
diri sebagai "subyek pengada" bagi ada lainnya (berupa pengetahuan,
ilmu, atau penemuan lain) di dalam hidup ini. Tanpa berpikir, manusia tidak
memiliki perbedaan secara mendasar (essensial) dari makhluk lainnya, dan
mungkin, akan mudah dibatasi (dideterminasi) oleh kekuatan alam atau makhluk
lainnya.
II. Contoh Mahasiswa Sebagai Pemikir
Sejati.
Mahasiswa, bukan sekedar sebuah gelar intelektual,
tetapi tanda keberadaan actual sebagai pemikira sejati. Kesadaran diri dan
pengembangan diri sebagai homo sapiens membuat para mahasiswa bergerak dari
sekedar sebuah "keberadaan kodrati" atau "keberadaan
potensial" menjadi "keberadaan aktual" sebagai pemikir sejati
yang mampu menyumbang bagi pengembangan ilmu, kebudayaan, dan kesejahteraan
masyarakat. Melelui pengembangan diri sebagai pemikir sejati, mahasiswa mampu
menyumbang bagi pemenuhan keterbatasan kodratinya serta membudayakan diri dan
alam lingkungannya menjadi pribadi dan lingkungan yang bermartabat serta
berbudaya. Pikiran membuat mausia mampu melakukan transendensi diri sehingga
mampu membebaskan diri dari berbagai determinasi dan represi, baik yang
bersifat alami, tradisi, provokasi, maupun "penyakit peradaban" yang
ingin membelenggu dan memperbudak manusia secara utuh dan sitematis.
Bagi seorang mahasiswa atau pemikir sejati, Homo Sapiens
bukan sekedar sebuah tanda keberadaan, tetapi tanda kekuatan dan kekuasaan (the
Power). Bahkan, lebih daripada itu, bernilai pada dirinya sebagai "tenaga
budaya". Mahasiswa sebagai pemikir, hendak membuktikan bahwa manusia,
dengan pikirannya, bukan saja mampu mengetahui rahasia alam, tetapi mampu
menguasainya dan "menanganinya". Manusia, dengan pikirannya, sebagai
"tenaga budaya" mampu membangun berbagai sistem berpikir, sistem
pengetahuan, dan sistem keilmuan yang mampu menempatkannya sebagai aktor zaman.
Manusia, dengan pikirannya, mampu membudayakan diri dan alam lingkungannya
menjadi manusia dan alam lingkungan yang berbudaya. Hanya manusia berpikir lah
yang mampu membangun sebuah "keberadaan" yang khas manusiawi bagi
diri dan lingkungannya (bd. Watloly: 2001: 21-37).
Jadi, Homo sapiens adalah tanda kesadaran manusia akan
otonomi dan kreatifitas dirinya yang melahirkan kemampuan manusia untuk bernalar,
mencerap, mengamati, mengingat, membayangkan, menganalisis, memahami, merasa,
membangkitkan emosi, menghendaki, melakukan sintesis, abstraksi, serta
mengadakan suatu perhitungan menuju ke masa depan. Homo sapiens merupakan
sebuah keberadaan aktif yang memungkinkan dunia obyektif direfleksikan dalam
konsep, putusan intelektual, serta memungkinkan manusia mengorganiser
pikirannya darai taraf-taraf hipoteisis (dugaan-dugaan sementara) menuju taraf
pembuktian untuk menjadi teori, ilmu, teknologi, industri, dan sebagainya,
serta membuat manusia mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan secara efektif
dan sitematis.
Aristoteles, karena itu menganjurkan; "agar orang
yang tidak mampu berpikir dan tidak mau mengembangkan daya pikirannya harus
dilenyapkan saja". Alasannya, mereka adalah sama dengan orang yang cacat
dan lemah yang tidak berguna dan, karennya, akan menjadi beban bagi masyarakat
atau negara. Aristoteles, dalam hal ini, memandang pikiran sebagai kemampuan
yang khas manusia untuk secara kritis melakukan: pertama; pengamatan, kedua;
menilai dan mengklasifikasi atau mengkategorikan konsep-konsep, ketiga;
menempatkan perbedaan dalam rangka kombinasi dan hubungan, keempat; melakukan
perhitungan-perhitungan berdasarkan kemampuan membeda-perbedakan, mengklasifikasi,
dan mengkombinasi hubungan.
Pendeknya, mahasiswa adalah sebuah dunia actual dan
fungsional yang ingin mewujudkan kapasitasnya, sebagai komunitas baru yang
berciri khas sebagai kaum intelek atau "pemikir aktual". Para mahasiswa, karenanya, giat membangun struktur
perilaku, cara berkomunikasi, cara bergaul, cara berbahasa, serta
bereksperimentasi hidup dalam pola dan arus pemikiran yang khas dan dinamis.
Mereka mengkritik pikiran-pikiran, tradisi, dogma-dogma, ideologi, serta
melakukan eksplorasi, analisis, perbandingan, dan penyimpulan-penyimpulan yang
progresif, berupa persetujuan-persetujuan (affirmasi) atau penolakan-penolakan
(negasi) untuk menunjukkan kepiawaiannya sebagai "pemikir aktual".
Jiwa mereka diliputi sebuah semangat yang tunggi untu berusaha menyusun atau
memformulasi pemikirannya sedemikian rupa menjadi tanda kepribadian yang
"memekarkan".
Mahasiswa, lebih daripada itu, ingin menampilkan diri
sebagai "pemikir aktual", penggagas seminar, aktivis kelompok
diskusi, bedah pemikiran, dan "demonstran intelektual". Tujuannya,
ingin mendemontrasikan atau mengujicoba kekuatan pemikirannya sebagai the power
of logic untuk menyikapi realitas masyarakatnya, sedemikian rupa, sehingga
diakui atau dikenal luas sebagai pemikir sejati, komunitas rasional, ilmuwan,
dan kaum berpengetahun. Mereka, dengan itu, berusaha menyakinkan masyarakat
bahwa, pikiran dan kaum pemikir adalah "kekuatan" yang mampu
mengemansipasi masyarakatnya dari kemandegan hidup yang mengancam serta
kekuatan-kekuatan determinan berupa; represi, arogansi, dan candu kekuasaan
yang dianggapnya sebagai kepalsuan, absurditas, dan irasional yang harus
dilawan dengan pikiran sehat.
Mahasiswa adalah "calon pemikir", bukan dalam
arti bahwa mereka, sebelumnya, belum pernah berpikir atau belum terbiasa
berpikir. Maksudnya, mereka di sini baru berada pada sebuah periode khusus
dalam hal memandang dan mengerjakan pikiran itu sendiri secara kritis,
terstruktur dan sistematis sebagai sebuah keberadaan baru baginya. Mahasiswa,
pada periode ini mulai terlatih untuk bereksperimentasi pemikiran dalam rangka
mengembangkan alam berpikirnya secara filosofis logis, yang menjadi dasar bagi
proses "berpikir keilmuan".
Mahasiswa, karena itu, harus mengolah pemikirannya
secara teratur dan bertahap, untuk mencapai tahap-tahap kepuasan inteketual
yang dipersyaratkan dalam mewujudkan dirinya selaku pemikir yang ilmuwan, bukan
pemikir biasa. Mereka, justru itu, harus membangun sebuah tradisi berpikir
dalam hidup aktualnya, untuk dapat mewujudkan jatidirinya selaku
"master" berpikir. Mereka mengeksperimentasi pemikiran dengan cara
mengkritik, menganalisis, mengkaji, menggugat, serta menguji pikiran dan
pandangan, termasuk dalamnya, ideologi-ideologi, tradisi, atau ajaran-ajaran
yang ada, untuk mengambil keputusan-keputusan intelektual yang baru, sebagai
taha-tahap berpikir progresif menuju pencapaian pikiran atau
pengetahuan-pengetahuan baru di dalam hidupnya. Ciri berpikir yang dimaksud,
yaitu berpikir secara rasional (bukan subyektif-emosional), terstruktur, metodik,
dan logis untuk menghasilkan kategori-kategori pemikiran sehat, lurus, dan
obyektif. Melalui itu, mahasiwa akan melihat dirinya di dalam teater
pemikirannya sendiri dengan aneka penyiasatan hidup untuk mencapai kesuksesan.
III. Pikiran Mengobati "Rasa
Ingin Tahu".
Sebagaimana diketahui, salah satu ciri fundamental
manusia sebagai Homo sapiens ialah "ingin tahu". Namun, suasana atau
semangat "ingin tahu" itu sendiri akan menjadi beku dan mati tanpa
hasil budaya apa pun, bila tidak ada pikiran yang mampu membimbing manusia
untuk mengobati kerinduan "rasa ingin tahu" itu. Bahkan, kesadaran
berpikir itu sendirilah yang telah memunculkan "rasa ingin tahu"
dimaksud sebagai tanda kesadaran (existencial consciousness) yang khas bagi
manusia. Pikiran mampu mengobati "rasa ingin tahu", sehingga manusia
tidak digerogoti atau terus dicemaskan oleh sebuah "keingintahuan"
yang statis (kekanak-kanakan).
Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu"
manusia sedemikian rupa sehingga manusia mendapat sebuah titik pangkal kesadaran
untuk makin melangkah menuju tahap kedewasaan dan kematangan hidup. Manusia,
melalui pikirannya, tidak hanya menterapi "rasa ingin tahu"-nya
secara psikologis, tetapi mampu menempatkannya pada sebuah realitas
pembelajaran (diskursus) untuk mengisi ruang keinginannya itu dengan
kompetensi; pengetahuan, keilmuan, ketrampilan, etika, moralitas, dan
spiritualitas. Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia dan
menempatkannya sebagai "tenaga budaya" dalam melakukan berbagai karya
budaya. Pikiran juga mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia dan
menempatkanya sebagai "tenaga ilmu" dalam mengerjakan berbagai karya
keilmuan yang terus menyingkap misteri ketidaktahuan yang mencemaskan menjadi
alam penaklukkan yang mengasikkan.
Pikiran adalah sebuah daya atau "tenaga" yang
mampu mengobati, mengubah, dan mendinamisasi suasana keraguan, kesangsian atau
kebingungan dan rasa tetidaktahuan yang mencekam dalam diri manusia. Pikiran
mampu menangani gejolak kebathinan dimaksud menjadi semangat "keingintahuan"
yang menyegarkan eksistensi manusia, serta mencitrakan dirinya sebagai
"kreator dunia". Sebagai "tenaga budaya", pikiran telah
membangkitkan dan menumbuhkan sebuah kesadaran yang khas bagi manusia untuk
memosisikan diri sebagai makhluk beradab atau berbudaya yang mampu mengatasi
kejahatan, kebiadaban, asosial, dan mengembangkan peradaban diri dan dunianya
menjadi diri pribadi dan dunia yang berpribadi, beradab, dan bermartabat.
Pikiran memberikan sebuah martabat dan sekaligus beban
tanggungjawab yang menyuburkan bagi manusia. Melalui itu, manusia, bukan
sekedar menjadi makhluk pemikir (homo sapiens), namun akan terus mengembangkan
diri menjadi makhluk pekerja keras atau berbudaya (homo vaber), makhluk sosial
(homo social), dan makhluk beragama (homo religius). Pikiran membuat manusia
membatasi, mengarahkan, dan mengendalikan diri sebagai "aktor nilai"
dengan norma atau aturan (orde) kehidupan yang jelas.
Pikiran membuat manusia mampu berada (bereksistensi) dan
berkarya (beraktivitas) dalam tatanan (orde) atau sistem (ordo) kehidupan yang
memadai bagi diri kemanusiaannya maupun diri kesosialannya. Daya pemikiran
dimaksud membuat manusia mampu mengisi dan mengkreasi berbagai sistem kehidupan
dalam menyiasati tuntutan kehidupannya secara nyata, sehingga manusia memiliki
sebuah sistem keberadaan (Ordo essendi), sistem nilai atau pengetahuan (Ordo
Cognoscendi), sistem kerja (Ordo Fiendi), dan sistem niat pengabdian (Ordo
Agendi) untuk mewujudkan kapasitas diri secara nyata sebagai agen kehidupan
bagi dunianya. Semuanya itu hanya mungkin dilakukan oleh manusia sebagai
makhluk berpikir.
Jelasnya, melalui pikiran, manusia mampu memahami dan
"mengolah diri" sedemikian rupa sehingga makin halus, makin peka, dan
makin terbuka. Pikiran sebagai "tenaga budaya" membuat manusia juga
mampu berinspirasi, beraspirasi, dan bertransformasi secara aktual dan dinamis
utuk menciptakan perubahan dan kemajuan-kemajuan dalam hidup. Bahkan, dengan
pikirannya, manusia mampu mengembangkan pengertian dan pemahamannya secara
sistematis dan terstruktur, baik secara Verbalis (kata atau perkataan),
Konotatif (pengertian atau pemahaman), dan Denotatif (kewajiban etis) untuk
memajukan kehidupannya.
IV. Pikiran Sebagai Tenaga Keilmuan.
Pikiran (bah. Inggris mind), menunjuk pada isi dan ruang
kesadaran atau keinsyafan manusia. Pikiran sebagai sebuah substansi rohani yang
berupa daya rasional, membuat manusia mampu memiliki kesadaran, kemampuan
kritis, bernalar, berprakarsa, berkehendak, serta bertanggung jawab. Pikiran,
sebagai salah satu fenomena eksistensial manusia, menjiwai kehidupan dan
perbuatan manusia, serta mempersatukan manusia dengan dunia dan sesamanya dalam
sebuah tatanan sosial yang beradab. Pikiran, karenanya, bukan hanya merupakan
sebuah hasil berpikir yang bersifat statis, tetapi juga merupakan sebuah proses
yang penuh dinamika perubahan dan perkembangan secara terus-menerus. Orang,
karena itu, sering membedakan pikiran berdasarkan dua sisinya, yaitu; sisi
materi dan sisi rohani (dinamika kesadaran). Bagi mereka yang memandang pikiran
dari sisi materi, pikiran adalah sebuah bentuk energi material yang sedang
bergerak, sementara bagi mereka yang memandang pikiran dari sisi rohani melihat
pikiran sebagai aktivitas non material yang terus mendorong aktivitas-aktivitas
mental dalam rangka mengkritisi, memprediksi, dan mengambil keputusan-keputusan
intelektual.
Sejauh ini, ada berbagai teori yang bersifat monistik,
dualistik (dikhotomis), atau dialektis tentang pikiran itu sendiri. Penganut
aliran "Monisme" akan cenderung mengidentikkan pikiran dengan
proses-proses otak tertentu, misalnya; pencerapan, persepsi (kesan atau
pemahaman), dan kesadaran. Penganut aliran "Dualisme" (Dikhotomis),
di sisi lain, akan cenderung memisahkan pikiran dari keutuhan tubuh manusia,
dengan menunjukkan berbagai ciri yang sungguh membedakan atau
mengkonfrontasikan pikiran (rohani) dari tubuh (materi) dimaksud.
Pikiran makin mendorong dan mengembangkan niat, rasa,
atau semangat keingintahuan manusia menjadi sebuah "tanaga ilmu".
Melalui pikiran, manusia makin mengembangkan semangat "ingin
tahu"-nya kearah penemuan konsep-konsep, ide, gagasan, dan
pembuktian-pembuktian hipotesisi atasnya untuk menjadi teori atau pikiran
keilmuan yang jelas. Manusia, melalui itu, mampu menyingkap keberadaannya,
bukan sekedar sebagai fakta, tetapi masalah dengan dinamika personanya, yang
harus dipecahkan, baik secara psikologis, biologis, teologis, antropologis,
sosiologis, ekonomis, paedagogis, ekologis, dan sebagainya. Bahkan, manusia
mampu menciptakan aneka hukum bagi pengembangan kehidupannya, seperti; hukum
ekonomi (the Law of having), hukum tindakan (the Law of doing), dan hukum
budaya (The Law of Being).
Pikiran, dalam kedudukan sebagai "tenaga
ilmu", berfungsi memberi dasar-dasar pemikiran keilmuan, menentukan obyek
dan prinsip-prinsip metodik keilmuan serta ciri khas masing-masing cabang ilmu.
Tenaga keilmuan tersebut, berfungsi pula untuk memperdalam serta memperluas
cakrawala pertimbangan-pertimbangan dan putusan-putusan teoretis sehingga mampu
mendorong perkembangan ilmu-ilmu khusus, maupun aplikasi atau penerapan
keilmuan dengan pertimbangan-pertimbangan nilai agar ilmu pengetahuan dapat
bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Akhirnya, pikiran, baik
sebagai "tenaga budaya" maupun "tenaga ilmu", merupakan kekuatan
strategis untuk menyingkapkan keluhuran atau keagungan manusia yang tiada
bandingnya, sehingga rasa "ingin tahu" manusia menemukan artinya yang
strategis dan mendalam.
Manusia, dengan pikirannya, telah mendorong rasa
keingintahuannya itu sehingga telah mampu mengantarkannya memasuki dan
menyelami segala seluk beluk alam pemikiran, baik yang bersifat spekulatif -
teoretis dalam rangka menghasilkan pikiran-pikiran keilmuan, maupun
pikiran-pikiran yang bersifat praktis operasional dalam rangka membangun
kecakapan, menciptakan alat-alat untuk membantu manusia dalam mempertahankan
diri serta sekaligus mengembangkan hidupnya sebagai makhluk beradab. Bahkan,
manusia dengan pikiran telah balik menantang dan mendorong pengembangan
pikirannya itu, sedemikian rupa, sehingga mampu mendongkrak segala keterbatasan
kodratinya, dan menyumbang bagi kepenuhan diri sebagai makhluk budaya yang bisa
mengusai alam yang mendeterminasi dirinya.
Cara pengobatan pikiran atas "rasa ingin tahu"
manusia itu, antara lain dengan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan untuk
mengolah tanah yang gersang menjadi lahan subur dan produktif guna menunjang
kehidupannya. Bahkan, dengannya, manusia mampu mengubah tanah yang berbukit
atau hutan rimba menjadi istana, menciptakan bangunan bertingkat, kapal,
pesawat, dan sebaginya untuk mengatasi keterbatasan kikinya yang tidak mampu
berjalan mengantarkannya secara cepat, mengelilingi pulau dan benua dalam waktu
yang singkat.
Pikiran merupakan sebuah dharma kehidupan yang
meluhurkan dan memampukan manusia menyingkap realitas, supaya memungkinkan
manusia berkomunikasi satu dengan yang lainnya serta meningkatkan harkat
kemanusiaan manusia. Manusia dengan pikirannya, mampu menciptakan bahasa, baik
untuk kepentingan komunikasi maupun untuk kepentingan penegasan eksistensi atau
jati diri. Meskipun demikian, pikiran manusia bukanlah sebuah lingkup pengada
manusia yang lengkap dan sempurna. Pikiran, sesungguhnya, merupakan sarana
pengada yang memungkinkan mengadanya berbagai macam tindakan dan hasil tindakan
manusia yang mengisi alam kebudayaannya. Pikiran mendorong manusia untuk
mengetahui dan menghasilkan berbagai turunan pengetahuan atau ilmu yang,
seakan, tidak berkesudahan, berintikan pada penilaian mengenai manusia dan
kemampuan mengadanya di tengah alam kehidupannya secara nyata.
Pikiran lah yang membuat manusia menjadi makhluk yang
bertanggungjawab dan karenanya, dapat dimintakan pertanggungan jawabnya atas
segala hal yang dilakukan. Manusia dibimbing secara jelas dengan pikirannya
untuk memahami, menilai, dan menyiasati secara jelas dan tertanggung jawab
kondisi konkretnya agar ia bertindak sesuai martabatnya. Konkritnya, dengan
pikirannya, manusia mampu melakukan transendensi terhadap realitas seperti apa
adanya, dan makin menuju kepada kemungkinan-kemungkinan yang terbayang melalui
pengamatan terhadap realitas yang dialaminya.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A.2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta.
--------------2003, Pikiran Sebagai Tenaga Ilmu, (Belum diterbitkan), hal 2-14.
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A.2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta.
--------------2003, Pikiran Sebagai Tenaga Ilmu, (Belum diterbitkan), hal 2-14.
F. Evaluasi:
- Jelaskan arti dan hakikat mahasiswa sebagai pemikir sejati;
- berikan beberapa contoh pemikir sejati;
- Jelaskan hakikat pikiran sebagai pengobat rasa ingin tahu;
- Jelaskan hakikat pikiran sebagai tenaga keilmuan.
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-2
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-2
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-2
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PEMIKIR DAN ILMUWAN
B. SUB POKOK BAHASAN : MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN
B. SUB POKOK BAHASAN : MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN
C. Kompetensi Standar :
Mahasiswa memahami hakikat dirinya selaku pemikir dan ilmuwan professional.
Mahasiswa memahami hakikat dirinya selaku pemikir dan ilmuwan professional.
D. Kompetensi Dasar:
Setelah menyelesaikan pembahasan topik ini, Anda diharapkan dapat:
Setelah menyelesaikan pembahasan topik ini, Anda diharapkan dapat:
- menunjukan dalam skema proses berpikir dalam kerangka keilmu.
- membedakan proses berpikir keilmuan dengan berpikir yang non keilmuan;
- menjelaskan beberapa ciri pemikiran keilmuan;
- menjelaskan kelebihan dan kekurangan berpikir keilmuan.
1. Berpikir dalam Kerangka Tugas
Keilmuan.
Berpikir, secara filosofis, adalah sebuah tugas
kemanusian dan tugas budaya yang makin memperluas kesadaran (reasoning)
manusia. Manusia, dengan berpikir, mampu mendongkrak keterbatasan-keterbatasan
kodrati manusia untuk melakukan penemuan-penemuan (invention) serta karya-karya
budaya dalam rangka memanusiakan diri dan lingkungannya menjadi pribadi dan
lingkungan yang manusiawi serta berbudaya. Berpikir, karena itu, bukan
merupakan proses kelana dalam berbagai hantu khayalan atau untuk mencari
kepuasan yang sifatnya temporer. Justru, berpikir merupakan proses yang mesti
membuahkan pengetahuan, ilmu, “Spesialisme”, teknologi, serta “Industrialisme”.
Bahkan, pada sisi tertentu, kemajuan pikiran telah
memacu berkembangnya pengetahuan dengan segala akan pinaknya, sebagaimana
ditunjukkan di atas. Kenyatan itulah yang membuat ilmu, “Spesialisme”,
teknologi, dan “Industrialisme” dimaksud, telah menggejala luas dan makin
menguasai hidup manusia. Ilmu, pengetahuan dan teknologi seakan telah
memberikan atribut yang khas bagi manusia sebagai “manusia modern” yang
hidupnya, seolah-olah, diabdikan sepenuhnya untuk mengejar “kemajuan” dan
“pertumbuhan” (progres).
Mahasiswa bukan hanya menghadapi pikirannya, tetapi
mengolah, mengkritisi, dan menatanya sedemikian rupa dengan pola penalaran yang
logis maupun metode pemikiran yang khas untuk membangun dunia keilmuannya yang
khas. Mahasiswa, dalam proses pembelajarannya di perguruan tinggi terarah
sepernuhnya untuk mengerjakan pikiran-pikiran keilmuannya, baik untuk
kepentingan pengembangan ilmu secara luas maupun untuk penerapan dalam
memecahkan permasalahan kehidupan di dalam lingkungannya.
Guna membatu Anda memahami hal itu, Anda diminta untuk
menyimak gambar berikut.
Gambar No.2. Mahasiswa mengolah benih-benih pemikiran
dalam membangun dunia keilmuan.
Keterangan gambar:
- Titik-titik merah adalah benih benih pemikiran, baik di dalam daya rasio (kesadaran kritis) maupun di dalam gejala kehidupan yang diamati.
- Saringan berlabel i merupakan proses berpikir dalam rangka mengkaji, menyaring, menganalisis, menalar, dan menguji benih-benih pemikiran menjadi jenis pengetahuan yang khusus atau pengetahuan keilmuan.
- Bola dunia menunjuk pada sebuah sumbangan pemikiran keilmuan bagi pengembangan dunia keilmuan secara luas. Dengan berpikir dan mengembangkan pikiran keilmuannya dengan baik maka seorang mahasiswa akan menjadi ilmuwan yang mendunia.
Terlihat bahwa progres epistemik atau pertumbuhan
pemikiran tersebut, pada awalnya, merupakan serangkaian gerak kegiatan
pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya tiba pada
sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan khusus (special knowledge) yang dalam
hal ini disebut pengetahuan keilmuan atau pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge).
Ilmu atau pengetahuan keilmuan mana, bukanlah pikiran
yang statis dan final, karena pikiran keilmuan itu sendiri segara akan memasuki
sebuah dunia keilmua terus berkembang secara multiplikatif. Umumnya, setiap
perkembangan ide atau konsep merupakan berpikir itu sendiri. Gerak pemikiran
ini, dalam kegiatannya mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari
obyek yang sedang dipikirkan. Bahasa adalah salah satu dari lambang tersebut
yang berfungsi menyatakan obyek-obyek tersebut dalam bentuk kata-kata. Hal yang
sama juga dilakukan dalam matematika. Kemampuan berpikir seorang bayi dimulai
dengan belajar berbahasa (bahasa verbal) kemudian dengan mengenal angka-angka
(bahasa angka) yang dilanjutkan dengan belajar berhitung. Proses berpikir itu
kemudian dilakukan secara formal dalam bentuk pendidikan prasekolah, Sekolah
Dasar, dan sebagainya.
Gerak pemikiran tersebut, makin berkembang dengan adanya
prestasi-prestai pemikiran yang telah diarahkan serta diolah sedemikian rupa
untuk menghasilkan teknologi yang makin menemui puncak-puncak kejayaannya dalam
bentuk tekno-industri, serta ”Industrialisme” yang mampu memproduksi
hasil-hasil, serta spesies-psesies pemikiran baru secara berlipat ganda.
Meskipun demikian, pikiran dan hal mengerjakan pikiran itu sendiri dengan
segala turunannya yang disebutkan di atas, kini, telah menjadi urusan banyak
pihak dengan berbagai macam kepentingan, baik yang bersifat luhur (positif),
maupun buruk (negatif). Hal itu pun dilakukan dengan berbagai macam media, baik
berupa media teknologi informasi, teknologi genetika, bio-medis, maupun
teknologi persenjataan (hasil pemikiran itu sendiri), yang bukan hanya
menguasai proses pembelajaran secara formal, tetapi jauh lebih daripada itu,
telah menguasai dan menggerogoti otonomi berpikir, moralitas, serta hak-hak
privat manusia, dan makin pula menimbulkan berbagai arus kecemasan dalam diri
dan kehidupan manusia, tanpa ketenangan.
Perkembangan arus keilmuan pun, makin menunjukkan sebuah
perkembangan yang beranekaragam, bercabang-cabang, dan bahkan, menjurus pada
spesialisasi yang terpecah-belah. Spesialisasi, yang di samping telah membawa
keuntungan bagi pemecahan masalah-masalah kemanusiaan dan dunia, akhirnya telah
terjebak menjadi “Spesialisme”, dalam arti sikap spesialisasi yang tertutup
untuk kepentingan (egoisme dan keangkuhan) spesialisasi dan kaum spesialis itu
sendiri. Pasar spesialisasi telah menjadikan manusia itu sendiri sebagai obyek
transaksi, uji-coba, lahan garapan, dan bukan semata-mata untuk menyembuhkan
manusia.
Intinya, pengetahuan atau ilmu, sebagai produk pikiran
manusia, membantu manusia untuk makin mengenal dan menemukan dirinya serta
serta makin menghayati hidupnya dengan sempurna. Berbagai ragam pemikiran telah
dan akan terus dikembangkan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia
yang terus berkembang. Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia
untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Justru itu, ilmu bukan untuk ilmu
(ilmu qua ilmu), tetapi untuk manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
2. Ciri pemikiran keilmuan
Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa.
Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh, suatu cara berpikir
yang penuh kedisiplinan. Seorang pemikir ilmuwan tidak akan membiarkan ide dan
konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun semuanya itu akan
diarahkannya pada suatu tujuan tertentu, yaitu pengetahuan. Jadi, berpikir
keilmuan, secara filosofis, adalah berpikir sungguh-sungguh, disiplin, metodis,
dan terarah kepada pengetahuan.
- Berpikir sungguh-sungguh. Artinya, berpikir dalam kerangka keilmuan membutuhkan keseriusan serta curahan pemikiran yang mendalam dengan totalitas penghayatan untuk membedah suatu pemikiran sampai mendapatkan kejelasan, kepastian, ketepatan, dan keajekan-keajekan pemikiran yang sungguh mendasar bagi sebuah bangunan keilmuan. Berpikir sungguh-sungguh dalam arti yang demikian, mengandaikan pula bahwa pemikir ilmuwan, tidak sekedar bermai-main dengan pikirannya untuk mencari popularitas, tetapi sebaliknya menjadi teladan atau prototype kebenaran dari pemikiran keilmuan itu sendiri.
- b. Berpikir disiplin. Artinya, berpikir keilmuan membutuhkan sikap bathin yang kuat (komitmen diri) dalam mengawal pengembangan pemikiran sampai pada pembuktian-pembuktian kebenaran pemikiran keilmuan, tanpa berdusta, memanipulasi, atau menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran pemikiran keilmuan demi kepentingan yang tidak tertanggung jawab. Berpikir disiplin menunjukkan pula sikap ketaatan dan kesetiaan pada garis atau ciri pemikiran yang ditekuni sampai membuahkan hasilnya sebagai ilmu, meskipun hal itu bertentangan dengan kebiasaan diri atau lingkungan utuk menunjukkan kebenaran-kebenaran baru yang perlu dipedomani dalam membedah misteri kehidupan yang dihadapi.
- c. Berpikir metodis. Artinya, setiap pemikiran keilmuan mesti diproses dan dihasilkan dengan cara-cara kerja yang tertanggung jawab, baik dari sisi rasio maupun teknis analisis, pengujian, dan pembuktiannya. Dengannya, dapat menjadi acuan bagi public dalam rangka pengujian dan pengembangan ilmu tersebut.
- d. Berpikir yang terarah pada pengetahuan. Artinya, berpikir keilmuan harus dirahkan sedemikiran rupa untuk menghasilkan sistem pemikiran yang tersusun secara sistematis dan menjadi kerangka – kerangka pemikiran dasar bagi sebuah bangunan keilmuan.
Berpikir keilmuan, secara filosofis, karenanya, hendak
mengatasi kekeliruan dan kesesatan pikir serta mempertahankan pemikiran yang
benar terhadap kekuatan fantasi dan omong kosong.
3. Kelebihan dan kekurangan pemikiran
keilmuan.
Ilmu dan anak kandungnya yang disebut spesialisasi,
mesti dilihat dalam kelebihan dan kekurangan manusia, sehingga ilmu dan
spesialisasi tersebut tidak seolah-olah didewa-dewakan (tanpa cacat), juga
sebaliknya tidak diabaikan dengan berbagai alasan yang keliru. Kepicikan
semacam itu, merupakan cermin keterbatasan memahami hakikat kedalaman,
keluasan, dan jangkauan (keterbatasan) pemikiran itu sendiri. Filsafat hendak
menunjukkan bahwa mereka yang ingin mendapatkan kepuasan dari berpikir, harus
menganggap berpikir sebagai sebuah nilai (value) dan petualangan yang
mengasikkan, bukan sebagai suatu beban atau kuk yang memperbudak diri dan
kemanusiaan itu sendiri.
Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kekuatan fisik
manusia boleh lemah dan hancur tetapi pikiran manusia tetap hidup dan menang
karena pikiran, pada dirinya, memiliki nilai-nilai keluhuran. Daya pemikiran
manusia akan menemukan jalan keluar dari kekacauan, kejahatan, dan perbudakan
penderitaan. Selalu ada saja para pemikir dan peneliti yang mengembangkan
warisan pemikiran sebelumnya atau berusaha menemukan pemikiran-pemikiran baru
yang lebih memadai baginya. Seorang filsuf, Gilbert Highet mengatakan:
“Perjalanan pikiran manusia yang penting inilah, telah membawa manusia keluar
dari kebiadaban ke arah peradaban dan kebijkasanaan, dan akan lebih lanjut
membawa kita ke sana”.
Artinya, kelebihan pemikiran keilmuan adalah membantu
manusia untuk menyingkap berbagai misteri kehidupan secara luas dan mendalam.
Pemikiran keilmuan sekaligus membantu manusia untuk menangani dan menyiasati
aneka realitas yang mendeterminasi kehidupannya, sehingga menjadi realitas yang
menunjang kemanusiaannya, dalam sebuah tugas peradaban. Pemikiran keilmuan
membantu menyingkap keluhuran manusia dalam menemukan jalan keluar dari
berbagai lingkaran kejagatan kebodohan dan kemiskinan.
Meskipun demikian, orang pun harus kritis dalam
membangun pemikiran keilmuan, segingga tidak mendewa-dewakan pemikiran dan lupa
bahwa ilmu adalah buatan manusia, bukan ciptaan malaekat. Ilmu, sebagai buatan
manusui, tidak dapat menyelesaikan segala hal karema tidak semua masalah
kehidupan dapat dipecahkan dengan ilmu. Ilmu mengandung pengandaian-pengandaian
yang juga terbatas, baik dari sisi jangkauan pemikiran ilmuwan maupun dari sisi
keterbatasan metodenya atau kelengkapan keilmuannya.
E. Sumber:
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty,
Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
- tunjukan dalam skema proses berpikir dalam kerangka keilmu.
- bedakan proses berpikir keilmuan dengan berpikir yang non keilmuan dalam bentuk skema;
- jelaskan beberapa ciri pemikiran keilmuan;
- jelaskan kelebihan dan kekurangan berpikir keilmuan.
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:39
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-3
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-3
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-3
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. SUB POKOK BAHASAN: MAHASISWA
SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN
B. SUB POKOK BAHASAN: PERGURUAN TINGGI SEBAGAI TEMPAT PESEMAIAN CALON PEMIKIR DAN ILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: PERGURUAN TINGGI SEBAGAI TEMPAT PESEMAIAN CALON PEMIKIR DAN ILMUAN
C. Standar Kompetensi : Mahasiswa
memahami hakikat dirinya selaku pemikir dan ilmuwan professional
D. Kompetensi Dasar :
- menjelaskan kedudukan dan fungsi Perguruan Tinggi;
- menunjukkan beberapa contoh aktivitas mahasiswa di perguruan tinggi sebagai ilmuwan;
- menjelaskan kedudukan dan fungsi filsafat ilmu di perguruan tinggi;
- menunjukkan salah satu manfaat filsafat ilmu dalam membangun kekuatan logika keilmuan.
1. Hakikat dan Fungsi Perguruan
Tinggi.
Perguruan tinggi adalah tempat pesemaian bibit-bibit
pemikir, intelektual, dan profesional dengan berbagai macam jenis dan arus
pemikiran keilmuan yang terus berubah dan berkembang. Fungsi utama Perguruan
Tinggi adalah membentuk kompetensi para mahasiswa sebagai calon pemikir,
ilmuwan, dan profesional yang mampu menampilkan pemikirannya secara akademis
(filosofis–logis). Mahasiswa, dengan sarana berpikir filosofis-logis, akan
dibimbing agar mampu menggarap dan mengembangkan alam pemikirannya sedemikian
rupa, sesuai bidang akademisnya, menjadi pengetahuan, dan melalui pengetahuan
akan terbentuk ilmu–ilmu, yang kemudian akan terus berkembang. Pikiran-pikiran
keilmuan yang dikembangkan di perguruan tinggi itulah yang kemudian
menghasilkan pikiran-pikiran teknologi yang akan melahirkan teknologi sebagai
sebuah kekuatan yang menentukan dalam kehidupan manusia modern. Pikiran-pikiran
teknologis itu kemudian berkembang menjadi pikiran-pikiran industrial yang
mampu manciptakan berbagai pemikiran sistemik (input, out put, dan out come)
yang sinergis dalam membangun sebuah kehidupan masyarakat modern itu sendiri.
Akhirnya, pikiran itu sendirilah yang telah mendorong lahirnya berbagai pemikiran
kritis dalam rangka tugas menyiasati, baik ilmu pengetahuan, teknologi, dan
industri yang cendrung mengorbankan manuisia dan kemanusiaan itu sendiri.
Berpikir secara filosofis-logis, artinya, berpikir
secara kritis, rasional, obyektif, dan normatif karena harus menaati
prinsip-prinsip berpikir yang sehat dan lurus, bukan berdasarkan kemauan atau
dorongan emosi belakah. Studi Filsafat ilmu, dalam sebuah kedudukan kurikuler
di Perguruan Tinggi, bermaksud mengorientasikan sebuah pola pemikiran yang bersifat
kritis, radikal, sistimatis, logis, holistik, komprehensif-integratif, dan
eksistensialistik. Ciri berpikir tersebut merupakan fondasi filosofis yang
kokoh dalam menyanggah serta memekarkan setiap setiap arus pemikiran yang
menjadi lahan pengembangan diri para intelektual muda. Hal mana, begitu penting
dan strategis bagi para mahasiswa dalam membangun kompetensi dirinya selaku
pemikir, ilmuwan, calon profesional yang mampu memahami dan mengerjakan
pikirannya secara tepat, sehat, dan benar dalam bidang keilmuan yang
ditekuninya.
Prinsipnya, perguruan tinggi harus mampu membimbing
mahasiswa untuk dapat membangun pikiran-pikiran keilmuannya secara filosofis
untuk makin menemukan eksistensi “ilmuan pemikir”, bukan sekedar ilmuan “foto
kopi”.
Gambar No 3. Diskursus keilmuan di Perguruan Tinggi.
Gambar ini menunjukkan sebuah realitas dunia
kemahasiswaan di Perguruan Tinggi di mana mahasiswa dibimbing untuk melakukan
komunikas keilmuan, baik secara internal keilmuan maupun lintas keilmuan.
Mereka dibimbing untuk melakukan eksplorasi pemikiran, menggagasnya, dan
mengkomunikasikan atau mendebatkan pikiran-pikirannya secara terbuka. Mereka
belajar untuk saling mengkritik dan saling mempertajam ide-ide dengan berbagai
ruang pemaknaan. Mereka secara bebas dan terbuak melaukan transaksi dan
negosiasi pemikiran untuk memecahkan topik pembelajaran atau permasalahan
aktual yang terjadi dalam lingkungan alam maupun dalam lingkungan sosialnya.
Melalui itu, mereka mampu menyuguhkan kebenaran-kebenaran serta validitas dan
keabsahan pemikiran yang diterima secara luas dan berlaku universal. Pendeknya,
tidak ada sebuah kejeniusan pemikiran keilmuan apa pun yang bersifat ilmu atau
keilmiahan tanpa sebuah norma pembimbingan maupun pertanggungjawaban
filosofis-logis yang memadai.
Pengalaman menunjukkan bahwa masih ada mahasiswa dan out
put perguruan tinggi yang belum dapat mengerjakan pikirannya secara tepat dan
benar, karena belum terlatih secara matang dalam membangun dan menguji
pikiran-pikirannya secara kritis, terbuka, dan terstruktur. Mereka, karenanya,
cenderung menghafal, memfotokopi, dan mengikuti secara buta berbagai warisan
pemikiran serta berbagai rumusan formal dari norma apa pun tanpa sebuah
pertimbangan kritis. Bahkan, banyak yang hanya mengikuti kuliah Filsafat ilmu
secara formalistik untuk mengejar target pencapaian sistem kredit semester
(SKS) yang harus ditempuh, tanpa berusaha membangun sebuah kompetensi pemikiran
yang memadai dengan melakukan transfer of knowledge secara efektif dan
sistimatis.
2. Tujuan Filsafat Ilmu di Perguruan
Tinggi.
Studi filsafat ilmu di Perguruan tinggi bertujuan agar
mahasiswa dibimbing untuk memahami, betapa luas dan dalamnya hakikat serta
tanggungjawab pikiran dan pengetahuan manusia. Perguruan tinggi, secara
filosofis, berfungsi dalam rangka pencerdasan budi atau intelektual dan budaya
masyarakat. Perguruan tinggi, karena itu, berusaha menumbuhkan kesadaran dalam
diri mahasiswa dan masyarakat bahwa pikiran, pengetahuan, dan ilmu adalah salah
satu fenomena eksistensi manusi yang tidak dapat dipisahkan dari nilai dan
panggilan tugas kemanusiaan yang diembannya.
Bagi Filsafat ilmu, nilai dan panggilan tugas kemanusiaan
telah begitu lekat (inheren), baik di dalam pikiran atau pengetahuan, termasuk
dalamnya, bidang ilmu dan teknologi sedang yang ditekuni oleh para mahasiswa
sesuai bidang minat dan profesinya di perguruan tinggi. Usaha tersebut,
bertumpuh pada manusia sebagai subyek, sehingga mampu mendongkrak segala
keterbatasan kodratinya, dan menyumbang bagi kepenuhan diri sebagai makhluk
budaya yang bisa mengusai alam yang mendeterminasi dirinya.
Mengingat mata kuliah Filsafat ilmu ini disajikan pada
semester – semester awal maka diharapkan, baik secara substantif maupun
metodis, perkuliahan dimaksud dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
ketrampilan berpikir yang baik bagi mahasiswa untuk sejak dini dapat terlatih
membangun pendekatan filosofis-logis itu di dalam membangun kompetensi
keilmuannya. Sasarannya pada upaya memperkenalkan prinsip-prinsip dasar studi
filsafat yang membimbing mahasiswa untuk membongkar dan menggali berbagai
realitas kekayaan tentang dunia kemanusiaannya yang penuh daya misteri, serta
membentuk dasar-dasar pemahaman filosofis yang berhubungan teknik atau seni
dalam membangun atau mengerjakan pikiran dalam membangun tugas keilmuan.
Tegasnya, filsafat ilmu hendak menunjukkan bahwa
filsafat adalah ilmu berpikir atau seni mengolah pikir untuk menghasilkan
karya-karya keilmuan dan karya budaya yang berguna. Melalui itu, mahasiswa
dibimbing untuk memahami bagimana pikiran sebagai daya intelektual manusia
telah menjadi kekuatan peradaban dan budaya yang telah menghasilkan
kemajuan-kemajuan besar dalam hidup dan menjadikannya sebagai master budaya.
Melalui studi Filsafat ilmu, mahasiswa dibimbing untuk
membangun kemampuan filosofisnya dalam mengolah pikir guna mengkritisi berbagai
pemikiran keilmuan yang digeluti serta makin terbimbing untuk menghasilkan
karya-karya keilmuan dan karya budaya yang berguna, sesuai bidang keahliannya.
Inti pembangunan ilmu bettumpuh pada tiga dimensi keilmuan, yaitu:
pertama; dimensi kritis, dengan tujuan untuk membangun
otonomi diri serta kemampuan nalar dalam menilai dan mempertanyakan berbagai
kemungkinan (klaim-klaim kebenaran bersifat keilmiahan, ideologis, yuridis,
maupun religius) dalam rangka pengembangan dan penegasan eksistensi (pilihan
hidup);
kedua; dimensi kreatif, dengan tujuan untuk mengolah budi
(kecerdasan), mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi
permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual;
ketiga; dimensi kontemplatif untuk menajamkan kepekaan,
mampu mengenal kekuatan dan kelemahan, serta menasihati dan membimbing diri
(menangani diri) sehingga memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi
eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan
masyarakat (daerah) yang beradab dan bermartabat.
3. Pikiran membangun kekuatan logika
dalam keilmuan.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa sebetulnya,
masing-masing ilmu memiliki “logika”-nya sendiri, dan itulah yang disebut
prinsip dasar dan metode berpikirnya. Metode itu ditemukan dan dikembangkan
bersama dengan mengadakan refleksi atas obyeknya untuk mencapai
pemikiran-pemikiran baru yang lebih jelas. Bahwa, lajunya perkembangan pikiran
atau ilmu dan pengetahuan manusia dewasa ini, terutama yang berhubungan dengan
informasi ilmiah, telah begitu maju pesat. Kegandrungan yang begitu luas–mendalam
terhadap ilmu telah membawa berbagai macam perubahan tata nilai dalam kehidupan
manusia.
Meskipun demikian, kegandrungan terhadap ilmu telah
membawa pula berbagai konsekuensi logisnya yang semulanya, tidak dapat
dipikirkan atau dibayangkan oleh ilmu itu sendiri, dimana kejahatan pun makin
diilmukan dengan logika-logika keilmuan yang bersifat irasional. Pengilmiahan
atau “pengilmuan kejahatan” dimaksud untuk mendapatkan justifikasi logis, yang
hampir tak terbantahkan secara keilmuan, atas berbagai kecenderungan bias
(penjahat berdasi) yang makin mendeterminasi alam pemikiran dan kehidupan
secara luas.
“Pengilmuan kejahatan” dibangun dengan logika-logikanya
yang di-”rasionalisasi”-kan” sedemikian rupa (bukan berdasarkan kebenaran
rasional tetapi pembenaran secara irasional) untuk menjadi alat pembohongan
atau alat merekayasa kepalsuan dan kebohongan menjadi kebenaran dan kesalehan
untuk mencapai tingkat keabsahan, baik pada tataran formal (misalnya, pada
lembaga-lembaga yang berkompeten baik secara politis maupun yuridis), maupun
secara sosial dalam kehidupan aktual masyarakat. Bahkan, para ”tukang” maupun
“majikan” logika-logika irasional dimaksud, seakan, telah mampu memutarbalikkan
kejahatan menjadi kesalehan dalam sebuah kekuasaan yang irasional (The Logic of
Power).
Kini The Logic of Power, telah berkembang luas, dalam
kehidupan masyarakat aktual kita. Bahkan, ia seakan, telah menjadi semacam
kekuatan intelektual baru (the new intelectual forces) sehingga mampu
meyakinkan pikiran dan pandangan banyak umat manusia dengan berbagai implikasi
yang sungguh memprihatinkan dan mencemaskan. Hukum dasar logika irasional
dimaksud adalah melakukan affirmasi atau pembenaran-pembenaran logis atas nafsu
kekuasaan dan kejahatan manusia, dengan cara menegasi atau menyingkirkan
prinsi-prinsip kebenaran logis (The Power of Logic) dalam usaha membangun dan
mempertahankan kebenaran-kebenaran logis atas dasar pemikiran yang sehat dan
rasional. Ciri utama The Logic of Power adalah logika penindasan, pembodohan,
dan penguasaan, bukan logika pembebasan dan pendewasaan hidup. Manusia,
akhirnya, makin terbelenggu menjadi “tidak akil balik” (tidak matang atau
dewasa) di dalam banyak “sangkar emas” yang dibuatnya sendiri. The Logic of
Power, karenanya, harus makin diatasi dengan The Power of Logic untuk
memulihkan alam pemikiran dan pengetahuan manusia, serta menunjukkan adanya
harapan-harapan baru dalam membangun alam pemikiran dan keilmuan sebagai
kekuatan peradaban yang khas manusiawi. Perkembangan kesadaran itulah yang makin
menantang orang, terutama para ilmuawan untuk selalu melakukan percermatan
ulang serta pengkajian-pengkajian kritis, dan analisis sedalam-dalamnya atas
berbagai pemikiran keilmuan serta berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran
baru yang lebih brilian dengan norma berpikir yang benar.
Posisi mahasiswa sebagai kaum pemikir, karenanya,
menjadi sangat relevan dalam membangun dan memperluas arus kesadaran dimaksud.
Melalui itu, berbagai kekeliruan, konflik, dan kesesatan hidup akibat derasnya
The Logic of Power dalam masyarakat, makin teratasi dengan sebuah kekuatan
pencerahan baru.
E. Sumber:
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. 2001, Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. 2001, Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
- jelaskan kedudukan dan fungsi Perguruan Tinggi;
- Tunjukkan beberapa contoh aktivitas mahasiswa di perguruan tinggi sebagai ilmuwan;
- jelaskan kedudukan dan fungsi filsafat ilmu di perguruan tinggi;
- berikan salah satu manfaat filsafat ilmu dalam membangun kekuatan logika keilmuan.
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:40
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-4
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-4
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-4
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
POKOK BAHASAN : HAKIKAT FILSAFAT DALAM
PENGEMBANGAN ILMU
SUB POKOK BAHASAN : Memahami Hakikat Filsafat dalam Tugas keilmuan.
SUB POKOK BAHASAN : Memahami Hakikat Filsafat dalam Tugas keilmuan.
Standar Kompetensi :
Mahasiswa memahami hakikat filsafat sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, mengasuh, dan mendewasakan ilmu.
Mahasiswa memahami hakikat filsafat sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, mengasuh, dan mendewasakan ilmu.
Kompetensi Dasar :
Setelah mempelahari topik ini, Anda diharapkan dapat:
Setelah mempelahari topik ini, Anda diharapkan dapat:
- menjelaskan arti filsafat secara filosofis;
- membedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti filsafat;
- menunjukkan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf tentang arti filsafat;
- menyimpulkan makna perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat dalam tugas keilmuan;
I. Memahami Arti filsafat Secara
Filosofis
Inti filsafat adalah berpikir, dan berpikir adalah
sebuah tindakan manusia yang bersifat eksistensial, utuh dan menyejarah.
Meskipun demikian, usaha mendekati arti filsafat secara filsafati (filosofis),
bukan sekedar mengandaikan sebuah pengertian yang langsung dan lurus.
Sekurang-kurangnya, terdapat sebuah peta pemahaman yang luas dan berliku-liku
di dalam upaya memahami arti filsafat itu sendiri secara filosofis.
Filsuf rasionalis akan mendekati arti filsafat itu dari
sudut rasio. Menurut mereka, filsafat adalah sebuah proses berpikir rasional,
baik dalam rangka mengembangkan pemikiran-pemikiran yang bersifat spekulatif
(teoretis) maupun praktis teknologis (praktis). Filsuf spekulatif, di sisi
lain, memandang filsafat sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematis dan lengkap tentang seluruh realitas. Filsuf naturalis, di
sisi lain, akan meletakkan sudut pandang filosofisnya pada alam untuk
menjelaskan fenomena-fenomena (gejala) dan fakta alam (cosmos) dari aspek
keberadaan (eksistensi) fenomena tersebut. Filsuf bahasa akan menjelaskan arti
filsafat dari sisi analisis kebahasaan untuk mencapai kejelasan makna kata dan
konsep-konsepnya. Para mistikus dan Futurolog
(peramal) akan menunjuk pada arti filsafat sebagai kemampuan membaca logika
alam atau tanda-tanda untuk menentukan atau meramalkan arah kecenderungan hari
esok. Filsuf kritis akan memandang filsafat sebagai sebuah penyelidikan kritis
atas realitas atau pengandaian-pengandaian dan pernyataan – pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Filsuf idealis, sebaliknya, akan
mengartikan filsafat sebagai hal yang ideal yang terlepas dari yang real
(nyata).
Demikianlah, dalam sepanjang sejarah peradaban manusia
dan perkembangan filsafat sepanjang zaman, telah bermunculan beraneka definisi
mengenai filsafat. Jelasnya, bila kita hendak memperlajari filsafat, ada dua
hal yang patut diperhatikan; pertama, filsafat sebagai metode, dan kedua,
filsafat sebagai suatu pandangan.
Penganut paham pertama, hanya membatasi arti filsafat
sebagai kemampuan untuk memperoleh pengertian tentang pengalaman hidup yang
diletakkan pada kemampuan teknis-aplikatif untuk mewujudkan pengetahuan
tersebut dalam praktik kehidupan yang nyata. Kecenderungan tersebut telah
menimbulkan kesulitan yang telah menjerumuskan filsuf dalam kedudukan sebagai
“orang pintar” yang hanya dihubungkan dengan “orang trampil” dalam menjalankan
hidup secara praktis- temporer. Paham seperti ini muncul kuat di lingkungan
para Sofis (para relativis klasik/kuno) yang minatnya hanya diarakhan kepada
penyelesaian masalah-masalah sesaat (insidental). Para Sofis tidak akan
mempedulikan apakah kepintaran atau pengetahuannya itu bertahan dalam
diskusi-diskusi kritis yang mendalam atau bertahan dalam ujian dan zaman yang
terus berkembang dengan kategorti-kategori kebenaran serta kepastian yang luas
dan utuh. Mereka hanya berpuas diri dengan cara membangun perbedaan ide untuk
mencapai kepentingan atau kenikmatan sesaat. Sikap para Sofis itulah yang
diserang oleh Socrates dengan memasukkan dimensi kritik moral di dalam
manunjukkan arti dan hakikat filsafat itu sendiri. Kenyataan itu pula yang
kemudian diserang lagi oleh Plato (mantan siswa Socrates) di dalam
dialog-dialognya.
Penganut paham kedua, sebaliknya menunjuk bahwa filsafat
itu sendiri merupajan sebuah pandangan yang luas tentang kehidupan yang
sifatnya total dan menyeluruh tentang kehidupan. Filsafat menunjuk, buka
sekedar pada sebuah kebijaksanan teknis operaif, tetapi kebijaksanaan atau kearifan
sebagai upaya penjelajahan yang luas mendalam, dalam rangka menggumuli segala
realitas serta menyingkap berbagai daya misteri. Bagi mereka, filsafat bukan
sekedar sebuah pikiran sebatas ide, tetapi upaya manusia dengan rasio untuk
memahami, menyelami, mendalami, menerangi, dan menembusi dasar–dasar terakhir
segala hal, sejauh dijangkau oleh pikiran manusia.
II. Pandangan Para Filsuf Tentang Arti
dan Hakikat Filsafat
Menurut tradisi Yunani kuno, istilah Philosophia
digunakan pertama kali oleh Pythagoras. Ketika dijaukan pertanyaan apakah ia
seorang yang bijaksana, dengan rendah hati Pythagoras menjawab bahwa ia
hanyalah philosopher, yakni orang yang mencintai pengetahuan, akan tetapi
kebenaran kisah itu sangat di ragukan karena pribadi maupun kegiatan Phytagoras
telah bercampur dengan berbagai legenda. Lepas dari semuanya, Phytagoras
mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi ke dalam tiga tipe, yaitu; pertama,
mereka yang mencintai kesenangan, kedua; mereka yang mencintai kegiatan, dan
ketiga; mereka yang mencintai kebijaksanaan.
Sejak masa Scrotes dan Plato, istilah phylosophia sudah
cukup populer dalam pengertian lain. Ketika itu, Socrates lebih mengartikan
filsafat sebagai konstruksi (bangunan) moral dalam hubungan dengan kebenaran
dan kepastian hidup. Plato, di sisi lain, mengartikan filsafat sebagai
interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi
hidup, dan mengarahkannya untuk mencapai ide-ide abadi. Aristoteles, bahkan
menunjukkan kedudukan arti filsafat secara lebih mendasar. Ia, seterusnya
berusaha membangun arti filsafat itu sendiri pada konteks kebenaran-kebenaran
sosial yang berhubungan dengan pertautan antara pengetahuan dan kehidupan
nyata. Ada pula
pihak lain yang beranggapan bahwa filsafat adalah cara atau seni berfikir yang
kompleks, suatu pandangan atau teori yang tidak memiliki kegunaan praktis.
Justru itu, mungkin adalah baik bila, sebelum kita menarik kesimpulan tentang
arti filsafat, sebaiknya kita melihat sekilas pendapat beberapa filsuf
terkemuka mengenai pengertian filsafat.
- Plato : Plato adalah filsuf pertama yang memiliki sebuah
pandangan teoretis yang lebih luas dan lengkap tentang filsafat. Plato
memiliki berbagai gagasan tentang filsafat. Plato antara lain, mengatakan
bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang
asli dan murni. Filsafat, karena itu, berusaha menemukan
kenyataan-kenyataan atau kebenaran-kebenaran asli, murni, dan mutlak.
Plato, mengatakan juga bahwa filsafat adalah penyelidikan tetang sebab dan
azas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Ia menjelaskan bahwa
filsafat atau kebijaksanaan sejati adalah pengetahuan mengenai “hakikat”
(arrete) dari sesuatu yang diperoleh melalui kontemplasi, bukan melalui
aksi. Akibatnya, kaum Platonian (pengikut fanatik Plato) telah menyamakan
filsafat sebagai pengetahuan tentang “pengertian” saja. Praktisnya, urusan
filsafat di sini hanya usaha mencari kebenaran hakiki, tanpa usaha
mempraktikkan kebenaran tersebut dalam kehidupan nyata.
Plato adalah filsuf pertama yang mulai menggunakan pendekatan rasionalistik di dalam mengemukakan gagasan-gagasannya tentang filsafat. Baginya, hakikat filsafat itu, bukan terletak pada kenyataan atau penampakan lahirian yang terbatas, tetapi pada keluhuruan ide yang bersifat mendasar dan absolut. Kejelasan filsafat adalah pada rasio, karena rasio lah yang mampu menunjukkan letak kejelasan dan ketepatan suatu pemikiran, bukan pada dorongan-dorongan sensasi bendawi atau inderawi.
“Rasionalisme” Plato, akhirnya, berkembang menjadi “Idealisme”, yaitu, pengabstraksian konsep pada tataran ide. Baginya, kebenaran filosofis bukan pada penampakan-penampakan tetapi pada idenya yang lengkap.
Menurut Plato, ada beberapa hal yang merupakan sifat kebijaksanaan filosofis, yaitu:
- pertama; kebijaksaanan atau pengetahuan filosofis harus
tahan menghadapi ujian kritis. Konsekueninya, semua jenis pengetahuan atau
kebijaksanaan yang belum diuji sampai dasarnya, harus ditolak alias “omong
kosong” , palsu, dan “asal bunyi” (asbun).
- kedua; motode yang digunakan adalah dialektik, di mana
filsafat berkembang dengan pendapat atau pengendaian-pengandaian yang
diuji secara kritis, diragukan sampai pada kesimpulan atau pemikiran yang
tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi. Pendeknya, bagi filsafat, tidak
ada sesuatu pun yang diandaikan tanpa pertanggungjawaban akal.
- ketiga; filsafat harus menerobos masuk sampai kepada “kenyataan sejati”, yaitu kenyataan essensi atau hakikat ideal dari realitas. Kenyataan sejati adalah kodrat terdalam dari realitas, yaitu ide di balik relitas (bukan sekedar realitas yang tampak). Aspek yang tampak itu akan bergonta-ganti dan hilang (sifat sementar), sedangkan ide itu selalu bersifat tetap (abadi). Melalui sistem ide, filsafat akan tetap hidup (aktif) yang berusaha menggugat dan mempertanyakan secara radikal sampai mencapai kenyataan, sebab, atau prinsip-prinsip tertinggi dan universal dari kenyataan.
Plato, dalam hal ini, berada pada posisi selaku
idealis-universal. “Idealisme” Plato, akhirnya terjebak sendiri di dalam sikapnya
yang ambivalen. Alasannya, di satu sisi ia mengatakan ada kebenaran melalui
dialog kritik, tetapi di sisi lain ia mengatakan bahwa hal ini ada di luar
pengetahuan, sehingga ia jatuh dalam intuisi lansung.
- Aristoteles. Murid Plato ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip dan penyebab utama (causa prima) dari realitas yang ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berupaya mempelajari “ada” ( being asteing ) atau peri ada sebagaimana adanya ( being such ). Aristoles adalah filsuf besar yang berjasa dalam mewariskan sejumlah pemikiran dan karya filsafat besar. Beberapa karya filsafatnya, antara lain; Metafisika, Logika, Etika dan Estetika. Ia merumuskan hakikat filsafat sebagai berikut:
- pertama; hakikat filsafat berhubungan langsung dengan ada
sebagai “pengada” atau “ada” sebagai sebab dan prinsip pertama dari
kenyataan tertinggi. Aristoteles, dalam hal ini, berada pada posisi selaku
seorang realis, atau penganut aliran realisme (kenyataan).
- kedua; filsafat harus berurusan dengan upaya membangun
(aksi) hidup kekinian, bukan sekedar berenung atau berkontemplasi.
- ketiga; filsafat harus mendorong pada aksi-praksis, bukan sekedar penalaran spekulatif, tetapi harus mendorong pada pengalaman dan pengamalan.
- Rene Descartes : Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang memelopori lahirnya sejarah filsafat modern dengan mengembangkan aliran filsafat ”Rasionalisme”. Descartes, dengan “Rasionalisme”-nya, hendak menegaskan sebuah pendirian filosofis bahwa inti dari filsafat itu adalah rasio itu sendiri. Rasio atau pikiran, bagi Descartes, merupakan dasar bagi segala klaim (tuntutan) kebenaran, kesahihan (keabsahan), ketepatan (validitas), dan obyektifitas filsafat itu sendiri. Konsekuensinya, segala klaim filosofis yang berada di luar tatanan rasio, harus disangkal kebenarannya dan patut ditolak keberadaannya sebagai kepalsuan, sesat pikir, kebohongan, dan perasaan subyektif yang menyesatkan.
Descartes termasur dengan argumennya: je pense, donc je
suis atau yang dalam bahasa Latin “ cogito ergosum “ (aku berfikir maka aku
ada). Dalil tersebut menunjukkan sebuah klaim keberadaan manusia dari sisi
rasio, sebagai satu-satunya subyek pengada yang meng-ada-kan manusia. Descartes
mengajarkan bahwa filsafat selalu berhubungan dengan kategori-kategori
pemikiran rasional dalam menuntun manusia untuk menentukan dan memperjuangkan
kebenaran-kebenaran yang bersifat “jelas dan terpilah” (clear and distinct) di
dalam hidupnya. Melalu ketegori-ketegori pemikiran rasional dimaksud, manusia
akan dituntun keluar dari godaan-godaan pemikiran yang bersifat emosional atau
dorongan perasaan yang membuat manusia tidak dewasa atau matang di dalam
mengambil keputusan intelektual. Hukum, karena itu, harus mendasari diri pada
logika-logika rasional, bukan pada etika atau perasaan semata. “Rasionalisme”
Rene Descartes, meskipun sangat membantu dalam meletakkan prinsip-prinsip
kebenaran yang universal, misalnya di dalam hukum dan sebuah proses yuridis,
namun dengan demikian, telah mencabut hakikat hukum itu sendiri dari intinya,
yaitu manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Logika hukum pun, akhirnya, mengabdi
pada logika-logika tautologis (kebahasaan) semata, bukan pada etika dan
moralitas kemanusiaan itu sendiri (bd. aliran Logika Positivisme).
Uraian di atas menunjukkan secara tegas bahwah filsafat
merupakan kegiatan berfikir manusia yang berusaha mencapai kebijakan atau
kearifan. Kearifan merupakan buah pikir yang dihasilkan filsafat dari usah
mencari hubungan antara pengetahuan dan impilikasinya (baik yang tersurat
maupun yang tersirat). Filsafat berusaha merangkum dan membuat garis besar dari
masalah dan peristiwa pelik dari pengalaman umat manusia. Filsafat, dengan kata
lain, bukan saja berusaha menemukan pikiran (tesis), kontra pikiran atau
pikiran tandingan (antitesis), tetapi juga sampai kepada bagaimana merangkum
pikiran-pikiran (sintetis), baik yang sejalan maupun yang bertabrakan untuk
menyiasati pokok yang ditelaahanya.
III. Memahami Perbedaan Pendapat di
kalangan Filsuf Tentang Arti Filsafat
Inti filsafat adalah usaha manusia dengan pikiran,
pengetahuan, maupun nilai atau cita rasa kemanusiaannya untuk mencari serta
mendapatkan dasar-dasar pertanggunjawaban pikiran tentang realitas yang
sesungguhnya. Baginya, realitas (penampakan fisik, pandangan, teori keilmuan,
norma adat, tradisi, ideologi, ajaran) atau keyakinan apa pun, harus dipahami
secara luas (ekstensif), utuh (eksistensial), mendalam (intensif), dan hakiki
(essensial). Inti filsafat itulah yang mampu membimbing orang guna mendapatkan
sebuah pertanggungjawaban yang kuat mendasar tentang realitas dimaksud,
sehingga tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan-nya
pun akan mampu bertahan dalam menghadapi ujian kritis tanntangan zaman. Para filsuf, berusaha mencari dan mengungkapkan hal
dimaksud dalam rangka menolong tugas-tugas kemanusiaan bersama, agar dengannya
manusia memperoleh pegangan di dalam upaya membangun hidupnya.
Uraian sebelum pembahasan ini, secara gamblang
menunjukkan betapa terdapat perbedaan pemikiran di kalangan para filsuf tentang
arti dan hakikat filsafat itu sendiri. Kenyataan tersebut, sekurang-kurangnya,
disebabkan oleh dua hal yang menjadi titik perbedaan, yaitu perbedaan sudut
pandang dan perbedaan minat akademis.
Pertama, perbedaan sudut pangdang (ponit of view).
Maksudnya, setiap filsuf, pada dirinya memiliki sudut pandang atau cara pandang
yang berbeda (yang merupakan spesifikasi dirinya) di dalam memahami sebuah
realitas, teristimewa di dalam memahami filsafat itu sendiri. Plato, sebagai
pencetak aliran pemikiran “Idealisme”, telah menjadikan ide (pikiran atau
gagasan) sebagai basis pemikiran filsafatnya dalam membangun klaim-klaim
kebenaran, kesahihan, validitas, dan obyektifitas filosofis. Konsekuensinya, klaim-kalim
lain di luar ide, ditolak sebagai kepalsuan dan kesesatan berpikir. Plato
cenderung meletakkan atau membangun pemikiran dari sistim ide atau
gagasan-gagasan di balik kenyataan yang dihadapi, bukan pada aspek penampakan
atau kenyataan fisik yang dihadapi. Alasannya, hanya dunia ide itulah yang
menjamin adanya kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan sebuah
kenyataan. Menurut Plato, hal-hal yang tidak dibawah dalam dunia ide muda
diragukan, serta mudah hilang dan rusak tanpa bekas, hanya ide lah yang
bersifat luhur kekal dan tak berubah.
Rene Descartes, sebagai pendiri aliran pemikiran
“Rasionalisme”, telah menjadikan rasio sebagai sudut pandang dan basis
pemikiran filosofisnya dalam membangun klaim-klaim kebenaran filosofisnya.
Menurutnya, hanya rasio lah yang mampu menjamin terwujudnya klaim-klaim
kebenaran filosofis, lepas dari selera atau kehendak subyektif dan
emosionalitas yang buta. Sudut pandang rasio akan mampu memberi arah dan
pedoman pemikiran yang jelas dan tegas, karena rasio selalu bersikap kritis
untuk mencari kebenaran–kebenaran yang murni dan obyektif. Filsuf Realis,
misalnya Aristoleles, sebaliknya meletakkan sudut pandang filosofisnya pada
hal-hal yang nyata dan bersentuhan dengan pengalaman manusia secara langsung,
bukan ide-ide yang abstrak. Filsuf Pragmatis, misalnya John Dewey, dengan
aliran pemikiran “Pragmatisme”-nya, justru akan meletakkan pandangan
filosofisnya pada kenyataan makna atau kegunaan (pragma) yang mendasari segala
sesuatu. Akibatnya, bagi mereka, hanya sesuatu yang berguna atau bermakna
itulah yang benar, obyektif, valid, maupun sah, selain dari itu tidak. Filsuf
materialis, misalnya Marksisme Ortodoks dengan aliran “Materilisme”-nya justru
melihat materi (kenyataan fisik) sebagai jaminan kebenaran, obyektifitas,
validitas, dan kesahihan. Bagi mereka, hanya materi sajalah yang menjadi dasar
pembuktikan bahwa hal itu benar, obyektif, valid atau tepat, dan sah untuk
diakui atau diyakini, selain itu tidak. Filsuf empirs, misalnya, John Locke,
David Hume, dan sebaginya, akan meletakkan sudut pandang pemikirannya pada
aspek pengalaman (empiris) sebagai basis pengembangan pemikiran filsafatnya.
Hal yang sama juga berlaku bagi filsuf lainnya dengan sudut pendekatannya yang
khas.
Kedua; minat akademis. Selain perbedaan sudut pandang,
setiap filsuf memiliki pula perbedan minat akademis dalam mengartikan dan
memaknakan filsafat dengan caranya yang berbeda. Misalnya, seorang filsuf yang
menaruh minat akademis pada ilmu –ilmu ekonomi akan mengembangkan filsafat
untuk kepentingan ilmu ekonomi. Filsafat, dalam hal ini, akan diartikan sebagai
upaya untuk memperluas dan mengembangkan kekuasaan ekonomi (produksi, konsumsi,
dan keuntungan). Demikian pula halnya dengan filsuf yang menaru minat akademis
pada ilmu-ilmu fisika yang akan mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran
yang kritis (rasional) untuk menjelaskan dan menangani gelaja-gejala fisik
–alami, dari sisi hukum sebab-akibat. Filsuf yang menaru minat akademis pada
ilmu teologi, sebaliknya akan mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang
kritis (rasional) untuk menjelaskan tentang hakikat Sang Supranatural dalam
penghadapanNya dengan manusia, dalam sebuah hukum ilahi. Perbedaan yang sama
akan dijumpai pula dalam berbagai penganut mina akademis lainnya.
Perbedaan minat akademis itulah yang akhirnya membawa
kepada pembentukan ilmu secara khusus serta berbagai aliran besar dalam sejarah
pemikiran filsafat, dengan klaim-klaim (tuntutan) kebenarannya yang bersifat
sektoral, deterministik, dan partikularis atau terlepas pisah. Akibatnya,
muncul berbagai macam ilmu yang berbeda-beda dengan tuntutan (claim) kebenaran,
obyektivitas, dan validitas, atau kesahihan, baik terhadap baik obyek-obyek
yang partikular maupun yang sama.
Kenyataan di atas menunjukkan betapa sulitnya
mengartikan filsafat secara filosofis. Alasannya, para filsuf akan berfilsafat
dengan perbedaan sudut pandang maupun minat akademisnya yang berbeda-beda
tentang filsafat itu sendiri. Kesulitan tersebut, kemudian makin menambah
kecemasan para filsuf untuk berusaha mencari sebuah cara pemecahan sederhana
untuk dapat mendekati pengertian filsafat secara filosofis. Phytagoras, seorang
filsfus Yunani kuno, akhirnya menenukan sebuah solusi dengan mendekati arti
filsafat, bukan secara filosofis, tetapi secara etimologis. Menurut
Phyitagoras, istilah filsafat berasal dari kata Yunani Philosophia. Akar
katanya; Philos atau philia = cinta, persahabatan atau tertarik pada, dan
Sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, Phiolosophia, secara
harafiah, artinya “cinta kebijaksanaan” (lover of wisdom). Sudut pendekatan
etimologis ini menunjukkan bahwa sejak semula, yakni dari zaman Yunani Kuno,
kata filsafat dipahami sebagai cinta kearifan atau cinta kebijaksanaan.
Meskipun demikian, cakupan pengertian sophia ini ternyata begitu luas dan
padat. Sophia, pada awalnya, tidak hanya berarti kearifan, melainkan meliputi
pula prinsip-prinsip kebenaran pertama, pengatahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan akal sehat sampai pada pengertian yang lebih bersifat
teknologis, yaitu kepandaian pengrajin, dan kecerdikan dalam memutuskan
soal-soal praktis.
Inti persoalannya, mengapa filsafat itu tidak hanya
berpusat pada sophia atau kearifan saja, tetapi harus disertai dengan philos
atau philia (cinta)? Mengapa filsafat harus bermain dengan api cinta?
Pertanyaan filosofis di atas, justru hendak membimbing kedalam sebuah pemaknaan
filosofis yang sifatnya hakiki dan mendalam tentang arti dan hakikat filsafat
itu sendiri.
Bagi Phytagoras dan para filsuf (khusunya filsuf Yunani
Kuno), nama filsafat itu sendiri menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara
sempurna memiliki pengertian yang sifatnya total dan menyeluruh tentang
kebijaksanaan atau kearifan yang menjadi inti hakiki dari arti filsafat itu
sendiri. Sophia atau kebijaksanaan (kearifan), bukanlah sebuah pemikiran atau
pengetahuan yang bersifat datar sebagai penjelasan-penjelasan diskriptif biasa.
Sophia, bukan sekedar informasi atau fakta yang jelas, lengkap, sempurna, dan
selesai atau berakhir pada dirinya. Justru, Sophia (kebijkasanaan atau
kearifan) itu merupakan sebuah upaya penjelajahan dalam menggumuli segala
realitas serta menyingkap berbagai daya misteri. Tujuannya, bukan sekedar untuk
menunjukkan sebuah pikiran sebatas ide, tetapi lebih daripada itu, berusaha memahami,
menyelami, mendalami, menerangi, dan menembusi dasar–dasar terakhir segala hal,
secara khusus, tentang eksistensi, dasar, serta tujuan manusia.
Sophia, karenanya, merupakan sebuah hutan luas yang
penuh daya misteri. Begitu luas Sophia itu, sehingga tidak mampun dijangkau
oleh pikiran manusia yang biasa. Manusia, untuk itu, perlu dibimbing oleh “api
cinta” (philos atau philia), untuk mengejar, menjangkau, dan mewujudkan sophia
dimaksud. Sophia atau kearifan itu sesungguhnya hanya dimiliki oleh Sang Tuhan
dengan pikiran atau pengetahuan nya yang tidak terbatas. Pythagoras, seorang
filsuf klasik, membenarkan hal itu dengan menjelaskan bahwa manusia bukanlah
citra kepenuhan dari kearifan atau kebijaksaan itu sendiri. Menurutnya, manusia
harus selalu merendahkan diri di hadapan kearifan dan kebijaksanaan itu sendiri
sebagai seorang pencinta kearifan atau pencinta kebijaksanaan. Manusia bukan
pemilik mutlak dan “penguasa kearifan” tetapi “pencinta kearifan” atau
“pencinta kebijkasanaan” itu sendiri. Manusia adalah pencinta kearifan yang
mencarinya dengan api cinta yang terus membara, bukan berdasarkan kemauan atau
keinginan biasa yang bersifat sementara. Manusia (filsuf) bukanlah philosophos
tetapi philosopher, artinya, orang yang mencintai hikmat.
Sebagai pencinta hikmat, filsuf selalu merasa terbakar
oleh adanya api kerinduan atau api cinta yang membara untuk terus mencari,
mengejar, dan memperoleh hikmat atau kebijaksanaan dimaksud. Tugas, keinginan,
atau kerinduan mencari hikmat bukanlah tugas sesaat atau seketika saja. Tugas
mencari hikat atau kebijaksanaan adalah tugas abadi sebagai api kerinduan yang
terus mekar. Filafat merupakan sebuah “pengejaran abadi” untuk memperoleh
kearifan yang tidak pernah berakhir dalam hidup. Justru itu, meskipun ia
terbatas, manusia selalu berusaha dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan
kerendahan hati untuk terus berguru mencari hikmat dan mengabdi pada sang
hikmat. Hal itu dilakukan di dalam setiap jalan hidupnya dengan segala
keterbatasan, keraguannya, kecemasan, kerinduan, dan pertapaan atau
kontemplasinya yang mendalam. Jelasnya, melalui proses itu, jadilah filsafat
sebagai upaya manusia untuk memenuhi hasratnya, demi kecintaannya akan hikmat
atau kebijaksanaan yang “memekarkan diri” itu.
IV. Memahami berbagai latar pemikiran
tentang Arti Filsafat dalam pengembangan, pikiran, pengetahuan, dan Ilmu.
Berbagai latar perbedaan pemikiran filosofis tentang
arti filsafat, pada dirinya, mengandung berbagai tuntutan (claim kebenaran)
dalam pengembangan pikiran, pengetahuan, dan ilmu. Orang tentu memiliki
perbedaan, sesuai pembatasan cudut pandang maupun minat akademisnya yang
berbeda dalam memahami setiap obyek pemikiran. Perbedaan mana, adalah sah dan
penting untuk melakukan pendalaman analisi, dan pembuktian-pembuktian dengan perangkat
metodologis maupun alat analisisnya yang khas untuk mengingkap hal-hal yang
sifatnya detail tentang hal dimaksud. Masing-masing tuntutan (claim) memiliki
kebenaran dan keabsahan pada dirinya masing-masing, sejauh diterima dan
terbukti kebenarannya dalam bidang keahliannya. Kenyataan tersebut menunjukkan
hakikat kekayaan pemikiran, pengetahuan, dan ilmu dalam mendekati hakikat
realitas secara sempurna.
Kebenaran ilmu-ilmu empiris, seperti: biologi, fisika,
atau geografi memiliki kedudukan yang sama dengan kebenaran ilmu-ilmu normatif,
seperti: ilmu hukum atau etika, juga hal yang sama dengan ilmu-ilmu kerohanian,
seperti: kebudayaan atau teologi. Orang, karena itu harus makin mengembangkan
keahlian dalam bidang keilmuannya dengan mempertajam daya eksplorasi dan
analisis, serta pembuktiannya atas setiap pemikiran atau obyek keilmuannya.
Konsekuensinya, orang harus terbuka terhadap kemajemukan
kebenaran, dan tidak menutup diri dengan memutlakkan klaim kebenarannya sendiri
sebagai hal yang mutlak satu-satunya. Orang harus bersedia untuk
mengkomunikasikan setiap pemikirannya secara terbuka, baik dalam bentuk ide,
pengetahuan, atau ilmu agar dapat menyumbang bagi pengembangan alam pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu secara lebih utuh dan lengkap.
E. Sumber:
Watloly, A., 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius,
Yogyakarta, hal 2-23.
-------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan) hal 4-30.
-------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan) hal 4-30.
F. Evaluasi:
- jelaskan arti filsafat secara filosofis;
- tunjukkan perbedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti filsafat;
- berikan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf tentang arti filsafat;
- berikan kesimpulan Anda tentang makna perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat dalam tugas keilmuan
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:41
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-5
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-5
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-5
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
POKOK BAHASAN : FILSAFAT SEBAGAI “IBU
ILMU”
SUB POKOK BAHASAN :
Kedudukan Filsafat dalam Pengembangan Pikiran, Pengetahuan, dan Ilmu.
Kedudukan Filsafat dalam Pengembangan Pikiran, Pengetahuan, dan Ilmu.
Standar Kompetensi :
Mahasiswa memahami hakikat filsafat sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, mengasuh, dan mendewasakan ilmu.
Mahasiswa memahami hakikat filsafat sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, mengasuh, dan mendewasakan ilmu.
Kompetensi dasar:
Setelah mempelajari Pokok ini, Anda diharapkan dapat:
Setelah mempelajari Pokok ini, Anda diharapkan dapat:
- menjelaskan arti filasafat sebagai "ibu ilmu”;
- menjelaskan prinsip-prinsip filosofis yang penting dipahami dalam mengerjakan ilmu;
- menjelaskan makna mempelajari filsafat dalam sebuah tugas pemikiran dan keilmuan;
- menunjukkan kedudukan filsafat dalam pengembangan pikiran, pengetahuan, ilmu.
I. Filsafat Sebagai “ibu ilmu” (The
Mother of Sciences).
Pemunculannya sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, filsafat
telah menunjukkan supremasinya dalam pentas pemikiran dan keilmuan dunia
sebagai “ibu ilmu” (the mother of sciences). Sebagai ibu, filsafat telah
menunjukkan diri sebagai kekuatan yang mengandung benih-benih pemikiran
keilmuan, melahir dan menyusui bayi ilmu, dan terus membina perkembangan ilmu
menjadi cabang dan ranting-ranting keilmuan, serta mendewasakan ilmu sebagai
ilmu yang otonom dan mandiri.
- Filsafat sebagai ibu yang mengandung benih-benih
pemikiran keilmuan, mengandaikan bahwa filsafat sebagai ilmu berpikir
selalu mengembangkan gagasan-gagasannya, baik dalam alam kesadaran kritis
(rasio) maupun dalam pengalaman nyata untuk mencermati permasalahan
lingkungan, baik yang menyenangkan maupun yang mencemaskan.
Pikiran-pikiran tersebut, tidak dibiarkan berkelana tanpa arah, tetapi
memelihara dan membinanya di dalam kandungannya menjadi benih-benih
pemikiran keilmuan. Filsafat terus membina benih-benih pemikiran itu
menjadi bayi keilmuan yang matang dan siap diluncurkan (dilahirkan) dalam
dunia keilmuan secara nyata.
- Sebagai ibu yang melahirkan bayi–bayi ilmu, filsafat
membidani sendiri proses kelahiran bayi ilmu dari kandungannya, sehingga
membentuk cabang-cabang dan ranting keilmuan baru yang bersifat khusus.
Filsafat, dalam hal ini, tidak ingin mati dengan fosil-fosil pemikiran
yang hanya bersifat hantu khayalan. Filsafat berusaha membedah dan
melahirkan atau meluncurkannya dalam kesegaran pemikiran keilmuan yang
mempengaruhi sejarah keilmuan dan menyumbang bagi tugas kebudayaan.
Filsafat memiliki hubungan bathiniah dengan ilmu sebagai hubungan ibu
kandung dan anak kandung yang sah dalam sebuah tanah air manusia sebagai
makhluk berpikir (Homo Sapiens).
- Sebagai ibu kandung yang menyusui ilmu, filsafat
memberikan gizi pemikiran dalam berbagai proses diskursus dan ujian-ujian
kritis, dengan cara melakukan kritik, koreksi, dan penyempurnaan yang
membangun dan menumbuhkan taraf kamatangannya sebagai ilmu-ilmu atau
cabang dan ranting keilmuan yang mandiri. Filsafat, karena itu, tidak akan
memperlakukan ilmu sebagai budak penguasaan filsafat, tetapi mendorong
proses pertumbuhan dan perkembangan ilmu secara otonom. Filsafat berusaha
membangun diskursus-diskursus keilmuan, membuka dan membentangkan
penemuan-penemuannya dalam bentuk ilmu baru untuk diuji, baik dalam proses
uji logis (pola penalaran), uji material (materi pemikiran), serta uji
metode, guna ferifikasi dan validasi keilmuan secara kritis dan terbuka.
Bahkan, filsafat berperan pula sebagai ibu menyusui, mengasuh, dan
mengasah pertumbuhan serta ketajaman ilmu dalam sebuah proses komunikasi
antar ilmu dan lintas ilmu. Melalui itu, ilmu atau kegiatan keilmuan dapat
bertumbuh dan berkembang secara sehat, sehingga terhindar dari bahaya
sesat pikir, keliru pikir, atau salah pikir.
- Sebagai ibu yang mendewasakan ilmu, filsafat tidak akan pernah mengikat atau membelenggu ilmu di dalam pagarnya. Filsafat terus mendorong kemandirian ilmu-ilmu sehingga ilmu-ilmu mampu mengembangkan pemikiran serata metode-metode yang khas dalam percaturan keilmuan secara global. Filsafat pula yang terus berperan membidani kelahiran benih-benih pemikiran, pengetahuan, dan keilmuan untuk kepentingan praktis, baik dalam bentuk teknologi, industri demi pemenuhuan kebutuhan hidup manusia, maupun upaya klinis dalam penanggulangan dampak negatif pembangunan.
Gambar 4. Pohon Ilmu
II. Prinsip-Prinsip Filosofis dalam
mengerjakan Ilmu (kegiatan keilmuan).
Jelas bahwa filsafat sebagai “ibu ilmu” atau induk ilmu
bermaksud menunjukkan sebuah hal mendasar dalam mencari pemikiran keilmuan dan
mengerjakan ilmu (keilmuan). Intinya, ilmu, termasuk ilmuwan dan lembaga
keilmuan, segala prestasi kemajuannya harus dilihat dalam kelebihan dan
kekuarangan manusia sebagai Homo Sapiens. Bagi filsafat, manusia itu selalu
tahu diketidaktahuan-nya, Konsekuensinya, semakin banyak yang makin diketahui,
baik melalui kegiatan keilmuan maupun seni budaya, namun, semakin banyak pula
misteri ketidaktahuan yang seakan terus mendangkalkan pengetahuan, kekaguman,
dan terus menantang rasa “ingin tahu” manusia. Bahkan, semakin banyak penemuan
dalam rangka pemecahan masalah-masalah kehidupan, namun makin banyak pula
“kecemasan mekar” yang terus mengerogoti manusia. Dewasa ini, fenomena
“ketidaktahuan filosofis” ini, telah berkembang luas dan makin mengancam
eksistensi manusia secara utuh.
Sesungguhnya, akar semua persoalan di atas, terletak
pada kecenderungan pengembangan pikiran atau pengetahuan yang tidak utuh (tidak
akumulatif). Pemikiran, ilmuwan, dan profesional, telah memisahkan antara
kebenaran-kebenaran logis dari kebenaran-kebenaran etis (nilai) dan moral.
Filsuf kritis menjelaskan bahwa banyak pemikir, dengan dalih sebagai “majikan
kebenaran”, berusaha membangun berbagai bentuk “sesat pikir” untuk menciptakan
kebingungan, pembodohan, kebodohan atau ketidaktahuan, serta melalukan berbagai
kepalsuan, kebohongan, pembusukan kebenaran, dan penghancuran peradaban
manusia.
Socrates, bapak filsuf itu, mengatakan di dalam sebuah
nasihatnya bahwa; Kenali lah dirimu sendiri (Gnoti Seauton). Menurut Socrates,
hanya manusia yang mengenal dirinya sendirilah yang kuat dan berguna, karena
mereka akan mengenal kekuatan dan kelemahannya sendiri, dan tidak akan
membiarkan diri ditipu atau dikuasai oleh kejahatan, baik akibat kebodohan atau
karena “kepintaran” yang menyesatkan itu. Socrates, karena itu, menegaskan
bahwa: hanya manusia itu sendiri lah yang tahu bahwa ia tidak tahu. Bagi
Socrates, pikiran hendaknya makin membuat orang untuk mengenal dirinya sendiri
sehingga tahu menegur dan menasihati diri sendiri, bukan sebaliknya membuat
orang menjadi lupa diri. Konsekuensinya, semakin semakin tinggi dan luas
pikiran serta pengetahuan seorang manusia, semakin tinggi pula penguasaan diri
dan kesadaran diri “rendah hati” dalam ketekunan mengemban tugas kemanusiaannya
sebagai makluk beradab. Pikiran harus dikembalikan pada kesegaran eksistensi
manusia. Tegasnya, pikiran atau pengetahuan harus selalu ditempatkan dalam
keutuhanya sebagai salah satu fenomena manusia untuk memanusiakan manusia.
Pikiran bukanlah ego mandiri yang berada pada dirinya sendiri dan melayani
kepentingan pikiran itu sendiri. Pikiran tidak dapat berpikir dari dalam
dirinya sendiri, tetapi manusialah yang berpikir dengan pikirannya itu sendiri
dalam keutuhan konteks kemanusiaannya.
Menurut Socrates, manusia, dengan pikiran atau
pengetahuannya, seolah melangkah maju dari upaya menyingkap misteri satu menuju
misteri-misteri lain, yang kian mekar, di dalam hidupnya. Manusia, dengan
pikiran atau pengetahuannya, seola bergerak dari satu ketidaktahuan menuju
ketidaktahuan baru dalam hidupnya. Kenyataan itulah yang membuat ilmu
pengetahuan makin terus berkembang dalam tatanan filosofis, agar mampu memburu
dan membunuh naga-naga ketidaktahuan dan kejahatan baru (kejahatan profesional)
yang bertumbuh berbarengan dengan perkembangan pikiran, pengetahuan, dan
keilmuan manusia.
Gonti Seauton, dalam hal ini, menunjukkan sebuah
kepentingan kemanusiaan yang bersifat fundamental dalam hal memahami dan
mengerjakan pikiran, yang merupakan salah satu ciri keberadaan yang khas
manusia itu. Intinya pada analisis diri dan pemahaman diri untuk mencapai
pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik. Manusia, melalui pengetahuannya
itu, memperoleh kekuatan, tanggungjawab, kesadaran bathin, kematangan pemikiran
atau intelektual, dan rasa percaya diri untuk membangun dirinya sebagai mahkluk
beradab yang makin matang (dewasa), tahu diri, dan berendah hati.
Manusia, di samping membutuhkan kerendahan hati, juga
membutuhkan kesabaran, ketekunan, kesabaran, dan keteguhan bathin untuk menegur
dan mendidik diri. Ia butuh kedisiplinan, tanggung jawab, dan optimisme hidup
di dalam mengejar pengetahuan atau kearifan dimaksud. Filsafat, karena itu,
hendak menunjukkan bahwa manusia bukan hanya bertugas mengisi “ingin tahu”-nya
dengan pikiran dan ketrampilan-ketrampilan teknologis (praktis operasional)
yang sempit atau terbatas. Justru sebaliknya, filsafat ingin melampauinya dan
menempatkan perjuangan manusia yang berpengetahuan itu pada inti pergumulan dan
tugas memanusiakan manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya di dalam
keutuhan eksistensinya. Manusia, secara eksistensial bersifat “multi dimensi”,
dan karenanya, pengembangan pikiran dan pengetahaunnya pun, hendaknya merupakan
sebuah tugas eksistensial yang utuh dalam kepelbagaian dimensinya itu.
Justru itu, kategori kepintaran atau pengetahuan yang
dipetaruhkan dalam perspektif tugas kemanusiaan itu bukan lah sekedar kemampuan
rasionalisasi (rekayasa) untuk mencari “pembenaran-pembenaran” yang bersifat
instrumental-teknomogis semata guna mewujudkan kepentingan-kepentingan yang
sempit dan sesaat. Alasanya, manusia dengan pikiran dan pengetahuannya,
membutuhkan kreatifitas budi dalam menyiasati dinamika kepelbagainanya secara
utuh. Baginya, kepentingan teknis di dalam pengetahuan atau kepintaran manusia
itu penting, misalnya kegiatan-kegiatan rekayasa dan manipulatif (teckno
engginering) untuk membangun kehidupan manusia secara nyata. Meskipun demikian,
kepintaran pengetahuan itu bila hanya diorientasikan untuk sekedar mengejar
keuntungan atau kenikmatan semata maka hal sebaliknya akan menyeret manusia ke
dalam kebodohan dan tindakan-tindakan tak beradab.
Kecenderungan demikian, justru, tidak akan memanusiakan
manusia dengan pikiran atau pengetahuan sehingga manusia akan semakin pintar
berbuat baik dan benar, tetapi sebaliknya, menyeret, membelenggui, dan menindas
manusia di dalam arus kejahatan yang pada dirinya menghancurkan tata nilai,
cita rasa kemanusiaan, maupun citra peradaban itu sendiri. Akibatnya, orang
berilmu dan pintar sekalipun akan menjadi semakin egois, angkuh. Bahkan
mungkin, semakin pintar (profesional) dalam berbuat kejahatan dan merasa
serba-bisa di dalam perbudakan hawa nafsu. Konsekuensinya, meskipun terjadi
banyak peningkatan Sumber daya Manusia (SDM), sebagaimana yang dilakukan di
Indonesia, namun, semakin bertumbuh mekar kejahatan dan semakin tidak teratasi
masalah-masalah hidup yang dihadapi, baik di dalam konteks hidup bernegara
maupun bermasyarakat. Semuanya ini diakibatkan oleh adanya kecenderungan untuk
menghilangkan daya kritis dan sifat kontemplatif dari pikiran atau pengetahuan
itu sendiri, yang dianggap menghambat keinginan atau nafsu-nafsu kemanusiaan
yang ingin memperalat pikiran dan pengetahuan untuk hanya mengejar kenikmatan
atau keuntungan sesaat itu sendiri.
Filsafat ingin menunjukkan adanya dimensi kritis untuk
semakin terbuka dan berendah diri dalam menguji serta memurnihkan pikiran atau
pengetahuan itu sendiri dari goan-godaan kejahatan sehingga manusia akan
semakin memiliki ketajaman bathin (berpikir dengan hati) dalam hal
mengembangkan pikiran atau pengetahuannya untuk membentuk diri atau kepribadian
secara utuh. Melalui itu, orang akan terbuka pada teguran nurani, koreksi,
kritikan, dan tuntutan-tuntutan perbaikan sehingga orang mampu membangun ketegori
pikiran dan pengetahuannya di dalam tatanan nilai yang menjadi inti pergumulan
kemanusiaan itu sendiri.
Intinya, filsafat hendak menunjukkan bahwa pikiran atau
pengetahuan itu selalu punya empat dimensi yang salig bertautan, yaitu:
pertama, dimensi aktif untuk terus mengembangkan pengetahuan dan keingintahuan
manusia dalam sebuah konstelasi peradaban yang luas dan luhur guna membangun
kehidupan secara nyata; kedua; dimensi kreatif, dengan tujuan untuk mengolah
budi (kecerdasan), mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi
permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual; ketiga,
dimensi kritis, untuk membangun kesadaran diri, otonomi diri, serta kemampuan
nalar dalam menilai dan mempertanyakan berbagai kemungkinan (klaim-klaim
kebenaran bersifat keilmiahan, ideologis, yuridis, maupun religius) dalam
rangka pengembangan dan penegasan eksistensi (pilihan hidup); keempat, dimensi
kontemplatif untuk mengontrol dan mengendalikan pikiran atau pengetahuan itu
sendiri sehingga tidak terjebak dalam permainan arus keinginan dan kejahatan.
III. Makna Mempelajari Filsafat
Sesuai pembahasan di atas, disimpulkan bahwa tujuan
mempelajari filsafat ilmu adalah:
- membuat manusia akan lebih menjadi manusia. Maksudnya, dengan belajar filsafat maka manusia akan makin setia mendidik dan membangun dirinya atas dasar kesadaran maupun tanggung jawab kemanusiaannya untuk menemukan jati dirinya yang khas. Manusia, melalui itu dituntun untuk mengatasi permasalahan-permasalahan hidupnya dalam sebuah proses penemuan yang luas-mendalam, tepat, arif, dan bijaksana. Tugas mengatasi permasalahan hidup manusia itu adalah utuh, karena mencakup aspek-aspek jasmani dan rohani. Maksudnya, sifat yang khusus bagi seorang filsuf ialah bahwa ia sadar akan apa saja yang termasuk dalam kehidupan manusia, tetapi juga bagaimana mengatasi dunia itu sendiri. Filsuf, dalam hal ini, harus sanggup melepaskan diri atau menjaukan diri sebentar dari keramaian hidup serta kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya sendiri sebagai obyek penyelidikannya, termasuk kepentingan dan keinginan subyektifnya. Melalui cara demikian, filsuf mencapai keobyektifan dan kebebasan hati sehingga dimungkinkan penilaian yang obyektif dan benar tentang manusia dan dunia dengan segala sifatnya itu. Bagi filsafat, sifat keobyektifan adalah ciri seorang dewasa yang matang kerohaniannya. Konsekuensinya, seorang filsuf akan semakin memiliki kebijaksanaan bila ia semakin mempunyai sikap obyektif terhadap dunia ini.
- melatih orang untuk memandang dengan luas. Jadi, dengan
belajar filsafat maka orang disembuhkan dari “kecenderungan kepicikan”
yaitu dari “Akuisme” dan “Akusentrisme” yang membelenggu sehingga orang
tidak dapat berpikir sehat luas, dan obyektif. “Akuisme” atau
“Akusentrisme”, di samping merupakan sebuah belenggu, juga merupakan
sebuah musuh peradaban, karena hanya menempatkan manusia sebatas obyek
bagi dirinya sendiri. Filsafat, dalam hal ini, mengajarkan orang, bukan
untuk menghancurkan ke-aku-annya, tetapi menumbuhkan dan mengembangkannya
secara kritis dengan berbagai referensi diri yang lain di luar dirinya
sendiri.
- membimbing orang untuk dapat berpikir sendiri sehingga orang akan memiliki kemandirian dan kreativitas intelektual (pemikiran) di dalam menghadapi dan menyiasati realitasnya. Orang dilatih dan dididik untuk harus berpikir secara mandiri, terutama dalam lapangan kerohanian. Orang dibimbing untuk harus mempunyai pendapat sendiri jika perlu dapat dipertahankannya untuk terus menyempurnakan cara berpikirnya, sehingga makin mencapai kematangan dan kedewasaan. Prinsip itu perlu terus dikembangkan hingga orang dapat bersikap kritis dalam mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang, baik dalam buku – buku pengetahuan maupun dalam surat– surat kabar, majalah, pidato, dan sebagainya.
IV. Filsafat dan Ilmu Lain
Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri
akan menjadi lebih jelas bila dilihat dalam posisi perbandingan dengan ilmu
lain. Filsafat, dalam hal ini, lebih merupakan sebuah pemikiran yang universal,
menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu lainnya lebih merupakan pemikiran yang
lebih spesifik atau khusus, karena dibatasi pada obyek dan sudut pandang
pemikirannya yang khas. Obyek penelitian filsafat mencakup segala sesuatu,
sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menyimak dan
menyingkap seluruh kenyataan dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dari segala
sesuatu. Filsafat, karenanya, ingin mengkritisi dan menembusi berbagai sekat
pemikiran ilmu-ilmu lainnya, serta berusaha mencapai sebab terahkir dan mutlak
(absolut) dari segala yang ada.
Titik berangkat filsafat yang pertama adalah kegiatan
manusia, dalam hal ini, secara khusus, kegiatan pengetahuan dan kehendak
manusia yang merupakan kegiatan pertama yang secara langsung dialami oleh
manusia. Manusia, di dalam kegiatannya yang pertama dimaksud, menjadi sadar
akan eksistensinya sendiri dan eksistensi orang atau hal lainnya. Filsafat,
karena itu, berusaha mendalami, menyingkap, dan menjelaskan kesadaran
eksistensi diri manusia dan sesama yang lain, secara luas dan mendalam sampai
ke akar-akar realitasnya yang fundamental. Proses penelitian filsafat itu melai
dari bentuk-bentuk pengatahuan biasa yang dimiliki individu dalam kehidupan
sehari-harinya, warisan budaya masa lalu, dan juga hasil penelitian dan
pemikiran ilmu-ilmu lainnya yang bersifat khusus. Jenis-jenis pengatahuan
khusus tersebut, sungguh membantu filsafat, tetapi juga membatu bentuk-bentuk
pengetahuan khusus dan ilmu lain tersebut untuk makin memantapkan dan
menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.
Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia,
dan karennya, filsafat lebih merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan
“kebijaksanaan ilahi” yang sempurna dan mutlak abadi. Filsafat, karena itu,
berbeda dengan ilmu teologi. Teologi berusaha melihat Allah dan kegiatannya di
dalam dunia berdasarkan wahyu adikodrati.
Biarpun filsafat merupakan kegiatan dan produk rasio, ia
tetap bukan ciptaan rasio semata. Alasannya, karena rasio itu sendiri merupakan
bagian integral dari keutuhan eksistensi manusia yang terkait dengan
aspek-aspek lainnya dari tatanan eksistensi manusia itu sendiri yang bersifat
“mono pluralis” (satu di dalam banyak dan banyak di dalam satu). Filsafat tidak
hanya berupaya memuaskan pencaharian manusia akan kebenaran, melainkan ia juga
berusaha menerangi dan menuntun arah atau orientasi kehidupan manusia secara
kritis dan jelas, bukan dengan spekulasi-spekulasi yang absurd, hambar, dan
penuh hayalan yang sia-sia.
Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai
pemikiran, keyakinan, egoisme keilmuan, atau pandangan-pandangan kepribadian
yang bersifat individual semata. Justru, filsafat berusaha menguji,
mengkritisi, dan berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara baru dan
menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas dan tuntutan dinamika
perkembangan yang dihadapi. Filsafat, karena itu, tidak akan pernah menjadikan
dirinya sebagai kebenaran ideologis yang serba-sempurna dan serba-oke, yang
membelenggui manusia. Justru, filsafat tetap adalah sebuah program pencerahan
dalam rangka otonomi, emansipasi, dan perkembangan manusia.
Dewasa ini, tanggungjawab filsafat semakin diakui, baik
sebagai pangkalan pengembangan keilmuan maupun sebagai titik pangkal
pengintegrasian ilmu-ilmu dalam sebuah pendekatan yang bersifat multi dan
interdisipliner. Melalui itu, ilmu-ilmu dan spesialisasi tidak tertutup dalam
kapsul egoisme keilmuan atau spesialisasinya masing masing, tetapi terbuka
untuk saling menyapa dan membangun tugas bersama demi manusia dan kemanusiaan
yang menjadi sumber dan norma, serta causa ontologis (penyebab ada) bagi
ilmu-ilmu itu sendiri.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
- jelaskan arti filasafat sebagai “ibu ilmu”;
- tunjukkan prinsip-prinsip filosofis yang penting dalam keilmuant;
- jelaskan makna mempelajari filsafat dalam sebuah tugas keilmuan;
- tunjukkan kedudukan filsafat dalam pengembangan pikiran, pengetahuan, ilmu.
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:41
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-6
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-6
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-6
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENDASARAN FILSAFAT
BAGI TUGAS KEILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: OBYEK dan LANDASAN FILSAFAT BAGI KEILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: OBYEK dan LANDASAN FILSAFAT BAGI KEILMUAN
C. Standa Kompetensi :
Mahasiswa memahami pentingnya pendasaran filsafat bagi tugas keilmuan.
Mahasiswa memahami pentingnya pendasaran filsafat bagi tugas keilmuan.
D. Kompetensi Dasar :
- menjelaskan pengertian obyek material filsafat bagi keilmuan;
- menjelaskan pengertian obyek formal filsafat dalam mengerjakan ilmu;
- menunjukkan perbedaan obyek material dan obyek formal keilmuan;
- menjelaskan pengertian landasan-landasan filosofis keilmuan;
- membedakan kedudukan masing-masing landasan filosofis keilmuan dalam tugas keilmuan.
I. Obyek Pemikiran filsafat Bagi
Keilmuan
Filsafat memiliki dua obyek pemikiran, yaitu obyek
materian dan obyek formal.
- Obyek material, yaitu materi atau bahan yang menjadi obyek penyelidikan filsafat, maupun bagi segala turunan filsafat itu sendiri, misalnya, pengetahuan atau ilmu. Jadi, dengan kata sifat “material” tidak dimaksudkan sebagai bahan-bahan materi bagi sebuah pekerjaan tukang, tetapi “pokok soal” atau “pangkal pikir” yang merupakan bahan atau obyek pemikiran filsafat itu sendiri. Materi atau obyek studi filsafat itu meliputi segala sesuatu realitas (manusia), baik berupa kenyataan fisik (inderawi), benda dan aktifitas alam, intelektual (intelektif), pengalaman, tradisi, adat, budaya, bahasa, pikiran, pengetahuan harian, maupun ide, gagasan, atau teori, kegiatan-kegiatan manusia, norma-norma hidup, hukum, ideologi, politik, sistem kepercayaan, aspek kejiwaan, baik yang ada maupun yang bisa diadakan oleh pikiran manusia itu sediri. Tegasnya, obyek atau material yang menjadi bahan pemikiran filsafat adalah tertuju pada segala hal, sejauh bisa dijangkau oleh indera maupun pikiran manusia. The Liang Gie (1996: 341), antara lain, menunjukkan adanya 6 (enam) jenis obyek material, yaitu; ide abstrak, benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, peristiwa sosial, dan proses tanda.
Filsafat, dalam hal ini, menjadikan manusia sebagai
obyek dan fokus pemikirannya yang memekarkan. Manusia adalah obyek tetapi
sekaligus subyek bagi pemikirannya. Filsafat selalu bertanya dan merenung
tentang manusia, apakah manusia dan bagaimana “ada” maupun “cara beradanya”.
Filsafat selalu berusaha menjelajahi hakikat manusia, asal usulnya, fenomena
kesenangan, suka-cita, dan aneka penderitaannya, serta bagaimana hidup manusia
setelah mati.
Bagi filsafat, manusia bukan sekedar sebuah fakta atau
realitas bendawi yang jelas pada dirinya, tetapi manusia itu sekaligus adalah
masalah, sekurang-kurangnya, bagi dirinya sendiri. Manusia bukan hanya
menemukan dirinya sebagai “apa adanya”. Justru, setiap saat, manusia menghadapi
dirinya sebagai sebuah “tanda tanya” atau persoalan aktual “mengapa”, dan
“bagaimana adanya”. Manusia adalah sebuah dinamika personal dan daya misteri
bagi dirinya sendiri. Manusia, bagi dirinya, adalah dekat tetapi sekaligus
jauh, jelas dimengerti tetapi sekaligus sukar dan kabur untuk diselami atau
didalami aneka keluasannya. Manusia, karena itu, mengahadapi dirinya sebagai
sebuah tugas kemanusiaan, yang bukan hanya diselesaikan dengan pendekatan fisik
material (fisik, jasmani), atau sosio-religi saja, juga bukan sekedar
pendekatan psikologi atau ekonomi semata. Sebagai persona dinamis, persoalan
kemanusiaan itu tidak hanya harus dihadapi dan disiasasti secara
personal-individual semata terlepas dari aspek sosial kemasyarakatannya.
Persoalan kemanusiaan tersebut tidak mungkin hanya diselesaikan secara logika
matematis semata (misalnya; 1+ 1 = 2), tetapi juga dengan pendekatan logika
kebatinan, logika cinta, kasih sayang, pengorbanan, dan saling pengertian
(misalnya; 1+1 = 1). Pendekatan-pendekatan yang bersifat partikular-primordial
tersebut, justru akan saling menafikkan dan merelatifkan, dan tidak membawa
hasil positif apa pun bagi sebuah tugas kemanusiaan. Jelasnya, manusia adalah
sebuah medan
atau sebuah “dunia’ yang luas dan penuh rahasia. Dunia manusia itu harus
didekati secara utuh dan terpadu, bukan secara primordial-partikular.
Manusia, karena menghadapi dirinya sebagai masalah,
bukan sekedar sebagai fakta atau benda apa adanya, yang selesai pada dirinya
maka manusia itu dipaksa untuk harus dapat memecahkan masalah-masalah
kemanusiaannya dimaksud secara arif dan bijaksana. Caranya, manusia harus
dilatih untuk berpikir keras, manusia harus membangun atau mengembangkan
pengetahuannya secara terus menerus, dan berbudaya. Melalui itu, manusia akan
terus belajar memecahkan atau mengatasi permasalahan-permasalahan
kemanusiaannya itu secara utuh dan paripurna. Justru itulah, manusia harus
belajar hukum, psikhologi, matematika, biologi, sosiologi, antropologi,
kosmologi, Ilmu pemerintahan, politik, agama, ekonomi, ilmu mendidik,
pertanian, kehutanan, kelautan, agama, dan sebagainya. Manusia harus mendirikan
lembaga-lembaga hukum, lembaga ekonomi atau perbankan, lembaga agama, lembaga
pendidikan, lembaga sosial kemasyarakatan, menciptakan teknologi, bahasa,
komunikasi, dan bahkan, belajar seumur hidup untuk mengatasi masalah
kemanusiaan dan tugas kemanusiaannya itu sendiri. Segala realitas itulah yang
dalam filsafat, disebut sebagai ada atau bahan (obyek material) bagi pemikiran
filsafat.
Segala hal yang ada dan merupakan obyek material
filsafat itu diklasifikasikan atas dua golongan sebagai berikut:
- ada yang harus ada, yang disebut ada absolut (mutlak),
yaitu Tuhan pencipta alam semesta. Diketahui bahwa Sang Tuhan itu adalah
“Sang ada” yang harus ada karena Tuhan adalah sesuatu yang tidak diadakan
oleh yang lain. Sang Tuhan adalah “Ada
mutlak” (absolut).
- ada yang tidak harus ada. Ada yang demikian disebut ada yang relatif (nisbi). Ada ini bersifat tidak kekal, yaitu ada yang diciptakan oleh ada mutlak (Tuhan pencipta semesta). Ada yang relatif ini lah yang berhubungan dengan manusia dengan segala realitasnya sebagaimana ditunjukkan di atas, dan merupakan bahan atau materi bagi pemikiran filsafat, pengetahuan, dan ilmu itu sendiri.
Pandangan filosofis mengenai obyek material filsafat
dimaksud, hendak menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada bagi dunia
(eksistensi) manusia, terbuka menjadi bahan, masalah, atau obyek bagi filsafat.
Hakikat ada sebagai obyek filsafat, bersifat utuh atau menyeluruh (universal).
Maksudnya, ada dalam arti seluruh alam semesta, jadi bukanlah ada yang bersifat
khusus (partikular). Konsekuensinya, aspirasi kefilsafatan tentang obyek
material bagi pemikiran filsafat ialah mengutuhkan (mengunifikaskan) semua
obyek dalam satu keutuhan yang majemuk bukan keterpilahan. Misalnya, manusia
sebagai obyek dan subyek hukum harus dapat dilihat di dalam keutuhannya, bukan
dalam realitas yang terpilah-pilah. Manusia sebagai obyek material filsafat
atau pengetahuan, dan ilmu, memiliki ciri dan sifat yang khas, karena manusia
itulah yang menghadapi dirinya sendiri, baik dalam filsafat, pengetahuan, atau
ilmu.
Manusia, dalam hal ini, menghadapi dirinya seolah-olah
sebagai makhluk yang belum selesai pada dirinya sendiri seperti batu, meja,
atau kursi. Manusia, kerananya, selalu mengahadapi dirinya bukan sebagai fakta
tetapi sebagai masalah. Manusia dalam hal ini, seolah-olah menghadapi dirinya
begitu dekat tetapi sekaligus jauh, jelas tetapi sekaligus samar dan kabur,
senang tetapi sekaligus cemas, dan sebaginya. Ia adalah makhluk multi dimensi
yang bersifat mono dualis (makluk dua dimensi), tetapi juga bersifat
mono-pluralis (makhluk berdimensi majemuk). Jadi, manusia adalah sebuah obyek material
baik bagi filsafat, pengetahuan, maupun ilmu, yang tidak pernah selesai. Justru
itu, ilmu-ilmu harus menghampiri manusia dengan renda hati dan penuh kesabaran,
bukan dengan keangkuhan dan egoisme sempit. Ilmu mata tidak akan menyelesaikan
manusia hanya dengan mata, demikian juga jantung, kulit, dan sebagainya.
Justru, diperlukan adalah bagaimana membangun suasana saling kerja sama.
Jelaslah, filsafat melihat segala sesuatu dalam konteks
keseluruhan. Seluruh realitas pandangannya sebagai ada selalu ditempatkan pada
prinsip dasar keutuhan konteks sang ada (eksistensi) yang merupakan syarat
mutlak bagi sebuah cara berada.
- Obyek Formal, adalah sudut pandang filsafat atau metode dan cara kerja yang digunakan dalam rangka mengbongkar, menyingkap, dan mengolah setiap bahan atau materi pemikiran (obyek material), guna dapat mengembangkannya menjadi pengetahuan yang teruji dan tertata secara sistematis dalam bentuk pengetahuan umum maupun pengetahuan ilmiah atau jenis-jenis ilmu yang bersifat spesifik namun saling terkait. Jadi, obyek formal menunjuk pada kemampuan dalam mengkritisi, mengkaji, memahami, menganalisis, mensintesis, dan mengkonstruksi setiap sistem ide atau “peta kognitif” yang tersimpan di balik segala penampakan bahan atau materi (obyek material) yang dihadapinya menjadi sistem-sistem pemikiran, pengetahuan, dan ilmu utuh dan spesifik.
Filsafat, meskipun selalu menampilkan sudut pandang yang
berbeda namun dapat dikatakan hal itu bukanlah perbedaan yang bersifat
fragmentatif (terpusat pada bagian-bagian tertentu yang bersifat atomis atau
terpisah-pisah). Filsafat, justru selalu berupaya mencari pengertian mengenai
realitas secara luas dan utuh. Sebagai konsekwesi pemikiran ini, seluruh
pengalaman dalam semua instansi, etika, estetika teknik, ekonomi, sosial,
budaya, religius dan lainnya, harus lah dibawa kepada filsafat dalam pengertian
sebagai realitas yang utuh.
Obyek formal filsafat, dalam hal ini, menuntut bahwa
seorang filsuf adalah seorang pribadi yang berkembang secara harmonis dan
memiliki pengalaman secara autentik yang diperolehnya dalam dunia realita.
Jadi, obyek formal (sudut pandang) filsafat itu bersifat mengasaskan, karena
mengasas maka filsafat itu mengonstatir prinsip kebenaran dan ketidak benaran,
logis dan non logis, baik bagi sebuah tindakan pemikiran maupun hasil pemikiran
yang bersifat pengetahuan maupun keilmuan.
Obyek formal filsafat, akhirnya, hendak menegaskan bahwa
meskipun terdapat berbagai macam pengetahuan atau ilmu, namun hal itu bisa
bersumber dari suatu obyek material yang sama. Jadi, pengetahuan atau ilmu
hanya menampilkan jenis pikiran atau pendangan yang berbeda berdasarkan sudut
pendekatannya yang saling berbeda tentang pokok soal atau obyek materi yang
sama, misalnya; biologi, psikologi, teologi, ekologi, linguistik, dan
sebagainya, bermaksud menemukan apa yang dapat diketahuinya secara khusus
berdasarkan sudut pendekatannya yang khas tentang manusia.
II. Landasan-Landasan Berpikir
Filsafat.
Filsafat selalu melandasi diri pada tiga landasan
pemikiran, yaitu; landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ketiga
landasan pemikiran filsafat dimaksud, tidak bersifat partikular (terlepas
pisah), namun saling terkait secara utuh, dalam rangka memberikan
landasan-landasan yang kokoh bagi pemikiran, maupun pengembangan pemikiran itu
sendiri dalam bentuk ilmu, pengetahuan, teknologi, maupun dalam bentuk lakon
kehidupan yang aktual.
- Landasan Ontologis. Istilah ontologi diambil dari bahasa
Yunani On ontos artinya ada atau keberadaan dan logi artinya pikiran atau
ilmu. Jadi, Ontologi artinya ilmu tentang ada atau keberadaan itu sendiri.
Maksudnya, sebuah pemikiran filsafat, selalu diandaikan berasal dari
kenyataan tertentu yang bersifat ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh
kegiatan manusia. Tegasnya, bila sebuah pemikiran tidak memiliki
keberadaan (landasan ontologi) atau tidak mungkin pula untuk diadakan maka
pikiran itu hanya berupa hayalan, dorongan perasaan subyektif atau
kesesatan berpikir yang dapat ditolak atau disangkal kebenarannya. Hakikat
ada atau realitas ada itu, bagi filsafat, selalu bersifat utuh
(eksistensial). Misalnya, bila secara ilmu hukum, kita berpikir tentang
kebenaran atau keadilan maka dapat ditunjukkan bahwa kebenaran atau
keadilan itu ada atau bisa diadakan dalam hidup manusia sehingga bisa dibuktikan
atau ditolak (disangkal) kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir
tentang Tuhan ataujiwa maka sekurang-kurangnya, harus dapat dibuktikan
atau ditunjukkan bahwa Tuhan atau jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran
itu hanya berupa sebuah ide kosong atau khayalan yang muda ditolak
kebenarannya. Realitas ontologis itulah yang menjadi dasar pemikiran
hukum, teologi, atau psikologi sehingga pemikiran huku, teoloigi atau
psikhologi tersebut bisa dibuktikan dan dukung (di-affirmasi) atau
difalsifikasikan (ditolak), atau disingkirkan (di-negasi). Realitas ada
yang menjadi obyek pemikiran dan pembuktian sebuah pemikiran filsafat
selalu dipahami sebagai sebuah kenyataan yang utuh, sempurna dan dinamis,
baik dari sisi materi dan rohani, atas-bawah, hitam-putih, dan sebagainya.
Ontologi, terbagi atas dua, yaitu; ontologi umum yang disebut metafisika,
dan ontologi khusus, seperti, Kosmologi, Theodice, dan sebagainya.
- Landasan Epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Episteme = pikiran atau pengetahuan dan logi atau logos = pengetahuan atau ilmu. Jadi, Epistemologi artinya pengetahuan tentang pengetahuan, atau filsafat pengetahuan. Maksudnya, bagi filsafat, setiap realitas apa pun, baik yang berupa realitas fisik, pikiran, ide, teks, pandangan hidup, budaya, ideologi, ajaran, keyakinan keagamaan, dan sebaginya sebagaimana pada landasan ontologis di atas, selalu memiliki struktur kenyataan yang mengandung ide, peta pemikiran (peta kognitif), struktur tata nilai dan pemahaman. Kenyataan itu, karenanya, harus digali, dikaji, diuji, dan diramu secara mendalam, sebagai sebuah sistim pemikiran atau sistem pengetahuan yang khas.
Epistemologi, karena itu, lebih dipahami sebagai aspek
kritis dari filsafat yang berupaya mempertanyakan, merumuskan, menganalisis, menguji,
dan menyempurnakan segala yang ada menjadi sistim pemikiran atau sistim
pengetahuan tertentu. Epistemologi, dalam hal ini, berbicara tentang hakikat,
sumber, jangkauan, kebenaran, cara membangun pemikiran yang sehat dan lurus,
serta metode atau cara kerja di dalam memperoleh pengatahuan itu sendiri.
Melalui epistemologi dapat diuji dan ditunjukkan bahwa tidak semua pemikiran
itu menjadi kebenaran-kebenaran pengetahuan, dan tidak semua pengetahuan itu
dapat menjadi kebenaran ilmu. Alasanya, setiap pemikiran, pengetahuan, atau
ilmu, termasuk teknologi selalu memiliki dasar-dasar pertanggungjawaban
epistemologis, baik menyangkut kejelasan sumber, jangkauan, metode, maupun
pengandaian-pengandaiannya. Nampaknya, salah satu sisi penting dari
epistemologi adalah logika yang membicarakan tentang cara mengerjakan pikiran
yang benar (pikiran sehat).
- Landasan Aksiologi. Sebagaimana istilah Ontologi dan Epistemologi yang berasal dari bahasa Yunani, demikian pula Aksiologi yang berasal dari kata axios artinya pantas atau bernilai. Maksudnya, setiap pemikiran filsafat dengan segala turunannya, baik dalam bentuk pengetahuan atau ilmu, harus berlandas pada nilai-nilai kepantasan dan kewajaran. Alasannya, pikiran itu adalah pikiran manusia (bukan pikiran malaikat atau binatang) yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai subyek dan obyek pikiran itu sendiri. Bahkan, pikiran itu adalah pikiran seorang anak manusia yang selalu bernilai bagi dirinya.
Tegasnya, segala pemikiran filsafat harus dapat
diandaikan sebagai bagian dari fenomena eksistensi manusia yang utuh, pantas,
dan bernilai. Suatu pemikiran yang pantas dan bernilai, selalu berurusan dengan
upaya yang sungguh untuk membebaskan manusia, mengangkat derajat manusia dan
menempatkannya sebagai subyek. Justru itu, setiap pemikiran filsafat, termasuk
ilmu dan pengetahuan, harus dikembalikan pada manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan sebagai; dasar, sumber, norma, dan pangkalannya yang tetap.
Pengetahuan atau ilmu, dalam hal ini, selalu bertautan dengan nilai, sehingga
tidak ada ilmu yang bebas nilai dalam dirinya.
Pikiran, pengetahuan, atau ilmu selalu memiliki
pertautan bathiniah dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diembannya. Bahkan,
nilai kemausiaan itu menjadi basis dan landasarn normantif bagi pengembangan
ilmu. Filsafat dengan landasan berpikir aksiologisnya ini hendak menegaskan
bahwa tidak ada pikiran, pengetahuan, atau ilmu yang bebas nilai. Pikiran,
pengetahuan, atau ilmu, pada dasarnya telah bersifat taut nilai, baik dari sisi
asalnya (sumbernya), prosesnya, maupun hasil (penggunaan atau penerapannya).
Landasan aksiologi, karenanya, memberikan dasar yang
kokoh bagi etika keilmuan, baik dalam rangka tugas pengembangan ilmu itu
sendiri maupun penerapannya dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan,
kemasyarakatan, dan lingkungan hidup. Baik ilmu-ilmu murni maupun ilmu terapan,
tidak memiliki sebuah alasan yang memadai, dari daram dirinya sendiri, untuk
mangatakan diri sebagai ilmu yang bebas nilai, sebab selalu ada saja
tanggungjawab (nilai) yang diemban, baik dalam rangka proses keilmuan maupun
penerapan hasil keilmuan itu sendiri.
Singkatnya, dipadangkan dari isinya, studi filsafat
bertujuan memberikan dasar-dasar pengetahuan, serta pandangan yang sistematis
sehingga seluruh pengetahuan kita merupakan kesatuan yang utuh. Hidup kita
dipimpin oleh pengetahuan kita, sebab mengetahui kebenaran yang terdasar
berarti pengetahuan dasar hidup kita sendiri yang diselami. Studi filsafat,
memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan lainnya mengenai manusia seperti; ilmu mendidik,
sosiologi, hukum, ilmu jiwa, dan sebagainya.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
- jelaskan pengertian obyek material filsafat bagi keilmuan;
- jelaskan pengertian obyek formal filsafat dalam mengerjakan ilmu;
- tunjukkan perbedaan obyek material dan obyek formal keilmuan;
- jelaskan pengertian landasan-landasan filosofis keilmuan;
- tunjukkan perbedaan masing-masing landasan filosofis keilmuan dalam tugas keilmuan.
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:44
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-7
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-7
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-7
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENDASARAN FILSAFAT
BAGI TUGAS KEILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: CIRI PEMIKIRAN FILSAFAT BAGI TUGAS KEILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: CIRI PEMIKIRAN FILSAFAT BAGI TUGAS KEILMUAN
C. STANDAR KOMPETENSI:
Mahasiswa memahami pentingnya pendasaran filsafat bagi tugas keilmuan.
Mahasiswa memahami pentingnya pendasaran filsafat bagi tugas keilmuan.
D. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa dapat:
Mahasiswa dapat:
- menjelaskan fungsi berpikir rasional dalam pengembangan ilmu;
- menjelaskan fungsi berpikir holistik dalam pengembangan ilmu;
- menggambarkan contoh berpikir integratif dalam keilmuan;
- membedakan ciri berpikir universal dan kontekstual dalam pengembangan ilmu.
I. Ciri-Ciri Pemikiran Filsafat
Filsafat, sesuai ciri dasarnya sebagai, prinsip dan
landasan berpikir bagi setiap usaha manusia di dalam mengenal dan mengembangkan
eksistensinya, melakukan tugasnya dengan bertitik tolah pada beberapa ciri
pemikiran, yaitu:
- Berpikir Rasional, Sebagaimana diketahui, berfilsafat adalah berpikir. Meskipun demikian, tidak semua kegiatan berpikir dan hasil berpikir dimaksud dapat dikategorikan sebagai berfilsafat. Ciri pemikiran filsafat pertama-tama harus bersifat rasional, bukan perasaan subyektif, khayalan, atau imajinasi belakah. Ciri pemikiran rasional menunjukkan bahwa baik kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran filsafat itu sendiri harus dapat diterima secara akal sehat, bukan sekedar mengikuti sebuah common sense (pikiran umum). Ciri pemikiran filsafat yang rasional itu membuat filsafat disebut sebagai pemikiran kritis atau “ilmu kritis”.
Pemikiran kritis filosofis memiliki dua aspek, yaitu
kritis (critics) dan krisis (crycis). Berpikir kritis (critics) artinya,
berpikir bukan untuk sekedar menerima kenyataan atau menyesuaikan diri dengan
kenyataan pemikiran atau pandangan orang (termasuk dalamnya dogma atau
ajaran-ajaran, keyakinan, dan ideologi apa pun) sebagaimana apa adanya. Justru,
inti dari ciri pemikiran filsafat yang kritis (critics) ini adalah berpikir
dalam rangka mengkritik, meragukan, dan mempertanyakan segala sesuatu, sampai
mencari dan memndapatkan dasar-dasar pertanggungjwaban intelektual atau
argumentasi-argumentasi yang mendasarnya yang tidak mungkin dapat diragukan atau
dipertanyakan lagi oleh siapa pun dan kapan pun. Filsafat, dengan pemikiran
kritis (rasio kritis)-nya ini, ingin melakukan pengkajian, penelitian secara
mendalam guna dapat menemukan inti pemikiran atau kebenaran sesungguhnya yang
dicari. Filsafat, dalam hal ini, tidak menolak kesalahan tetapi mempertanyakan
mengapa orang bisa melakukan kesalahan dalam berpikir?. Immanuel Kant yang
terkenal sebagai bapak filsuf kritis menyebut rasio kritis ini sebagai “kritik
rasio munri” (Critics ratio vernun). Pemikiran filsafat yang berciri “rasio
kritis” ini, tidak ingin terjebak di dalam sebuah pemikiran yang umum (common
sence), juga tidak ingin terjebak di dalam kesesatan, kekeliruan, atau
kesalahan berpikir (baik dalam proses berpikir maupun dalam menarik kesimpulan-kesimpulan
pemikiran) yang tersembunyi di dalam sistim pemikiran atau sistim keyakinan.
Ciri pemikiran filsafat tersebut, oleh oleh Plato, disebut sebagai berpikir
dialogis atau oleh Rene Descartes disebut berpikir dengan metode “keraguan
kritis” yang dengannya, orang tidak diperdaya oleh kekeliruan atau kesalahan
umum.
- Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis
atau crycis. Menurut Jurgen Habermas, krisis atau crysis adalah ciri
pemikiran yang tidak ingin terbelenggu dalam sangkar rasio tetapi bergulat
dengan realitas kemanusiaannya yang penuh krisis, anomali, determinasi,
dan pembusukan budaya. Pemikiran crysis berada pada tataran sosial untuk
melakukan penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai fenomena patologis
(penyakit sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, dan represi yang
cenderung mendistorsi akal sehat manusia.
- Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir
filsafat yang ingin menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai
keakar-akarnya, untuk menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikirannya
secara utuh ke permukaan. Melalui cara pemikiran yang demikian itu,
diperoleh suatu hasil berpikir yang mendasar dan mendalam, serta sebuah
pertanggunganjawaban yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat
dan pikiran keilmuan itu sendiri. Ciri pemikiran dimaksud, mengisyaratkan
bahwa orang tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran
sebelum menemukan hakikat kebenarannya secara fundamental, dan dengan
demikian, ia tidak muda terjebak ke dalam pemikiran yang sesat dan keliru
atau kejahatan. Berpikir radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah
proses dan hasil pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar dan strategi
bagi pemikiran itu sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau
tantangan (ujian) zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.
- kreatif-inovatif. Artinya, pemikiran filsafat bukanlah
pemikiran yang melanggengkan atau memandegkan dirinya di dalam berbagai
keterkungkungan dogma atau ideologi yang beku dan statis. Justru, ia
selalu berusaha membangun kejataman budi untuk mampu mengeluarkan diri
kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki, menyempurnakan, dan
mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan
penemuan-penemuan (invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih brilian,
terbuka, dan kompetitif dalam merespons tuntutan zaman serta
kemajuan-kemajuan yang penuh kejutan dan pergolakan, baik pada tataran ide
maupun moral. Ciri pikiran filsafat tersebut mengandaikan sebuah kekuatan
transformasi dan seni “mengolah budi” (kecerdasan) guna mampu melakukan
imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan
penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual.
- Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir
filsafat selalu berpikir logis (terstruktur dan teratur berdasarkan hukum
berpikir yang benar). Pemikiran filsafat tidak hanya melepaskan atau
menjejerkan ide-ide, penalaran, dan kreatifitas budi secara serampangan
(sporadis). Justru, pemikiran filsafat selalu berusaha mengklasifikasi
atau menggolong-golongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau
mengakumulasikan, serta menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai
dan menyusunnya dengan kata (pengertian), kalimat (keputusan), dan
pembuktian (konklusi) melalui sistim-sistim penalaran yang tepat dan
benar. Pemikiran filsafat selalu bergerak selangkah demi selangkah, dengan
penuh kesadaran (pengujian diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi
dan makna secara terstruktur dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur
atau langkah berpikir yang tertib, tertanggung jawab, dan saling
berhubungan secara teratur.
- Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu
mencari gagasan-gagasan pemikiran yang bersifat universal, yang dapat
berlaku di semua tempat. Pemikiran filsafat tidak pernah akan berhenti
dalam sebuah kenyataan yang terbatas, ia akan menerobos mencari dan
menemukan gagasan-gagasan yang bersifat global dan menjadi rujukan
pemikiran umum. Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan kontekstual
(bagian-bagian yang terpisah menurut konteks ruang dan waktu) diangkat dan
ditempatkan (disintesakan) dalam sebuah bagian yang utuh dan universal,
sebagai sebuah kenyataan eksistensisal yang khas manusiawi.
- Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat
selalu bersifat menyeluruh dan utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih
jelas dan lebih bermakna daripada bagian-perbagian. Holistik artinya,
berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme
(kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat yang demikian perlu
dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka
manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan
tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah
eksistensi yang utuh. Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia
sebab hanya manusia lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat
diminta pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan
yang diakibatkan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran merupakan kesatuan yang
utuh dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks
serta beranekaragam. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam
pikiran itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi
justru manusia lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia
maka pikiran tidak memiliki arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya
berpikir dengan akal atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman
batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang utuh.
- Berpikir Abstrak. Berpikir abstrak adalah berpikir pada
tataran ide, konsep atau gagasan. Maksudnya, pemikiran filsafat selalu
berusaha meningkatkan taraf berpikir dari sekedar pernyataan-pernyataan
faktual tentang fakta-fakta fisik yang terbatas pada keterbatasan jangkuan
indera manusia untuk menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman yang
utuh, integral (terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abstrak
melalui bentuk –bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran.
Baginya, sebuah fakta fisik selalu terbatas pada apa adanya karena
sifatnya terbatas menurut sebuah penampakan inderawi yang sejauh dapat
dilihat, didengar, atau diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih
ditingkatkan pada taraf-taraf berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau
gagasan-gagasan, dengan menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas
budi sehingga orang mampu memberi arti, memahami, menangkap, membedakan,
dan menjelaskannya aneka pencerapan inderawi tersebut dalam sebuah
pemikiran yang tersusun secara sistematis. Pemikiran abstraktif, berusaha
membebaskan orang dari cara berpikir terbatas dengan hanya “menunjukkan”
untuk makin mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan “memahami dan
“menjelaskan”. Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada tataran
kemampuan berimajinasi, membangun kohenrensi, dan korelasi secara utuh dan
terstruktur guna menunjukkan peta keutuhannya, dengan segala fenomenanya
secara detail sehingga dapat dijelaskan secara lengkap dan sempurna.
- Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan
kelanjutan dari ciri berpikir abstrak yang selalu berupaya mengangkat
pengalaman-pengalaman faktawi ketaraf pemahaman dan panalaran. Melalui
itu, orang tidak hanya berhenti pada informasi sekedar menunjukkan apa
adanya (in itself), tetapi lebih meningkat pada taraf membangun pemikiran
dan pemahaman tentang mengapa dan bagaimananya hal itu dalam berbagai
dimensi bentuk pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif
memungkinkan adanya transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif yang
luas tentang aneka kenyataan. Tegasnya, melalui ciri pemikiran filsafat
yang spekulatif dimaksud, orang tidak sekedar hanya menerima sebuah
kenyataan (kebenaran) secara informatif, sempit, dan dangkal, tetapi
dengan sikap kritis, dan penuh imajinasi untuk memahami (verstending) dan
mengembangkannya secara luas dalam berbagai khasana pemikiran yang
beraneka. Berfilsafat adalah berfikir dengan sadar, yang mengandung
pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum yang
ada. Berpikir secar filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa
yang ada pada alam semesta secara utuh sehingga orang dimungkinkan untuk
mengembangkannyadalam berbagai aspek pemikiran dan bidang keilmuan yang
khas.
- Berpikir secara reflektif. Maksudnya, filsafat selalu
berpikir dengan penuh pertimbangan dan penafsiran guna penemuan
makna kebenaran secara utuh dan mendalam. Ciri pemikiran filsafat yang
reflektif ini, hendak ditunjukkan bahwa pemikiran filsafat tidak cenderung
membenarkan diri, tetapi selalu terbuka membiarkan diri dikritik dan
direnungkan secara berulang-ulang dan makin mendalam, untuk sambil mencari
inti terdalam dari pemikiran dimaksud, juga menemukan titik-titik
pertautannya secara utuh dengan inti kehidupan manusia yang luas dan
problematis. Berpikir reflektif memungkinkan proses internalisasi
(pembathinan) setiap pemikiran filosofis, sehingga pikiran itu sendiri
bukan hanya mampu mencerminkan isi otak, tetapi isi kehidupan secara utuh
menjadi sebuah gaya
kehidupan yang khas.
- Berpikir humanistik. Ciri pemikiran filsafat ini hendak
letakkan hakikat pemikiran itu pada nilai dan kepentingan-kepentingan
kemanusiaan sebagai titik orientasi, pengembangan, dan pengendalian
pemikiran itu sendiri. Maksudnya, pemikiran dan segala anak pinaknya, baik
dalam bentuk pengetahuan, ilmu, atau teknologi harus dapat menunjukkan
sebuah pertanggungjawaban pada sebuah tugas kemanusiaan yang nyata. Bagi
filsafat, pikiran atau pengetahuan itu adalah pikiran yang khas manusia,
bahkan pikiran seorang anak manusia untuk sebuah tugas kemanusiaan. Ciri
pemikiran filsafat, karenanya memiliki dasar, sumber dan tanggungjawab
kemanusiaan yang diemban. Berpikir humanistik bukan saja berpusat pada
manusia, tetapi sesungguhnya menyentuh sebuah tanggungjawab manusiawi.
Inti kemanusiaan itulah yang menjadi dasar dan sumber aktual bagi proses
berpikir maupun penerapan hasil pikiran itu sendiri.
- Berpikir kontekstual. Ciri pemikiran ini hendak
menunjukkan bahwa pikiran bukan sekedar sebuah ide, tetapi sebuah realitas
eksistensi dengan konteksnya yang nyata dan jelas. Maksudnya, setiap
pemikiran filsafat, selalu bertumbuh dan berkembang dalam konteks hidup
manusia secara nyata. Pikiran filsafat karenanya, merupakan bagian dari
cara berpikir dan cara bertindak manusia atau masyarakat dalam menyiasati
dan memecahkan masalah-masalah kehidupannya secara nyata. Pemikiran
kontekstual mengandaikan kejeniusan lokal (local genius) dalam membangun
sebuah struktur keberadaan. Pemikiran filsafat juga mencirikan sebuah
pemikiran yang fungsional dalam menyiasati serta membangun tanggungjawab
budaya maupun sosial kemasyarakatannya.
- Berpikir eksistensial. Ciri pemikiran filsafat ini
bermaksud menunjukkan bahwa pikiran itu adalah pikiran manusia, karenanya,
setiap pemikiran selalu mengandaikan harapan, kecemasan, kerinduan,
keprihatinan dan aneka kepentingan manusia sebagai sebuah manifestasi
eksistensial. Pikiran itu sendiri adalah sebuah tanda keberadaan atau
fenomena eksistensi, dengan pikirannya, manusia membudayakan diri dan
memenuhi kodrat eksistensialnya sebagai eksistensi yang bermartabat.
Berpikir eksistensial, mengandaikan sebuah ciri pemikiran yang khas, yang
bukan saja berpikir dalam kerangka keilmuan, tetapi justru pemikiran dalam
rangka pengembangan eksistensi jati diri dan kehidupan secara utuh.
- Berpikir kontemplatif. Ciri pemikiran filsafat ini diarahkan untuk menajamkan kepekaan diri, ketajaman bathin, serta kemampuan mengenal kekuatan dan kelemahan, dan kesadaran otodidik dalam diri. Melalui pemikiran kontemplatif dimaksud, setiap pemikir, filsuf, atau ilmuwan mampu menasihati dan membimbing diri (menangani diri) dengan penuh kerendahan hati, kesabaran, dan kesetiaan. Ciri berpikir kontemplatif mampu membimbing para subyek (pemikir) sedemikian rupa, sehingga mampu melalukan koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas segala cara berpikir maupun hasil pemikiran itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam keangkuhan, sikap ideologis, dan pembenaran diri menjadi “kekuatan serba oke”, yang secara buta mentukangi aneka kebohongan dan kejahatan. Berpikir kontemplatif membimbing orang untuk makin memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat yang beradab dan bermartabat.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
----------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara Mengerjakannya ( belum diterbitkan).
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
----------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara Mengerjakannya ( belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
- jelaskan fungsi berpikir rasional dalam pengembangan ilmu;
- jelaskan fungsi berpikir holistic dalam pengembangan ilmu;
- gambarkan contoh berpikir integrative dalam keilmuan;
- tunjukkan perbedaan ciri berpikir universal dan kontekstual dalam pengembangan ilmu.
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:46
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-8
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-8
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-8
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENGETAHUAN DAN
ILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: PENGETAHUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: PENGETAHUAN
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Setelah mempelajari pokok ini, diharapkan Anda dapat:
Setelah mempelajari pokok ini, diharapkan Anda dapat:
- menjelaskan arti pengetahuan secara filosofis;
- menunjukkan hakikat pengetahuan dalam tugas keilmuan;
- membedakan tingkat pengetahuan dalam tugas keilmuan;
- menjelaskan bentuk-bentuk teori kebenaran pengetahuan dalam tugas keilmuan;
I. Pengertian.
Sebuah uraian yang kiranya bersifat memadai tentang
pengetahuan (episteme) telah kami upayakan dalam buku pertama tentang Tanggung
Jawab Pengetahuan (terbitan Pustaka Filsafat Kanisius, 2001). Uraian berikut
ini lebih merupakan pendalaman pemahaman tentang hakikat pengetahuan pada;
aras, jenis aliran, dan tokoh. Pembaca, untuk itu, diminta membaca bagian ini
sambil mencari pendasaran epistemologisnya pada buku Tanggung Jawab Pengetahuan
dimaksud.
Pengetahuan (bah. Yunani episteme) adalah daya
pengenalan serta hasil pengalaman melalui persepsi tentang apa yang dipandang
sebagai fakta, evidensi, kebenaran, dan kewajiban yang dipelihara dan
diteruskan oleh peradaban. Kata pengetahuan, secara umum, menandaskan adanya
kebenaran, kepastian, dan validitas atau kesahihan tertentu, baik berdasarkan
pengalaman atau pemahaman. Pengetahuan, secara filosofis mencakup dua sisi
pengertian, yaitu; sisi statis berupa apa yang dimiliki (having) dan sisi
dinamis (being) berupa proses atau aktivitas mengetahui.
Sisi statis, sebagaimana lazimnya, menunjukkan bahwa
pengetahuan diartikan sebagai hal-hal yang ada dalam kesadaran, berupa;
keyakinan, gagasan, ide, fakta, bayangan, gagasan, konsep, paham, teori, atau
hasil pikiran yang dipandang sebagai hal yang benar, valid, dan obyektif.
Pengetahuan, dalam pengertiannya yang statis ini, hanya berupa putusan–putusan
yang benar dan pasti (kebenaran dan kepastian yang obyektif). Eksistensi atau
subyek yang mengetahui, dalam hal ini, sadar akan hubungan-hubungannya sendiri
dengan obyek atau hal-hal (kebenaran-beneran atau kepastian-kepastian) yang
telah diakui keobyektifannya. Subyek pengetahuan sadar akan hubungannya dengan
obyek atau obyektifitas-obyektifitas dengan subyek.
Sisi dinamis, mengandung pengertian bahwa pengetahuan
merupakan proses atau aktivitas kehidupan (pikiran, perasaan, keyakinan, dan
ketrampilan) yang dilakukan secara sadar, terencana, analitis, dan metodis atau
hipotesis guna melangkah lebih maju dalam mencapai hal-hal baru atau
pembuktian-pembuktian baru, berupa pikiran, pengetahuan, teori, fakta, dan
ketrampilan hidup yang baru. Jadi, pengetahuan, dalam hal ini, merupakan
peristiwa di mana sang subyek (yang mengetahui) dan obyek (yang menyatakan diri
untuk di diketahui) berhubungan aktif, sehingga tersusunlah suatu sistiem
pemikiran atau pengetahuan baru dalam kesatuannya yang aktif. Konsekuensinya,
pengetahuan itu bersifat aktif-aktif, subyek-obyek, substansi-aksidensi,
situasi-tempat, pemahaman–sikap, materi-cara, dan sinkronik-diakronik.
Pengetahuan, karenanya, dipandang sebagai semua kehadiran “intensional obyek”
di dalam subyek.
Berdasarkan kedua sisi pemahaman di atas, dapat
ditunjukkan bahwa pengetahuan merupakan sebuah kegiatan intensional berupa
pengalaman sadar. Alasannya, sangat sulit untuk hanya mengatakan atau membatasi
pengetahuan itu, pada sisi statisnya seperti ajaran, konsep, atau kebenaran
obyektif, tanpa secara tepat menunjukkan bagaimana eksistensi subyek yang
mengetahui dapat sadar akan suatu eksistensi obyek tanpa kehadiran eksistensi
tersebut di dalam dirinya. Pengetahuan sebagai suatu kegiatan intensional harus
dibedakan dari kegiatan-kegiatan intensional lainnya yang tidak mendapat
pertimbangan–pertimbangan kritis rasional, seperti: perasaan subyektif atau
keinginan, dan dorongan kehendak belaka.
Intinya, pengetahuan mengacu ke fakta yang mengagumkan
suatu eksistensi yang mengetahui. Melalui itu, eksistensi (subyek) yang
mengetahui seolah-olah menjadi transparan terhadap dirinya sendiri. Subyek pun,
sadar akan dirinya sendiri, dan demikian “hadir bagi dirinya sendiri”. Bahkan,
lebih daripada itu, eksistensi atau subyek yang mengetahui mengalami kemajuan
melampaui diri dirinya sendiri ketika ia merefleksikan “yang lain” di dalam
dirinya sendiri dan karenanya “dalam arti tertentu, menjadi segala sesuatu”,
sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles.
Para filsuf epistemolog, karenanya, cendrung mengartikan pengetahuan sebagai
hal yang menelaah hakikat, jangkauan, pengandaian, metode, sumber-sumber,
syarat-syarat, kebenaran, kepastian, dan pertanggungawaban pengetahuan.
II. Tingkat Pengetahuan.
Pengetahuan manusia terjadi dalam dua tingkatan, yaitu;
tingkat pengetahuan inderawi menuju pengetahuan intelektif. Pengetahuan pada
taraf inderawi menunjukkan bahwa pengetahuan dimulai dari kesan-kesan yang
diterima melalui alat-alat indera dari dunia pengamatan yang hasilnya dianggap
representatif (pengetahuan representatif). Hasil penginderaan itu kemudian
diproyeksikan dan diasimilasikan lebih lanjut pada tahap kesadaran aktif (utuh
dan kritis) pada tahap pengetahuan intelektual. Pengetahuan pada tahap
intelektif (pengetahuan intelektual), menunjukkan proses di mana data-data
pengetahuan empiris diterima dan dihubung-hubungkan. Hubungan-hubungan tersebut
menghasilkan konsep atau gagasan-gagasan yang utuh dan terstruktur. Pengetahuan
intelektif, niscaya, tidak hanya terbatas pada cara pemikiran tertentu saja,
tetapi lebih lagi dikembangkan pada tataran pengalaman aplikasi.
Pengetahuan inderawi merupakan jenis pengetahuan yang
juga melibatkan organ-organ tubuh (indra-indera luar dan otak) yang
berkesesuaian dan menunjuk pada kualitas-kualitas inderawi sekunder seperti;
warna, bunyi, bauh, dan sebaginya serta kualitas-kualitas inderawi primer,
seperti; bentuk, ukuran, cahaya, gerakan, citarasa, sakit, senang, dan
sebaginya yang semuanya bersifat spasio-temporal (terbatas pada ruang dan
waktu). Pengetahuan inderawi, dalam hal ini, menunjuk pada sejumlah kesan yang
diterima organ-organ inderawi yang terbatas, partikular, dan beraneka ragam.
Akibatnya, rangsangan (sensasi) inderawi yang dikirim ke otak menghasilkan
suatu citra inderawi sebagai wujud pengalaman sadar. Pengetahuan inderawi
mengandalkan daya ingatan dan imajinasi yang berfungsi menyempurnakan hasil
sensasi atau penglihatan inderawi yang terpotong-potong dan menyusunnya secara
utuh. Indera esimatif menghubungkan pencerapan (sensasi) dengan seluruh
kehidupan makhluk berindra, serta membimbing ke dalam taraf pengetahuan
kognitif (pemahaman).
Pengetahuan inderawi berfungsi sebagai instrumen
pengetahuan intelek untuk mencapai arti pengatahuan yang lebih tinggi dalam hal
pembentukan konsep-konsep rohani. Justrunya, pengolahan intelek yang sehat atas
pengetahuan inderawi sangat penting artinya bagi perkembangan yang layak dari
roh manusia. Pengetahuan intelektif adalah wujud kemampuan pikiran untuk
melihat kebenaran-kebenaran dengan “mata pikiran” secara langsung tanpa
pembuktian. Misalnya, aksioma-aksioma geometrik dan sebaginya.
- Pengetahuan Pra ilmiah dan Pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan bertumbuh dari tahap pra ilmiah ke tahap pengetahuan
ilmiah. Pengetahuan pra ilmiah adalah pengetahuan sehari-hari yang tidak atau
belum diolah, dikaji, dan disusun, serta dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Bentuk pengetahuan pra ilmiah, dapat berupa pandangan umum (common sense),
keyakinan –keyakinan hidup, atau tradisi, dan sebaginya.
Pengetahuan ilmiah adalah bentuk pengetahuan yang telah
diolah, dikritisi, diuji, dikembangkan, dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah
berdasarkan prosedur, norma-norma dan metode berpikir ilmiah. Pengetahuan ilmiah
tersebut dapat dibagi dalam bentuk pengetahuan empiris dan pengetahuan
teoretik.
- Pengetahuan esensial.
Pengetahuan esensial merupakan pengetahuan yang
memungkinkan tersingkapnya atau terungkap jelasnya sesuatu. Hal ini berbeda
dengan penetahuan empiris belakah yang hanya membatasi diri pada cerapan
inderawi. Pengetahuan esensial menunjukkan bahwa penangkapan langsung dan
gambaran seketika terhadap hakikat (esensi) dari eksistensi konkret
mengandaikan adanya pererimaan intuitif dalam diri manusia tanpa melalui
pengalaman. Konsep-konsep esensial merupakan praandaian yang diperlukan untuk
memahami secara a priori hubungan-hubungan hakiki. Ciri pengetahuan esensial
menunjukkan pula bahwa hakikat segala sesuatu tidak dapat dikenal secara
langsung, melaikan hanya ciri-ciri esensialnya yang nampak.
5. Pengetahuan transendental, adalah pengetahuan yang
menunjuk pada kondisi-kondisi (kategori-kategori, bentuk, maupun struktur) yang
memungkinkan sebuah pengalaman yang sadar. Immanuel Kant, sebagai pencetus
pengetahuan transendental, menunjukkan bahwa pengetahuan tentang suatu realitas
yang mengatasi pengalaman kita adalah mustahil, tetapi pengetahuan
transendental adalah mungkin. Pengetahuan transendental mengatasi pengatahuan
empiris, tetapi ia tidak mengatasi semua pengetahuan manusiawi.
6. Bentuk-bentuk Kebenaran Pengetahuan
(1). Kebenaran korespondensi, yaitu kebenaran
berdasarkan kesesuaian atau kesepadanan. Teori kebenaran korespondensi
mengajarkan bahwa suatu dapat disebut benar bila terdapat kesesuaian atau
kesepadanan antara pernyataan-pernyataan sebuah pikiran atau klaim pengetahuan
dengan kenyataan, dan ide-ide yang ada dalamnya berkorelasi dengan kenyataan
melalui persepsi-persepsi yang diterima dari dunia nyata. Konsekuensinya, bila
tidak terdapat kesesuaian atau kesepadanan antara ide atau pernyataan dengan
kenyataan maka hal itu tidak dapat diterima sebagai kebenaran pengetahuan, dan
karenanya, patut ditolak sebagai kekeliruan atau kesesatan dalam berpikir.
Teori kebenaran korespondensis ini banyak digunakan dalam pengetahuan
empiris-inderawi. Kebenaran korespondensis, karenanya, merupakan pandangan
tetang kebenaran pengetahuan yang lebih masuk akal bagi sebuah aprehensi biasa
(pengetahuan tentang sebuah penampakan biasa), misalnya; dalam hal menguji ingatan
tentang sesuatu hal. Kritik yang dapat
ditujukan terhadap teori kebenaran ini adalah bahwa
belum tentu setiap pernyataan dan kenyataan yang koresponden (sepadan) mampu
menunjukkan keutuhan isi dan bentuk kebenaran dimaksud.
(2). Kebenaran koherensi, yaitu kebenaran bersadarkan
pertalian atau hubungan logis. Teori kebenaran koherensi banyak digunakan dalam
penentuan kebenaran pengetahuan intelektual-rasional. Teori kebenaran
koherensi, tidak seperti teori kebenaran koserpondensi (padanan), menekankan pada
kriteria-kriteria logis dalam mengevaluasi dan menentukan kebenaran suatu
pengetahuan yang berupa penjelasan-penjelasan (eksplanasi). Pembuktian atau
penentuan kebenaran koherensi, dalam hal ini, cenderung ditunjukkan pada
kebenran-kebenaran yang berupa, misalnya; pembentuk teori, pengujian-pengujian
logis, kensistensi-konseintensi affirmatif atau proposisi-proposisi, inferensi,
dan sebaginya. Kritik yang patut dialamatkan bagi teori kebenaran koherensi ini
adalah bahwa, belum tentu hal-hal yang koheren (berhubungan) dapat sesuai
dengan dunia kenyataan sebenarnya.
(3). Kebenaran pragmatis, yaitu kebenaran berdasarkan
aspek kegunaan atau kemanfataan praktis. Teori kebenaran pragmatis, sebagaimana
teori pengetahuan “Pragmatisme”, menekankan semata-mata pada kegunaan atau
kemanfataan praktis dalam pengalaman sebagai bentuk kebenaran yang asasi. Bagi
kaum pragmatis, hal yang benar adalah hal yang berguna. Sebuah ide atau gagasan
jenius apa sekalipun, bila tidak berguna dalam perbuatan atau tindakan praktis maka
sesungguhnya bohong, keliru, dan tidak benar, karena tidak bermanfaat bagi
tindakan atau tidak berguna dalam pengalaman nyata sebagai kebenaran riil.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
--------------, Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara Mengerjakannya ( belum diterbitkan).
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
--------------, Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara Mengerjakannya ( belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
- jelaskan arti pengetahuan secara filosofis;
- tunjukkan hakikat pengetahuan dalam tugas keilmuan;
- tunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan dalam tugas keilmuan;
- jelaskan bentuk-bentuk teori kebenaran pengetahuan dalam tugas keilmuan.
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:46
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-9
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-9
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-9
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENGETAHUAN DAN
ILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: PENGETAHUAN ILMIAH ATAU ILMU
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
B. SUB POKOK BAHASAN: PENGETAHUAN ILMIAH ATAU ILMU
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Setelah mengikuti proses pembelajaran mengenai topik ilmu ini diharapkan, Anda dapat:
Setelah mengikuti proses pembelajaran mengenai topik ilmu ini diharapkan, Anda dapat:
- menjelaskan pengertian ilmu secara filisofis;
- menunjukkan berbedaaan antara pengetahuan dan ilmua;
- menjelaskan hubungan antara pengetahuan dan ilmu
- mejelaskan arti arti konsep ilmu dalam kegiatan keilmuan;
- membedakan antara ciri ilmu dan dimensi ilmu;
- mendiskripsikan bentuk-bentuk proposisi ilmiah dalam kegiatan keilmuan.
I.Pengertian Ilmu.
Pengetahuan ilmuah atau ilmu (bah. Inggris Science dan
Latin Scientia yang diturunkan dari kata scire), memiliki makna ganda, yaitu;
mengetahui (to know), dan belajar (to learn). Sisi pertama to know menunjuk
pada aspek statis ilmu, yaitu sebagai hasil, berupa pengetahuan sistematis.
Sisi kedua menunjuk pada hakikat dinamis ilmu, sebagai sebuah proses
(aktivitas-metodis). Sisi kedua tersebut hendak menunjukkan bahwa ilmu sebagai
aktifitas pembelajaran, bukanlah sebuah aktifitas menunggu secara pasif,
melainkan merupakan sebuah usaha secara aktif untuk menggali, mencari,
mengejar, atau menyelidiki sampai pengetahuan itu diperoleh secara utuh,
obyektif, valid, dan sistematis.
Tegasnya, pengertian ilmu, dalam hal ini, menunjuk pada
tiga hal, yaitu; pertama; ilmu sebagai proses berupa aktifitas
kognitif-intelektuali (aktivitas penelitian), kedua; ilmu sebagai prosedur
berupa metode ilmiah, dan ketiga;. Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan
sistematis. Penjelasannya demikian:
Ilmu sebagai aktifitas, menggambarkan hakikat ilmu
sebagai sebuah rangkaian aktivitas pemikiran rasional, kognitif, dan teleologis
(tujuan). Rasional artinya, proses aktifitas yang menggunakan kemampuan
pemikiran untuk menalar dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah logika,
kognitif artinya; aktivitas pemikiran yang bertalian dengan; pengenalan,
pencerapan, pengkonsepsian, dalam membangun pemahaman pemahaman secara
terstruktur guna memperoleh pengetahuan, dan teleologis artinya; proses
pemikiran dan penelitian yang mengarah pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu,
misalnya; kebenaran pengetahuan, serta memberi pemahaman, penjelasan,
peramalan, pengendalian, dan aplikasi atau penerapan. Semua itu dilakukan
setiap ilmuwan dalam bentuk penelitian, pengkajian, atau dalam rangka
pengembangan ilmu.
Ilmu sebagai prosedur menunjuk pada pola prosedural,
tata langkah, teknik atau cara, serta alat atau media. Pola prosedural,
misalnya; pengamatan, percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi,
analisis, dan lainnya. Tata langkah, misalnya; penentuan masalah, perumusan
hipotesis (bila diperlukan), pengumpulan data, penarikan kesimpulan, dan
pengujian hasil. Teknik atau cara, misalnya; penyusunan daftar pertanyaan,
wawancara, perhitungan, dan lainnya. Alat dan media, timbangan, meteran,
perapian, komputer, dan lainnya.
Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan
sistematis, ilmu dipahami sebagai seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek
(dunia obyek) yang sama dan saling berkaitan secara logis. Ilmu, karena itu,
dipandang sebagai sebuah koherensi sistematik, dengan prosedur, aksioma, dan
lambang–lambang yang dapat dilihat dengan jelas melalui pembuktian-pembuktian
ilmiah. Ilmu memuat di dalam dirinya hipotesis-hipotesis (jawaban-jawaban
sementara) dan teori-teori (hipotesis-hipotesis teruji) yang belum mantap
sepenuhnya. Ilmu sering disebut pula sebagai konsep pengetahuan ilmiah karena
ilmu harus terbuka bagi pengujian ilmiah (pengujian keilmuan).
Jadi, ilmu cenderung dipahami sebagai pengetahuan yang
diilmiahkan atau pengetahuan yang diilmukan, sebab tidak semua pengetahuan itu
bersifat ilmu atau harus diilmiahkan. Sebagai hasil kegiatan ilmiah, ilmu
merupakan sekelompok pengetahuan (konsep-konsep) mengenai sesuatu hal (pokok
soal) yang menjadi titik minat bagi permasalahan tertentu. Sebuah pengetahuan
ilmiah memiliki 5 (lima)
ciri pokok, yaitu; empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif.
Ilmu, dalam hal ini, cenderung dilihat dalam hubungan dengan obyek keilmuan
(obyek material dan formal) dan metode keilmuan tertentu. Kesatuan ilmu
bersumber di dalam kesatuan obyeknya. Orang, misalnya kaum peneliti, membatasi
ilmu sebatas metodologi keilmuan. Alasannya, kaitan-kaitan logis yang dicari di
dalam ilmu tidak dicapai dengan penggabungan ide-ide yang terpisah, tetapi pada
pengamatan dan berpikir metodis, yang tertata rapih. Alat bantu metodologis
keilmuan adalah “teknologi ilmiah” dalam menguji-coba atau mengeksperimentasi
konsep-konsep ilmu.
Ketiga unsur dimaksud menggambarkan sebuah pengertian
yang lengkap dan utuh mengenai ilmu itu sendiri. Ketiganya, sesungguhnya bukan
saling bertentangan, tetapi merupakan sebuah kesatuan, di mana manusia lah yang
menjadi pelaku (subyek) ilmu itu sendiri. Alasannya, hanya manusia sajalah yang
memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif (menyangkut
pengetehuan), dan mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Suatu
aktivitas, hanya dapat mencapai tujuan bila mana dilaksanakan dengan metode
yang tepat.
Pengertian ilmu sebagaimana di atas, dapat ditinjau dari
tiga sudut, yaitu; ilmu sebagai aktivitas, ilmu sebagai pengetahuan sistematis,
ilmu sebagai metode (The Liang Gie 1996:130). Ilmu sebagai aktivitas kognitif
harus mematuhi berbagai kaidah pemikiran logis, sementara, disebut pengetahuan
sistematis karena ilmu merupakan hasil dari pelaksanaan proses-proses kognitif
yang terpercaya, dan sistematis, Ilmu disebut metodik karena ilmu sebagai
aktivitas kognitif (intelektual) sampai perwujudannya sebagai pengetahuan
sistematis, terjalin dalam sebuah langkah atau prosedur ilmu yang disebut
metode. Pandangan tersebut mengantarkan pada sebuah rumusan yang bersifat
tentatif tentang ilmu sebagai berikut;
Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional
kognitif, dengan berbagai metode berupa anek prosedur dan tata langkah,
sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sitematis mengenai
gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, dan keorangan untuk tujuan mencapai
kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, atau penerapan.
II. Obyek Pengetahuan ilmiah atau
Ilmu.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara
filsafati, sebuah pengetahuan ilmiah atau ilmu, memiliki perbedaan dengan
bentuk pengetahuan yang umum (common sense). Alasannya, bila sebuah jenis
pengetahuan umum tidak memiliki obyek, bentuk pernyataan, serta dimensi dan
cirri yang khusus maka sebaliknya, sebuah pengetahuan ilmiah atau pengetahuan
keilmuan (ilmu) selalu mengendaikan adanya; obyek keilmuan, bentuk pernyataan,
serta dimensi dan ciri yang khusus.
Obyek pengetahhaun ilmiah atau obyek keilmuan, dalam hal
ini, mencakup segala sesuatu (yang tampak secara fisik maupun non fisik berupa
fenomena atau gejala kerohanian, kejiwaan, atau sosial), yang sejauh dapat
dijangkau oleh pikiran atau indera manusia. Para
filsuf, karenanya, membagi obyek keilmuan itu dalam dua golongan besar, yaitu;
obyek material dan obyek formal keilmuan. Obyek material meliputi: ide abstrak,
benda-benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, gejala sosial, gejala kejiwaan,
gejala alam, proses tanda, dan sejenisnya. Obyek formal, meliputi; sudut
pandang, minat akademis, atau cara kerja yang digunakan untuk menggali,
menggarap, menguji, menganalisis, dan menyusun berbagai pemikiran yang
tersimpan dalam khasanah kekayaan obyek material di atas dan menyuguhkannya
dalam bentuk ilmu.
III. Hubungan Pengetahuan dan Ilmu
Pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan
dan ide yang terkandung di dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai
sesuatu gejala atau peristiwa, baik yang bersifat alamiah, keorangan, atau
kemasyarakat. Pengetahuan dapat dibagi atas dua bentuk, yaitu pengetahuan biasa
dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa adalah bentuk pengetahuan yang biasa
ditemui dalam pikiran atau pandangan umum (common sense) dalam kehidupan
harian, sementara pengetahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang telah diolah
secara kritis menurut prinsip-prinsip keilmuan untuk menjadi ilmu. Pengetahuan
ilmiah (Scientific knowledge) adalah pengetahuan yang disusun bersdasarkan azas-azas
yang cocok dengan pokok soal dan dapat membuktikan kesimpulan-kesimpulannya.
Pengetahuan ilmiah melukiskan suatu obyek khusus tentang jenis pengetahuan yang
khusus mengenai obyek dimaksud.
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sitematis.
Jadi, pengetahuan merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu.
Pengetahuan, karenanya, merupakan dasar bangunan sebuah ilmu. Tanpa
pengetahuan, sukar disadari, ditemukan, atau dikembangkan sebuah ilmu dalam
bentuk apa pun. Pengetahuan yang merupakan isi substatif ilmu, dalam dunia
keilmuan disebut fakta (fact), kebenaran, azas, nilai, dan keterangan) yang
diperoleh manusia. Ilmu bukan sekedar fakta, tetapi ilmu mengamati,
menganalisis, menalar, membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal yang bersifat faktawi
(faktual) yang dihimpun dan dicatat sebagai data (datum).
Ilmu, dalam hal ini, didasarkan pada sesuatu hal pokok
sebagai fakta (pengetahuan) yang pokok soal khusus di dalam ilmu. Pokok soal
itu dapat berupa ide abstrak, misalnya; sifat Tuhan, sifat bilangan, atau fakta
empiris, misalnya; sifat tanah, ciri kulit, bentuk materi, berat badan, lembaga
adat, pemerintah, dan sebagainya, yang mendorong minat (focus of interest) atau
sikap pikiran padanya. Jadi, bila ilmu berbeda dari filsafat berdasarkan ciri
empiris ilmu maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematis
dari ilmu itu sendiri. Hal-hal berupa pokok soal dimaksud, di dalam filsafat
disebut obyek material ilmu, sementara fokus minat atau sikap terhadap hal
pokok dimaksud disebut obyek formal ilmu, yang menunjuk pada sudut pendekatan
atau tata cara khusus yang dilakukan dalam menghadapi obyek materi ilmu
dimaksud.
Ilmu, sebagaimana pengetahuan, memiliki dimensi sosial
kemasyarakatan, juga dimensi kebudayaan, dan dimensi permainan. Dimensi
kemasyarakatan sebagai sebuah pranata sosial (Social institution), karena ilmu,
sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu unsur yang berhubungan dengan
kehidupan kemasyarakatan. Dimensi kebudayaan sebagai “kekuatan kebudayaan”
(cultural force), kerena ilmu, sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu
wujud kebudayaan yang sekaligus berkembang dalam bentuk kebudayaan, serta
memberikan sumbangan bagi kemajuan kebudayaan itu sendiri. Dimensi permainan,
(game), karena ilmu, dalam perkembangannya, menunjukkan ciri –ciri yang mirip
dengan sifat-sifat suatu permainan, misalnya; keingintahuan, perlombaan, dan
penerimaan hadiah. Ketiga hal dimaksud, bukan merupakan arti sesungguhnya dari
ilmu, melainkan dianggap sebagai dimensi umum dari ilmu.
IV. Konsep Ilmu
Sasaran ilmu adalah pembentukan konsep (pengertian),
baik untuk kepentingan pengembangan ilmu secara murni (misalnya; untuk menyusun
teori dan dan menghasilkan dalil-dalil, atau azas), maupun untuk kepentingan
praktis bagi tindakan penerapan nyata. Konsep merupakan ide umum yang mewakili
sesuatu himpunan hal yang biasanya dibedakan dari pencerapan atau persepsi
mengenai suatu hal khusus. Konsep merupakan alat penting untuk pemikiran
terutama dalam hal penelitian ilmiah atau penelitian keilmuan.
Konsep ilmu adalah bagan, rencana, atau pengertian, baik
yang bersifat abstrak maupun operasional, yang merupakan alat penting untuk
kepentingan pemikiran dalam ilmu atau pengetahuan ilmiah. Setiap ilmu harus
memiliki suatu atau beberapa konsep kunci atau konsep tambahan yang bertalian.
Beberapa contoh konsep ilmiah, misalnya; konsep bilangan di dalam matematika,
konsep gaya di dalam fisika, konsep evolusi di dalam biologi, stimulus di dalam
psikologi, kekuasaan atau strata sosial di dalam ilmu-ilmu sosial, simbol di
dalam linguistik, keadilan dalam ilmu hukum, keselamatan dalam ilmu teologi,
atau lingkungan di dalam ilmu-ilmu interdisipliner.
Konsep-konsep ilmu atau konsep ilmiah tersebut sangat
dibutuhkan agar suatu ilmu dapat menyusun berbagai azas, teori, sampai
dalil-dalil. Sesuatu konsep ilmiah dapat merupakan semacam sarana untuk ilmuwan
melakukan pemikiran dalam mengembangkan pengetahuan ilmiah. Misalnya; dengan
konsep evolusi, Charles Darwin lalu dapat menyusun dan mengembangkan suatu
teori tentang asal–usul manusia, yang mulai dari tahap perkembangan binatang
menyusui yangcerdas kemudian makin berkembangan menjadi manusia. Inti konsep
evolusi yang membentuk teori evolusi itu demikian: bahwa bentuk-bentuk
organisme yang lebih rumit berasal dari sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih
sederhana dan primitif dalam perkembangannya secara berangsur-angsur sepanjang
zaman.
Konsep evolusi, kemudian diterapkan pula dalam memahami
perkembangan ilmu dengan menunjukkan bahwa cabang-cabang ilmu khusus terlahir dalam
jalinan umum dari pemikiran reflektif filsafat dan setelah itu berkembangan
mencapai suatu taraf kematangan sehingga dipandang berbeda dan kemudian
dipisahkan dari filsafat. Hal demikian berlaku pula terhadap upaya penelaan
terhadap gejala-gejala alam dan kehidupan maupun gajala-gejala mental dan
kemasyarakatan, yang dewasa ini, semuanya secara pasti telah berkembang menjadi
ilmu-ilmu fisis, biologi, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang berdiri
sendiri-sendiri. Ciri umum daripada ilmu-ilmu tersebut yang membuatnya berbeda
dari filsafat adalah ciri empirisnya. Jelasnya, bila filsafat masih tetap
merupakan pemikiran reflektif yang coraknya sangat umum, kebalikannya ilmu-ilmu
fisis, biologis, psikologis, dan ilmu-ilmu sosial telah merupakan rangkaian aktivitas
intelektual yang bersifat empiris. Sifat tersebut lah yang selalu merupakan
ciri umum dari ilmu.
Jelasnya, konsep ilmu, agar dapat berguna secara ilmiah
maka ia harus memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat operasional untuk
kepentingan pengamatan (observasi), dan sifat abstrak untuk kepentingan
penyimpulan dan generalisasi. Bersifat operasional, maksudnya, setiap konsep
ilmu mengandung pengertian-pengertian yang berkesesuaian dengan fakta atau
situasi yang dapat diamati secara empiris. Ciri empiris dari ilmu mengandung
pengertian bahwa pengetahuan yang diperoleh tersebut adalah berdasarkan
pengamatan (observation) atau eksperimentasi (experimentation). Konsep ilmu, di
sisi lain, bersifat abstrak untuk kepentingan melakukan penyimpulan atau
membuat keterangan-keterangan ilmiah yang berlaku secara umum. Konsep-konsep
ilmu tersebut kadang-kadang begitu abstrak sehingga hampir berupa khayalan.
Misalnya; konsep ketakterhinggaan matematika (mathematical infinity), manusia
ekonomis (the economic man), atau negara ideal (the ideal state).
Konsep ilmu sebagai sasaran ilmu, tidak boleh
dikacaukan, seolah-olah sama atau menyerupai inti atau pokok soal pengetahuan.
Alasannya, pokok soal pengetahuan tersebut belum dapat mengembangakan suatu
ilmu ke taraf yang lebih tinggi seperti konsep ilmu dimaksud. Ilmu yang telah
cukup berkembang harus memiliki satu atau beberapa konsep kunci, juga beberapa
konsep tambahan yang bertalian dengannya.
V. Ciri Pokok Ilmu
Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah, berbeda dengan
pengetahuan biasa, memiliki beberapa ciri pokok, yaitu:
- sistematis; para filsuf dan ilmwan sepaham bahwa ilmu
adalah pengetahuan atau kumpulan pengetahuan yang tersusun secara
sistematis. Ciri sistematis ilmu menunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai
keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan tersebut
mempunyai hubungan-hubungan saling ketergantungan yang teratur (pertalian
tertib). Pertalian tertib dimaksud disebabkan, adanya suatu azas tata
tertib tertentu di antara bagian-bagian yang merupakan pokok soalnya.
- empiris; bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan pengamatan serta percobaan-percobaan secara terstruktur di
dalam bentuk pengalaman-pengalaman, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Ilmu mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan
menyimpulkan hal-hal empiris yang bersifat faktawi (faktual), baik berupa
gejala atau kebathinan, gejala-gejala alam, gejala kejiwaan, gejala
kemasyarakatan, dan sebagainya. Semua hal faktai dimaksud dihimpun serta
dicatat sebagai data (datum) sebagai bahan persediaan bagi ilmu. Ilmu,
dalam hal ini, bukan sekedar fakta, tetapi fakta-fakta yang diamati dalam
sebuah aktivitas ilmiah melalui pengamalaman. Fakta bukan pula data,
berbeda dengan fakta, data lebih merupakan berbagai keterangan mengenai
sesuatu hal yang diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi inderawi.
- obyektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengatahuan
yang bebas dari prasangka perorangan (personal bias), dan
perasaan-perasaan subyektif berupa kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu
haruslah hanya mengandung pernyataan serta data yang menggambarkan secara
terus terang atau mencerminkan secara tepat gejala-gejala yang
ditelaahnya. Obyektifitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan pengetahuan itu
haruslah sesuai dengan obyeknya (baik obyek material maupun obyek
formal-nya), tanpa diserongkan oleh keinginan dan kecondongan subyektif
dari penelaahnya.
- analitis; bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami, dan
membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian-bagian yang terpecinci untuk
memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian
tersebut. Upaya pemilahan atau penguraian sesuatu kebulatan pokok soal ke
dalam bagian-bagian, membuat suatu bidang keilmuan senantiasa
tersekat-sekat dalam cabang-cabang yang lebih sempit sasarannya. Melalui
itu, masing-masing cabang ilmu tersebut membentuk aliran pemikiran
keilmuan baru yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus dikembangkan
secara khusus menunju spesialisasi ilmu.
- verifikatif; bahwa ilmu mengandung kebenaran-kebenaran yang terbuka untuk diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah (valid) dan disampaikan kepada orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi) dimaksud lah yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar dapat diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk diuji atau diverifikasi dari berbagai sudut telaah yang berlainan dan akhirnya diakui benar. Ciri verifikasif ilmu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah pada tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleh manusia untuk menemukan suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut kebenaran ilmiah. Kebenaran tersebut dapat berupa azas-azas atau kaidah-kaidah yang berlaku umum atau universal mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan. Melalui itu, manusia berharap dapat membuat ramalan tentang peristiwa mendatang dan menerangkan atau menguasai alam sekelilingnya. Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit mengerti dan meramalkan, serta menguasai gejala atau peristiwa-peristiwa alam, seperti; hujan, banjir, gunung meletus, dan sebagainya. Orang, karena itu, lari kepada tahyul atau mitos yang gaib. Namun, demikian, setelah adanya ilmu, seperti; vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan secara tepat dan cermat bermacam-macam peristiwa tersebut serta meramalkan hal-hal yang akan terjadi kemudian, dan dengan demikian dapat menguasainya untuk kemanfaatan diri atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan itu lah, orang cenderung mengartikan ilmu sebagai seperangkat pengetahuan yang teratur dan telah disahkan secara baik, yang dirumuskan untuk maksud menemukan kebenaran-kebenaran umum, serta tujuan penguasaan, dalam arti menguasai kebenaran-kebenaran ilmu demi kepentingan pribadi atau masyarakat, dan alam lingkungan.
Selain, kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat
beberapa ciri tambahan lainnya, misalnya; ciri instrumental dan ciri faktual.
Ciri instrumental, dimaksudkan bahwa ilmu merupakan alat atau sarana tindakan
untuk melakukan sesuatu hal. Ilmu, dalam hal ini sukar namun, juga amat muda
dalam arti, senantiasa merupakan sarana tindakan untuk melakukan banyak hal
yang mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide-ide baru. Ilmu berciri
faktual, dalam arti, ilmu tidak memberikan penilaian, baik atau buruk terhadap
apa yang ditelaannya, tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi sepengguna.
Pandangan terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolah karena, menurut mereka
ilmu sebagai sebuah hasil budaya manusia, selalu bertautan atau berhubungan
dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak dapat membebaskan atau meluputkan diri
dari nilai dan selalu harus bertanggungjawab atasnya.
VI. Dimensi khusus Ilmu
Ilmu, dalam perkembangannya yang luas dan bertumbuh
beraneka ragam, telah menampilkan pula berbagai dimensi keilmuan yang cukup
luas dan beragam, serta bersifat khas atau khusus. Dimensi ilmu menunjuk pada
perwatakan, peranan, serta kepentingan yang sepatutnya yang dianggap termasuk
dalam ilmu. Berbagai pandangan filsuf, sebagaimana ditunjukkan oleh The Liang
Gie (1996: 131-133), menunjukkan beberapa dimensi ilmu yang secara khusus atau
spesifik dapat dijumpai dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, yaitu:
- dimensi ekonomi, ilmu memiliki dimensi ekonomis, dalam
arti, ilmu dilihat sebagai salah satu faktor utama dalam mempertahankan
dan mengembangkan produksi.
- dimensi linguistik, bahwa ilmu dipahami sebagai suatu
bahasa buatan. Ilmu, dalam hal ini, dilihat sebagai suatu konstruksi
kebahasaan (a construction of language), dengan seperangkat tanda dan
hubungan-hubungan spesifik tertentu serta antara obyek-obyek, dan dengan
prakterk.
- dimensi matematis, ilmu berdimensi matematis dalam hal
menekankan segi-segi kuantitatif dan proses-proses kuantifikasi dalam
ilmu. Ilmu, dalam hal ini, mencakup penalaran matematis dan analisis data
atas fenomena alamiah.
- dimensi politik, bahwa ilmu memiliki dimensi kekuasaan
(power) sebagaimana ditunjukkan oleh Francis Bacon: knowledge is power.
Ilmu, dalam hal ini cenderung dipahami sebagai kekuatan dalam hal
membangun dan menyelenggarakan pemerintahan atau kekuasaan serta
mempertahankannya.
- dimensi psikologis; bahwa ilmu bukanlah kumpulan
keajaiban, melainkan suatu sikap terhadap dunia dengan kreativitas
kejiwaan yang penuh daya seni serta keindahan yang tinggi.
- dimensi sosiologis, bahwa ilmu, dalam hal ini, cenderung
dipahami sebagai sebuah lembaga sosial (social institution), mendorong
aktivitas sosial (social aktivity), serta membangun jaringan-jaringan yang
menghimpun, menguji, serta menyebarkan pengetahuan, dan menciptakan sebuah
masyarakat ilmuwan.
- dimensi nilai, bahwa ilmu bukan sekedar untuk menjejerkan
ide-ide atau gagasan-gagasan, tetapi lebih daripada itu merupakan sebuah
nilai (value) pada dirinya, dan karenanya, ilmu tidak dapat membebaskan
diri dari nilai-nilai yang diembannya sejak awal proses pembentukan maupun
penerapannya.
- dimensi sejarah, ilmu, dalam hal ini, dipahami sebagai
bagian dari perkembangan sejarah manusia dan kebudayaan. Ilmu, karenanya,
merupakan sebuah kekuatan sejarah yang sangat besar peranannya bagi setiap
generasi manusia di dalam periodenya masing-masing. Ilmu sebagai kekuatan
sejarah, selalu membangun eksistensi sosial manusia dalam arahnya yang
selalu baru.
- dimensi kultur, bahwa ilmu sebagai produk budaya manusia
yang sekaligus ditempatkan menjadi kekuatan budaya (cultural force) dalam
membangun peradaban manusia dan dunia sebagai pribadi dan dunia yang
berbudaya.
- Dimensi kemanusiaan; ilmu adalah produk daya cipta, rasa,
dan karsa manusia yang bertautan langsung dengan nilai rasa (cita rasa)
manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah obyek sekaligus subyek
bagi ilmu itu sendiri, dan ilmu selalu berorientasi pada manusia sebagai
kausa ontologis (penyebab ada) bagi ilmu itu sendiri. Manusia lah yang
mengembangkan ilmu, tetapi sekaligus mendapatkan keuntungan (benefit) dari
ilmu itu sendiri.
- dimensi rekreatif, bahwa ilmu memiliki dimensi permaianan
yang dilombahkan dan dilakukan dengan kegembiraan. Ilmu, dalam hal ini,
dilihat sebagai suatu permainan yang ditimbulkan oleh keingintahuan untuk
menemukan alam semesta dan dirinya sendiri, serta memperluas atau
memperbesar kesadaran manusia akan dunia tempat ia hidup dan berkarya.
- dimensi sistem; ilmu, dalam hal ini, merupakan suatu
kebulatan sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang berada dalam keadaan
yang saling berinteraksi. Jadi, ilmu dipahami sebagai pengetahuan
sistematis yang memiliki ciri sistematis, sistim penjelasan (a system of
explanation), dan terpola atau terstruktur, serta menjadi suatu sistim
keyakinan tentang alam, kaidah-kaidah alam, kaidah-kaidah pembilangan,
serta hubungannya dengan manusia.
- dimensi logic, bahwa ilmu konsistensi proposisi-proposisi ilmu dalam membangun sebuah penalaran yang sehat dan lurus guna mencapai kesimpulan-kesimpulan keilmuan yang bersifat valid dan obyektif. Melalui itu, ilmu, secara formal, dapat diterima sebagai sebuah ilmu yang resmi, valid, dan obyektif.
Pembahasan mengenai dimensi khusus keilmuan di atas,
memperlihatkan bahwa, sesungguhnya masih terdapat lagi banyak dimensi keilmuan
yang lain yang bersifat khas, namun, semua dimensi tersebut saling terkait
secara komplementar (saling melengkapi) untuk meberikan manfaat atau kegunaan
secara utuh dan sempurna bagi kemajuan ilmu maupun bagi manusia dan alam
kehidupannya. Konsekuensinya, penonjolan secara sepihak pada salah satu dimensi
yang paling disukai saja, misalnya; dimensi ekonomi ilmu karena membawa
keuntungan langsung, akan sangat mengganggu kemajuan ilmu secara utuh serta
cenderung merapuhkan vitalitas ilmu itu sendiri. Alasannya, kerena kemajuan
pada dimesi ekonomi akan sangat ditunjang oleh dimensi lain, sementara
persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh faktor ekonomi itu sendiri tidak
mungkin hanya dapat dipecahkan secara ekonomi pula.
VII. Bentuk Pernyataan dan Ragam
Proposisi Ilmiah (Keilmuan)
- Deskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah (pernyataan
keilmuan) berupa uraian terpeinci, baik mengenai bentuk, susunan, peranan,
serta hal-hal terperinci lainnya dari fenomena atau obyek keilmuan yang
bersangkutan. Bentuk pernyataan deskriptif ini, biasanya terdapat pada
cabang-cabang ilmu khusus yang bersifat deskriptif, misalnya; ilmu
anatomi, biologi, astronomi, dan sebagainya.
- Perskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang
berupa petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung
atau sebaliknya dilakukan dalam hubungan dengan suatu obyek keilmuan.
Bentuk pernyataan perskripsi dimaksud, banyak dijumpai dalam cabang-cabang
ilmu sosial. Misalnya; ilmu-ilmu pendidikan yang memuat petunjuk-petuntuj
mengenai cara-cara mengajar yang baik di dalam kelas. Hal demikian pun
dapat dijumpai di dalam ilmu administrasi negara yang berupaya memaparkan
berbagai azas atau ukuran-ukuran, dan berbagai peraturan lainnya tentang
bagaimana menjalankan sebuah organisasi pemerintahan yang baik, membangun
menajemen yang efektif, atau prosedur kerja yang efisien.
- Eksposisi Pola; merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang
memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau
proses lainnya dari fenomena atau obyek keilmuan yang ditelaah. Misalnya,
dalam Antropologi, dipaparkan pola-pola kebudayaan berbagai suku bangsa,
atau dalam Sosiologi, diungkapkan pola-pola perubahan masyarakat dari
tahap kehidupan pedesaan menjadi masyarakat perkotaan.
- Rekonstruksi historis; merupakan bentuk pernyataan ilmiah
yang berusaha menggambarkan atau menceriterakan sesuatu hal pada masa
lampau dengan beruasah memberikan penjelasan atau menunjukkan alasan yang
diperlukan bagi pertumbuhan hal dimaksud, baik secara alamiah maupun
secara budaya melalui campur tangan manusia, dengannya orang akan berusaha
memberikan petunjuk-petunjuk atau penyiasatan hidup ke depan. Bentuk
pernyataan ilmiah ini dapat dijumpai dalam ilmu-ilmu khusus, seperti;
Historiografi atau Ilmu purbakala.
- Azas ilmiah (azas keilmuan); merupakan ragam proposisi
ilmiah yang mengandung prinsip-prinsip kebenaran umum berdasarkan
fakta-fakta yang telah diamati. Azas ilmiah, dalam ilmu-ilmu sosial,
sering dipahami sebagai prinsip yang memadai untuk dijadikan pedoman di
dalam melakukan tindakan-tindakan. Misalnya; azas peredaran planet
berdasarkan pengamatan astronomi, yang menyatakan; makin dekat sesuatu
planet kepada matahari, makin pendek masa putarannya.
- Kaidah ilmiah (kaidah keilmuan); merupakan ragam proposisi yang mengungkapkan keajegan (keteraturan) atau hubungan tertib yang dapat diperiksa kebenarannya di antara fenomena-fenomena. Melalui itu, ia digeneralisasikan sebagai hal yang secara umum berlaku bagi fenomena yang sejenis. Misalnya; Hukum gaya berat dari Ishak Newton atau Kaidah Boyle di dalam ilmu-ilmu kimiah bahwa volume suatu gas berubah secara terbalik dengan tekanan bila suhu yang sama tetap dipertahankan. Kaidah, ilmiah, karenanya, seringkali diartikan sebagai suatu pernyataan prediktif dan universal.
VII. Struktur pengetahuan ilmiah
(Ilmu).
Guna membantu Anda melakukan pemetaan pemikiran secara
utuh terhadap hakikat ilmu maka Anda diminta untuk mempelajari bagan di bawah:
Gambar No 5. Struktur Pengetahuan Ilmiah
E. Sumber:
1. Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
2. The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
3 The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
2. The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
3 The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
F. Evaluasi:
- jelaskan pengertian ilmu secara filisofis;
- tunnjukkan perbedaan antara pengetahuan dan ilmu;
- jelaskan hubungan antara pengetahuan dan ilmu
- jelaskan arti arti konsep ilmu dalam kegiatan keilmuan;
- tunjukkan perbedaan antara ciri ilmu dan dimensi ilmu;
- uraikanlah bentuk-bentuk proposisi ilmiah dalam kegiatan keilmuan.
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:47
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-10
ILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-10
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-10
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENGETAHUAN DAN
ILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: TEORI DAN METODE KEILMUAN
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
B. SUB POKOK BAHASAN: TEORI DAN METODE KEILMUAN
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Mahasiswa dapat:
Mahasiswa dapat:
- menjelaskan arti teori ilmu.
- menjelaskan fungsi teori dalam tugas keilmuan;
- menjelaskan arti metode ilmu dalam tugas keilmuan;
- menilai baik –buruknya metode ilmu dalam tugas keilmuan;
I. Teori Keilmuan
1. Pengertian.
Teori ilmiah atau teori keilmuan adalah sekumpulan
proposisi yang saling berkaitan secara logis untuk memberi penjelasan mengenai
sejumlah peristiwa atau fenomena. Misalnya, teori Darwin tentang evolusi organisme hidup yang
menerangkan bahwa bentuk-bentuk organisme yang lebih rumit berasal dari
sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan primitif.
Organisme-organisme tersebut, berkembang secara evolusioner sepanjang masa.
Jadi, teori ilmiah atau teori keilmuan merupakan sekumpulan proposisi yang
mencakup konsep-konsep tertentu yang saling berhubungan. Kondisi saling
keterhubungan di antara konsep-konsep tersebut menyajikan suatu pandangan yang
bersifat utuh dan sistematik mengenai fenomena atau obyek keilmuan yang
ditelaah sehingga mampu menjelaskan dan meramalkan fenomena atau obyek keilmuan
dimaksud. Prinsipnya, tujuan akhir dari ilmu adalah mengasilkan teori yaitu
berupa penjelasan –penjelasan terhadap terhadap fenomena alamiah.
2. Fungsi atau kegunaan teori ilmiah
(teori keilmuan):
Petama; membantu menyusun dan mensistematisasikan data
maupun pemikiran tentang data sehingga tercapai pertalian yang logis di antara
aneka data yang semulanya bersifat saling terlepas dan kecau balau. Jadi,
teori, dalam hal ini, berfungsi sebagai pedoman, bagan sistematis, atau acuan.
Kedua; memberi suatu skema atau rencana sementara
mengenai medan
yang semulanya belum dipetakan, untuk memberikan arah atau orientasi bagi
proses pemikiran keilmuan.
Ketiga; memberi petunjuk atau arahan bagi penelitian
atau penyelidikan lanjut.
Terlihat jelas bahwa terdapat hubungan antara teori
ilmiah dan kaidah ilmiah. Teori ilmiah berisi proposisi-proposisi logis yang
berusaha menjelaskan fenomena atau obyek keilmuan tertentu, dengan menunjuk
pada keajegan–keajegan suatu kaidah ilmiah (kaidah keilmuan) dan juga bersifat
prediktif (peramalan). Meskipun demikian, sebuah teori ilmiah tidak pernah akan
menjadi sebuah kaidah ilmiah. Teori ilmiah (teori keilmuan) hanya mengacu pada
kaidah-kaidah ilmiah sebagaimana telah diketahui dan meungkin menyarankan
kaidah-kaidah tambahan. Teori keilmuan mencoba menerangkan sebuah kaidah
tertentu dengan mengacu pada suatu kaidah (keteraturan atau keajegan berupa
hubungan tertib) yang lebih umum.
Teori merupakan tujuan dasar dan sekaligus tujuan akhir
dari kegiatan ilmu atau keilmuan. Sebuah buku telfon bukanlah sebuah ilmu atau
karya ilmiah karena tidak didasarkan pada teori keilmuan tertentu serta tidak
dapat menghasilkan teori baru. Sebuah buku telfon hanya berfungsi menunjuk atau
memberi informasi apa adanya, pada orang tertentu, nomor tertentu, kota tertentu, atau tahun
tertentu, dan tidak menunjuk pada suatu hal yang umum, analisis, penalaran, dan
sebagainya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan.
II. Metode Ilmu (metode keilmuan)
1. Pengertian.
Metode ilmu atau metode keilmuan adalah suatu cara di
dalam memperoleh ilmu atau pengetahuan baru. Metode keilmuan, dalam hal
tertentu, dipandang pula sebagai sebuah teori pengetahuan yang dipergunakan
untuk memperoleh jawaban-jawaban tertentu mengenai suatu permasalahan atau
pernyataan. Hal metode keilmuan, karenanya, lebih merupakan prosedur keilmuan
yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara
atau teknik untuk mengembangkan pengetahuan yang ada guna mencapai pengetahuan
baru yang disebut ilmu. Asumsinya, lewat pengorganisasian kegiatan keilmuan yang
bersifat sistematis dan pengujian pengamatan serta penalaran-penalaran logis
atasnya maka manusia mampu mengumpulkan pengetahuan secara kumulatif, walaupaun
hal itu terus-menerus bertumbuh dalam kritik, koreksi, serta penyempurnaan.
Jadi, metode ilmu lebih merupakan prosedur keilmuan yang digunakan oleh ilmuwan
dalam pencarian sistematis terhadap pengetahuan baru dan meninjau kembali
pengetahuan yang telah ada.
Metode ilmu mengandung struktur-struktur rasional dari
sebuah penyelidikan ilmiah (penyelidikan keilmuan) yang melaluinya, disusun
berbagai dugaan, ramalan, atau prediksi serta pengujian-pengujian-pengujian
sahih atasanya.
Prosedur keilmuan yang merupakan metode ilmu atau metode
ilmiah dimaksud tidak hanya mencakup aspek pengamatan (observasi) atau
percobaan (eksperimen), namun terkait dengan aspek; analisis, pemerian
(uraian), penggolongan (klasifikasi), pengukuran, perbandingan, pengujian, dan
survei. Bahkan, prosedur keilmuan yang terkait dalam metode ilmu dimaksud
meliputi pula prosedur-prosedur logis, misalnya; induktif, deduktif, abstraksi,
dan penalaran, yang semuanya termasuk di dalam ruang lingkup metode ilmu.
2. Langkah-langkah di dalam metode
keilmuan.
Metode ilmu atau metode keilmuan meliputi suatu
rangkaian langkah-langkah yang tertib berupa 11 (sebelas) langkah, seperti:
1.
pengamatan (observasi) awal terhadap
gejala-gejala atau hasil percobaan (eksperimentasi) yang ada.
2.
menganalisis dan merumuskan masalah
untuk menetapkan apa yang dicari serta apa hipotesis (pangkal-pangkal dugaan)
yang digunakan untuk memberi bentuk dan arah pada telaah penelitian.
3.
perumusan hipotesis, variabel, dan
indikator yang melukiskan gelaja atau hasil percobaan dimaksud.
4.
pengujian hipotesis untuk melihat
apakah hipotesis tersebut memadai dalam hal meramalkan dan melukiskan
gejala-gejala baru atau hasil percobaan yang baru.
5.
pengumpulan data sesuai indikator yang
ditetapkan.
6.
pengolahan data dengan cara melakukan
penggolongan (klasifikasi), interpretasi, dan pengaturan data guna menunjukkan
kesamaan-kesamaan, urutan, dan hubugan-hubungan yang ada.
7.
membuat kesimpulan-kesimpulan umum dan
khusus dari setiap langkah keilmuan.
8.
pengujian dan pememerikasan terhadap
kebenaran-kebanaran kesimpulan tersebut.
9.
pengembangan
generalisasi-generalisasi.
10.
pengujian dan pemeriksaan terhadap
kebenaran hasil generalisasi.
11.
penyempurnaan generalisasi.
Para ahli, umumnya, memiliki perbedaan aksentuasi terhadap rangkaian
langkah-langkah yang harus ditempu dalam metode keilmuan dimaksud. Ada yang membatasi pada
delapan langkah, sementara ada pula yang membatasi pada 4 -5 langkah. Penekanan
pada delapan langkah itu meliputi:
1.
mengamati situasi permasalahan yang
benar-benar tidak menentu sehingga perlu diteliti.
2.
nyatakan masalah tersebut dalam
istilah yang spesifik.
3.
rumuskan suatu hipotesis kerja
4.
merancang model penelitian yang
terkendali dengan jalan pengamatan, eksperimentasi, atau kedua-duanya.
5.
pengumpulan data atau bahan bukti,
berupa “data kasar”.
6.
alihkan “data kasar” menjadi
pernyataan yang mempunyai makna dan kepentingan.
7.
membuat penegasan atau kesimpulan,
serta peramalan.
8.
menguji dan menyempurnakan kesimpulan
tersebut untuk menjadi sebuah ilmu baru yang diintegrasikan ke dalam kumpulan
ilmu atau pengetahuan yang telah mapan.
Langkah-langkah baku
yang bisanya ditempuh dalam sebuah metode keilmuan ada 6 (enam), yaitu;
1.
sadar akan adanya masalah dan
perumusan masalah. Manusia, di dalam hidupnya, selalu menghadapi masalah, baik
yang bersifat jasmani atau material, psikologis, sosiologis, antropologis,
tradisi budaya, agama, hukum, ekonomi, politik, interaksi, dan sebagainya.
Manusia, dalam hal itu, menggunakan pikirannya untuk mengamati permsalahan
tersebutm mengidentifikasikannya, dan mengajukan secara spesifik dalam sebuah
rumusan atau definisi permasalahan yang jelas sebagai hal yang patut dipertanyakan
dan dipecahkan atau dijawab. Metode keilmuan pada tahapan awal ini seolah
berusaha menempatkan realitas (obyek) tersebut dalam dunia fakta dengan
struktur-struktur hubungan logisnya yang dapat dinalar dan diamati secara
empiris melalui ransangan inderawi untuk dapat diberi arti atau makna tertentu.
Kesadaran atau kepekaan pikiran, pada tahap ini yang mengarah pada tahap
penyelidikan atau penelitian.
2.
perumusan hipotesis. Hipotesis adalah
suatu keterangan (pangkal-dugaan) yang bersifat sementara untuk keperluan
pengujian kebenaran, guna diperoleh kepastian dan pembuktian. Misalnya,
hipotesis bahwa “perindustrian yang tangguh hanya bisa dikembangkan dalam suatu
masyarakat ilmiah”. Suatu hipotesis bukanlah syarat mutlak yang harus dibuat
dalam setiap penelitian. Alasannya, sesuatu penelaan atau penyelidikan ilmiah
yang sudah jelas arahnya, kadang-kadang tidak memerlukan hipotesis. Hipotesis
diajukan dalam bentuk dugaan kerja atau teori yang merupakan dasar dalam
memecahkan atau mencari pembuktian tentang berbagai kemungkinan mengenai obyek
keilmuan yang diteliti. Hipotesis hendaknya diajukan secara khas dengan dasar
coba-coba (trial- and-error). Hipotesis hanya merupakan dugaan beralasan, atau
merupakan perluasan dari hipotesis sebelumnya yang telah teruji kebenarannya,
untuk diterapkan pada data terbaru. Hipotesis, dalam hal ini, berfungsi
mengikat data sedemikian rupa, sehingga hubungan-hubungan yang diduga tersebut
dapat digambarkan atau dijelaskan. Sebuah hipotesis memiliki unsur empiris
maupun rasional, karena, harus terdapat data empiris dalam bentuk fakta yang
dimati dan diukur, namun juga terdapat konsep-konsep yang bersifat
logis-kategoris, sehingga memberikan kemungkinan untuk dilakukan penjajakan.
Hipotesis bukan hanya berpegang teguh pada jalan pemikiran induktif yang
melangkah secara langsung dari fakta ke penjelasan. Justru, hipotesis juga
menyusun pernyataan-pernyataan logis yang menjadi dasar untuk penarikan
kesimpulan secara deduktif mengenai obyek yang diteliti, sekaligus membantu
untuk memberikan ramalan dan penemuan fakta baru.
3.
pengamatan, eksperimentasi, dan
pengumpulan data. Tahap pengumpulan data ini merupakan unsur yang paling
dikenal dalam metode keilmuan. Bahkan, banyak orang cenderung menyamakan metode
keilmuan dengan metode pengumpulan data.
4.
penyusunan dan klasifikasi data. Tahap
metode keilmuan ini mengarah pada kegiatan penyusunan data di dalam kelompok,
jenis, dan kelas. Bagi semua cabang ilmu, usaha mengidentifikasi,
menganalisisi, membandingkan, dan menafsirkan, serta membeda-bedakan fakta yang
relevan, tergantung pada sistem klasifikasi yang disebut taksonomi, hal itu
oleh ilmuwan modern, terus berusaha menyempurkanan taksonomi keilmuannya
masing-masing.
5.
penyimpulan. Tahap penyimpulan dalam
metode keilmuan merupakan tahap di mana diturunkan atau ditarik
kesimpulan-kesimpulan tentang terbukti–tidaknya hipotesis atau
penegasan-penegasan serta peramalan-peramalan tertentu mengenai obyek
penelitian dimaksud. Penyimpulan (inferensi) dapat dilakukan dengan menggunakan
proses-proses penyimpulan berdasarkan bentuk-penalaran (deduktif-induktif) yang
logis.
6.
pengujian atau verifikasi hasil.
Pengujian kebenaran (verifikasi) bertujuan untuk menegaskan atau menyempurnakan
alternatif-alternatif hipotesis berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, baik
melalui pengamatan atau percobaan-percobaan ulangan. Konsekuensinya, bila fakta
yang diperoleh tidak mendukung hipotesis maka hipotesis tersebut harus diubah
dengan hipotesis lain dan proses penelitian atau penyelidikannya diulangi
kembali.
Akhirnya, meskipun kelihatannya lengkap dan meyakinkan,
patut dikemukakan beberapa catatan kritis tentang tahapan atau prosedur
–prosedur metode keilmuan tersebut, antara lain:
1.
bahwa metode keilmuan adalah
satu-satunya cara dalam rangka memperoleh pengetahuan secara sah dan obyektif,
namun, orang hendaknya tidak hanya mempertahankan dunia pengetahuan yang luas
itu sebatas apa yang dapat diketahui lewat metode tersebut.
2.
bahwa tiap penalaran atau tafsiran,
mungkin saja benar sejauh apa yang dikemukakan. Meski pun demikian, hal itu
tetap terbatas pada sistem bahasa dan sistem klasifikasi yang digunakan,
sementara konsistensi dari pengetahuan keilmuan atau pengetahuan ilmiah tidak
sejelas apa yang diduga.
3.
pengujian kebenaran ilmu dalam
kerangka metode keilmuan dimaksud, pada dasarnya bersifat pragmatis dalam
menjelaskan hakikat kebagaimanaan dan keapaan, meskipun demikian, tunjuan
pengetahuan manusia ingin memahami kenyataan tersebut secara utuh, apa
maknanya, serta alasan eksistensinya, yang semuanya tidak dapat dijelaskan oleh
metode keilmuan dimaksud.
4.
metode keilmuan tidak dapat menyajikan
sebuah kebenaran pengetahuan secara mutlak mutlak, pasti, lengkap, abadi, dan
tidak berubah, justru, ia hanya menyajikan pengetahuan yang mungkin, hipotesis,
dan secara terus menerus berubah. Orang, karenanya, harus terbuka terhadap
kemungkinan penggunaan metode-metode lain dalam mengisi pengetahuannya yang
tidak dapat dijangkau oleh kegiatan keilmuan dimaksud.
3. Konsep, Model dan Hipotesis dalam
Metode Keilmuan.
Tata langkah dalam metode keilmuan di atas melibatkan
berbagai konsep dan hipotesis. Konsep dalam metode keilmuan merupakan ide umum
yang mewakili sesuatu himpunan hal yang biasanya dibedakan dari pencerapan atau
persepsi mengenai suatu hal khusus. Konsep merupakan alat yang penting untuk
pemikiran terutama dalam hal penelitian.
Konsep, dalam metode ilmiah atau metode keilmuan
terwujud di dalam model dan hipotesis. Model adalah suatu gambaran abstrak
(citra) yang diperlukan terhadap sekelompok fakta atau gejala. Misalnya, dalam
penelitian terhadap pendidikan tinggi, dapat digunakan model sebagai gambaran
abstrak suatu sistem yang mempunyai tiga bentuk, yaitu; input, proses, dan out
put. Unsur yang diperlukan sebagai input adalah mahasiswa serta sarana
prasarana seperti buku pelajaran atau perpustakaan dan laboratorium. Sementara,
yang dapat dipandang sebagai out put adalah sarjana yang yang dihasilkan atau
dikonversikan melalui proses pembelajaran dan ujian. Model dapat juag diambil
dari benda fisik yang ada, misalnya, model sebuah piramida yang digunakan dalam
penelaan atau penjelasan mengenai struktur sesuatu masyarakat. Hipotesis adalah
suatu kerangka yang bersifat sementara untuk kepentingan pengujian dan pangkal
penyelidikan lanjut demi untuk pembuktian yang lebih sempurna.
4. Metode keilmuan, Pendekatan, dan
Teknik.
Ternyata, sering terjadi kekeliruan di mana orang sering
menyamakan atau mencampuradukkan antara metode keilmuan dengan pendekatan atau
teknik. Metode, pendekatan, dan teknik merupakan hal yang berbeda, walaupun
saling bertalian. Metode keilmuan adalah cara kerja atau prosedur keilmuan
untuk mendapatkan data dan mempergunakan data. Pendekatan adalah ukuran-ukuran baku untuk memilih
masalah atau data yang bertalian. Misalnya, pendekatan berdasarkan tinjauan
berbagai ilmu. Seperti; ilmu ekonomi, ilmu politik, atau sosiologi. Pendekatan
ilmu ekonomi adalah dengan menggunakan ukuran-ukuran ekonomi untuk memilih
masalah, pertanyaan, serta data yang digunakan untuk membahas hal atau obyek
keilmuan dimaksud. Pendekatan Sosiologi akan menggunakan sudut tinjauan
sosiologi, misalnya; ukuran-ukuran pranata sosial, interaksi mantar manusia,
atau sistem sosial, dan sebagainya untuk menjadi kerangka atau dasar
pembahasan. Jenis pendekatan berdasarkan ukuran-ukuran baku ilmu-ilmu tersebut berbeda dengan metode
keilmuan. Sebenarnya, tidak ada metode psikologi atau metode sosiologi, tetapi
pendekatan psikologis atau pendekatan sosiologis.
Teknik, juga berbeda dengan metode keilmuan. Teknik
merupakan cara-cara operasional, dalam arti yang lebih terinci dan bersifat
rutin dan mekanis untuk memperoleh dan menangani data di dalam penelitian
keilmuan. Misalnya, penelitian mengenai gejala-gejala dalam masyarakat dapat
menggunakan metode survei dengan teknik penelitian lapangan (field work),
teknik investigasi, daftar pertanyaan, atau wawancara. Ilmu–ilmu kealaman,
misalnya dapat menggunakan metode pengukuran dengan teknik pemanasan atau
teknik tekanan dengan bentuan berbagai peralatan, seperti laboratoriun dan
sebagainya.
Gambar No.6. Bagan Metode keilmuan
E. Sumber:
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty,
Yogyakarta.
Watloly, A. , 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta
--------------Pikiran Sebagai Tenaga Budaya, (belum diterbitkan).
Watloly, A. , 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta
--------------Pikiran Sebagai Tenaga Budaya, (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
- jelaskan arti teori ilmu.
- jelaskan fungsi teori dalam tugas keilmuan;
- jelaskan arti metode ilmu dalam tugas keilmuan;
- berikan penilaian anda mengenai baik –buruknya metode ilmu dalam tugas keilmuan;
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:48
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-11
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-11
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-11
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENGETAHUAN DAN
ILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: SEJARAH KEILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: SEJARAH KEILMUAN
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Setelah memperlajarai topik ini, Anda diharapkan dapat:
Setelah memperlajarai topik ini, Anda diharapkan dapat:
- menjelaskan arti sejarah keilmuan;
- menunjukkan berbagai bentuk pergeseran paradigma keilmuan dalam sejarah keilmuan abad Yunani Kuno.
- menilai ciri perkembangan ilmu abad modern;
- membedakan paradigma keilmuan abad modern dengan paradigma keilmuan abad kontemporer.
I. Zaman Yunani Kuno
Sebagaimana pengetahuan, hakikat maupun sejarah
perkembangan ilmu itu sendiri merupakan sebuah problem di dalam filsafat. Pada
Zaman Yunani Kuno, ilmu dipandang sebagai bagian dari filsafat; pada saat lain,
terpisah dari filsafat. Ilmu, dulu dipandang sebagai disiplin tunggal (bersifat
monistik), dan sekarang dipandang sebagai seperangkat disiplin-disiplin yang
dinamis dan terlepas-lepas berdasarkan spesialisasi ilmu atau keahlian. Dahulu,
ilmu dipandang sebagai hal yang berurusan dengan kenyataan (fakta) fisik,
sekarang ilmu dianggap bergumul dengan fenomena-fenomena (gejala-gajala fisik
dan non fisik). Karenanya, ilmu kemudian dikategorikan ke dalam tipe-tipe
deduktif dan induktif.
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat (yang dipahami sebagai
ilmu). Filsafat dan ilmu bersifat saling menjalin dan orang tidak memisahkan
keduanya sebagai hal yang berbeda. Filsafat dan ilmu berusaha meneliti dan
mencari unsur-unsur dasariah alam semesta. Usaha tersebut, sekarang disebut
usaha keilmuan (usaha ilmiah).
Thales (640-546 s. M) merupakan pemikir pertama, yang
dalam sejarah filsafat disebut the Father of Philosophy (Bapak Filsafat).
Banyak sarjana kemudian mengakui Thales sebagai ilmuwan yang pertama di dunia.
Bangsa Yunani menggolongkan Thales sebagai salah seorang dari Seven Wise Men of
Greece (Tujuh Orang Arif Yunani). Thales memperkembangkan filsafat alam
(kosmologi) yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi
alam semesta. Thales, dalam penyelidikan keilmuannya, menyimpulkan bahwa
penyebab utama (causa prima) dari semua dari alam itu adalah “air” sebagai
materi dasar dari kosmis. Sebagai ilmuwan, Thales mengembangkan fisika,
astronomi, dan matematika, dengan antara lain, mengemukakan beberapa pendapat
keilmuannya, antara lain: bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya
matahari, menghitung terjadinya gerhana matahari, dan membuktikan dalil-dalil
geometri. Prestasi Thales dalam sejarah keilmuan, ditunjukkannya dalam hal
pembuktian dalilnya bahwa kedua sudut alas dari satu segitiga sama kaki adalah
sama besarnya.
Thales, melalui itu, menunjukkan bahwa ia adalah ahli
matematika dunia yang pertama dari Yunani. Para
ahli dewasa ini, justru itu, menyebut Thales sebagai the Father of Deductive
Reasoning (bapak penelaran deduktif).
Pythagoras (572-497 S.M) adalah ilmuwan Yunani Kuno yang
muncul ilmuwan matematika. Ia mengajarkan bahwa bilangan merupakan intisari
dari semua benda serta dasar pokok dari sifat-sifat benda. Dalil Pythagoras itu
demikian: “Number rules the universe” (bilangan memerintahkan jagat raya ini).
Ia berpendapat bahwa matematika merupakan salah satu sarana atau alat bagi
pemahaman filsafati.
Plato (428-348 s.M) adalah Filsuf besar Yunani dan
ilmuwan spekulatif, yang menegaskan bahwa filsafat atau ilmu merupakan
pencarian yang bersifat perekaan (spekulatif) tentang seluruh kebenaran. Plato,
dalam hal ini, memandang ilmu sebagai hal yang berhubungan dengan opini atau
ajaran (doxa). Ia mengajarkan bahwa geometri merupakan ilmu rasional
berdasarkan akal murni, yang berusaha membuktikan pernyataan-pernyataan
(proposisi-proposisi) abstrak mengenai ide-ide yang abstrak misalnya; segitiga
sempurna, lingkaran sempurna, dan sebagainya.
Aristoteles (382-322 s.M) lebih memahami ilmu sebagai
pengetahuan demonstratif, tentang sebab-sebab utama segala hal (causa prima).
Ilmu, dalam hal ini, bersifat; teoretis (ilmu tertinggi), praktis (ilmu
terapan), dan produktif (ilmu yang bermanfaat), semuanya dalam kesatauan utuh
(tidak bersifat ilmu majemuk). Aristoteles mempelajari berbagai ilmu, antara
lain; biologi, psikologi, dan politik. Ia juga mengembangkan ilmu tentang
penalaran (logika), yang dalam hal ini disebutnya dengan nama Analytika, yaitu
ilmu penalaran yang berpangkal pada premis yang benar, dan Dialektika, yaitu
ilmu penalaran yang berpangkal pikir pada hal-hal yang bersifat tidak pasti
(hipotesis). Semua tulisan Aristoteles tentang ilmu tentang penalaran (Logika)
itu ditulis dalam 6 (enam) naskah yang masing-masingnya berjudul; Categories,
On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, Sophistical
Refitations.
Jelasnya, perkembangan sejarah ilmu pada abad Yunani
Kuno telah berkembang dalam empat bidang keilmuan, yaitu; Filsafat (kosmologi),
ilmu biologi, matematika, dan logika dengan ciri perkembangannya masing-masing.
II. Zaman Abad Pertengahan.
Selama abad pertengahan, ilmu atau scientia dipahami
sebagai jenis pengetahuan yang dipunyai Allah tentang manusia. Ilmu, karenanya,
dilihat semata-mata dalam perspektif ilmu teologi, artinya, ilmu memiliki kedudukan
dan peranan sebagai pelayan teologi. Trivium, yaitu Gramatika, Retorika, dan
Dialektika, dan Quardrivium, yaitu Aritmatika, Geomerti, Astronomi, dan Musik,
di pihak lain, memuat sejumlah studi yang dianggap sebagai ilmu-ilmu dalam arti
yang kurang ketat. Averroes, menganggap being (yang –ada) sebagai istilah yang
seragam- sama persis (univok) untuk memandang ilmu sebagai pengatahuan abadi
gai yang berurusan dengan ke-apa-an semua hal.
c. Zaman Abad Modern
Ilmu mengalami perkembangan revolusioner pada abad
modern. Muncul tokoh-tokoh pembaharu seperti; Galileo-Galilei, Francis Bacon,
Roger Bacon, Rene Descartes, dan Ishak Newton yang memperkenalkan matematika
dan metode eksperimental untuk mempelajari alam. Ilmu, akhirnya berkembang
dengan sifatnya yang eksperimental, bercabang-cabang, dan partikular (saling
terpisah), serta otonom. Bahkan, sejarah keilmuan abad modern telah menampilkan
spesialisasi sebagai ciri keilmuan modern itu sendiri. Roger Bacon, sejak awal
zaman modern telah mengembangkan dasar-dasar keilmuannya yang bersifat ilmu
eksperimental. Roger Bacon, dalam hal ini berusaha mengembangkan ilmu dengan
melibatkan kegiatan-kegiatan pengamatan (observasi), prosedur metodik
(induktif), maupun matematika, yang dianggap lebih tinggi dari ilmu-ilmu
spekulatif (misalnya teologi), yang dikembangkan sebelumnya pada abad
pertengahan. Paham keilmuan tersebut, kemudian lebih diperkuat lagi oleh
Francis Bacon, yang menandaskan peranan metode induktif di dalam ilmu. Francis
Bacon menunjukkan bahwa metode induktif merupakan jalan satu-satunya menunju
kebenaran ilmu, serta menunjukkan kegunaan ilmu itu sendiri.
Menurut Francis Bacon, ilmu bersifat majemuk karena
mencerminkan aneka fakultas (kemampuan) manusiawi. Misalnya, ilmu alam berawal
dari kemampuan akal, sementara sejarah berasal dari kemapuan ingatan. Thomas
Hobbes, dikemusian hari, membagi ilmu-ilmu ke dalam dua tipe, yaitu ilmu yang
berasal dari fakta seperti nyata dalam ilmu-ilmu empiris -eksperimental, dan
ilmu yang berasal dari akal seperti nyata dalam ilmu-ilmu spekulatif.
Galileo-Galilei menjalankan sepenuhnya metode yang digariskan oleh Roger Bacon.
Menurut Galileo (ilmuwan besar dunia dari Itali), ilmu berkembang dari
filasafat alam, yang lebih dikenal sebagai ilmu alam, melalui pengukuran kecepatan
cahaya sampai penimbangan obor udara. Sebagai ilmuwan matematika, ia
mengajarkan sebuah ucapannya yang sangat terkenal, yaitu, “Filsafat ditulis
dalam sebuah buku besar, tetapi buku itu tidak dapat dibaca dan dimengerti bila
orang tidak lebih dahulu belajar memahami bahasa dan membaca huruf-huruf yang
dipakai untuk menyususnnya, yaitu matematika”.
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaannya di tangan
Ishak Newton. Menurut Newton, inti keilmuan adalah pada pencarian pola data
matematis, dan karena itu, ia berusaha membongkar rahasia alam dengan
menggunakan matematika. Ilmuwan dunia dari Inggris ini berhasil merumuskan
sebuah teori tantang “gaya berat” dan “kaidah-kaidah mekanika” yang semuanya
tertulis melalui karyanya yang berjudul; Philosophiae Naturalis Principia
Mathematica (azas-azas matematika dari filsafat alam), diterbitkan tahun 1687.
Perkembangan pada kemudian hari, ternyata Philosophia Naturalis memisahkan diri
dari filsafat dan para ahli menyebutnya dengan nama Fisika.
Jelasnya, pandangan keilmuan abad modern yang berciri
empiris-eksperimental dengan pendekatan induktifnya yang ketat, telah
dikembangkan secara lebih progresif oleh Ishak Newton dalam sebuah perspektif
keilmuan yang berciri positivistik.
Rene Descartes, menunjukkan sebuah kecenderungan lain di
dalam paham keilmuannya. Kenyataan tersebut makin menunjukkan ciri perkembangan
keilmuan modern yang bersifat majemuk dan partikular (terpisah-pisah). Menurut
Descartes, ilmu tidak memiliki basis lain kecuali akal budi. Metode akal budi
dapat diterapkan dalam problem apa pun. Ilmu memiliki keterkaitan bathiniah
dengan kepastian dan sungguh-sungguh disejajarkan dengan paham abad pertengahan
tentang premis-premis ketuhanan dalam ilmu.
Dunia keilmuan modern mengalami perkembangan dengan munculnya
cabang-cabang keilmuan modern. Perkembangan mana terjadi karena berkat
penerapan metode empiris yang makin cermat serta pemakaian alat-alat keilmuan
yang lebih lengkap. Bahkan, perkembangan tersebut disebabkan pula oleh adanya
arus komunikasi antarilmuawan yang senantiasa meningkat. Hal mana, lebih
menonjol pada tahun 1700-an. Setalah memasuki usia dewasa, cabang-cabang ilmu
tersebut memisahkan diri dari filsafat, sebagaimana yang terjadi dengan Fisika.
Pemisahan tersebut pertama-tama dilakukan oleh biologi, pada awal abad
kesembilan belas (abad XIX), dan kemudian psikologi, yang kemudian di susul
lagi oleg sosiologi, antropologi, ilmu ekonomi, dan politik. Ciri perkembangan
dunia keilmuan modern tersebut ditentukan oleh tokoh-tokoh berikut.
Auguste Comte, di sisi lain, makin memantapkan iklim
pertentang (konfik dan kontroversi) di dalam alam keilmuan modern. Comte
mengkonstatasi adanya kecenderungan keilmuan yang makin mengarah dari spektrum
keabstrakan, misalnya, matematika yang kian berkembang menunju tahap positif
dalam ilmu kemasyarakatan yang utuh dan sempurna (Sosiologi). Tahapan
perkembangan ilmu dimaksud sesuai urutan pemunculannya di dunia. “Positivisme”
dalam keilmuan, terletak pada pernyataan bahwa penjelasan ilmiah (eksplanasi)
merupakan unsur dominan dalam setiap bidang pengalaman manusia. Tahapan
perkembangan ilmu tersebut disebut hukum perkembangan.
Hukum tiga tahap tersebut mengingatkan pada pandangan
Hegel dan Marx dengan ajaran dialektikanya yang memandang perkembangan sebagai
sesuatu gerak linear dan "tertutup". Artinya, mereka melihat proses
perkembangan pemikiran atau pengetahuan dan ilmu dalam tahap yang saling
terpisahkan dan tidak secara utuh (holistik) serta menyeluruh (komprehensif).
Perkembangan ilmu pun cenderung dilepaskan secara total dari keseluruhan
realitas kemanusiaan yang merupakan sumber utama pengetahuan dan ilmu itu
sendiri. Perkembangan pengetahuan dan ilmu hanya berusaha untuk
memenggal-menggal dan mengambil sebagian saja dari realitas itu, yaitu realitas
fisik materialnya untuk menjadi obyek atau dasar ontologis dalam mengembangkan
ilmunya. Ontologi materialistik ini telah melahirkan pandangan keilmuan yang
pincang tentang realitas serta mencetakkan orientasi kehidupan yang sangat
materialistik dalam kehidupan manusia modern.
Tentunya, Comte sendiri akan kecewa bila menyaksikan
bahwa apa yang diramalkannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Tahap
tertinggi sains atau ilmu positif yang diramalkannya sebagai pengetahuan
positif sehingga ilmu positif (sains) akan memberikan jaminan kepastian dan
kejelasan akhir terhadap hakikat ilmu, justru semakin membuka
permasalahan-permasalahan baru yang sifatnya problematis tiada hentinya.
Permasalahan ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa ilmu pengetahuan telah
berkembang secara nonkumulatif.
Terlihat jelas bahwa, setelah mencapai puncak
vitalitasnya yang disebut sebagai hakikat ilmu tertinggi yang berciri positivis
itu, ternyata peradaban manusia cenderung kehilangan tenaga budayanya dan
kemudian runtuh karena kehilangan kreativitas dan fleksibilitasnya.
Struktur-struktur sosial menjadi kaku, kehidupan semakin diwarnai oleh
disintegrasi antarelemen kemanusiaan yang serba dinamis dan berubah. Semuanya,
seolah-olah kehilangan keseimbangan serta daya temunya. "Positivisme"
secara pasti, telah mengabaikan realitas sosio-historis manusia yang utuh dan
dinamis itu di dalam alam pengetahuannya.
Comte, sejalan dengan hukum perkembangan dimaksud,
menciptakan penggolongan pengetahuan dan ilmu. Ia menggambarkan bagaimana ilmu
dan pengetahuan itu berkembang atas dasar gejala-gejala yang dihadapi baik pada
tingkat yang sederhana sampai yang paling kompleks. Hal itu dilakukan atas
dasar sejarah perkembangan ilmu yang dipahaminya. Akhirnya, tersusunlah enam
jenis ilmu pengetahuan dasar dengan menempatkan fisika sosial atau sosiologi
dengan statistikanya sebagai ilmu yang paling tinggi.
Auguste Comte, untuk itu, mengembangkan metode
keilmuannya yang khas dengan memadukan dalamnya unsur observasi,
eksperimentasi, dan metode sejarah. Ia dalam hal ini, telah berhasil membangun
suatu paham keilmuan baru yang memadukan “Rasionalisme” a l a Descartes dengan
“Empirisme” Francis Bacon. Hal ini sejalan dengan maksud pokok Auguste Comte,
yaitu bahwa ilmu harus selalu dikaitkan dengan pendiriannya dalam menyelesaikan
masalah-masalah praktis. Akibatnya, makna keilmuan selalu bersifat
"pragmatis” dan menjadi suatu pilihan sebagai alat (instrumen). Comte
untuk itu, berusaha mengkategorikan ilmu dalam enam kategori kegunaan yang
sifatnya praktis, yaitu:
Pertama, Comte menempatkan ilmu pasti (matematika)
sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan. Comte dengan begitu yakin menyatakan bahwa
hanya ilmu pastilah yang merupakan satu-satunya ilmu yang mempunyai kedudukan
obyektif. Hal ini disebabkan ilmu pasti memiliki sifat yang tetap, terbatas
pada akal, dan pasti melalui apa yang dilakukan dalam penyajian
"kalkulus"-nya. Menurutnya, melalui metode-metode ilmu pasti, orang
akan memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang sebenarnya, yaitu ilmu pengetahuan
dalam tingkatnya yang "tepat dan sederhana" namun obyektif (terukur
secara pasti).
Kedua, ilmu perbintangan (astronomi) yang berfungsi
menyusun hukum-hukum ilmu pasti tersebut di atas dalam hubungan dengan gejala
benda-benda langit. Semua itu berhubungan dengan cara-cara menerangkan
bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda-benda langit seperti
bintang, bumi, bulan, atau planet-planet lain yang semuanya berhubungan dengan
observasi langsung si subyek.
Ketiga, ilmu alam (fisika). Menurutnya, melalui observasi
dan eksperimen, ilmu-ilmu fisika atau ilmu alam menunjukkan hubungan-hubungan
yang mengatur sifat umum benda yang dikaitkan dengan masa. Hubungan-hubungan
tersebut berada dalam keadaan yang memungkinkan molekulnya tidak berobah
sebagai suatu himpunan. Selanjutnya, Comte juga berusaha dengan hukum ilmu
fisika ini untuk meramalkan secara tepat semua gejala yang dapat ditunjukkan
oleh suatu benda yang dalam keadaan tertentu. Kegunaan paktis ilmu alam atau
fisika ini, karena sifat keteramalannya atas realitas obyeknya yang bersifat
tetap dan tidak berubah atau bergonta-ganti.
Keempat, ilmu kimia (chemistry) yang berfungsi untuk
membuktikan adanya keterkaitan yang luas di antara ilmu-ilmu seperi dalam ilmu
hayat (biologi) dan bahkan dengan sosiologi. Hubungan ini tentu lebih luas dari
ilmu alam. Metode yang digunakan dalam bidang ini adalah observasi dan
ekperimentasi.
Kelima, ilmu hayat (fisiologi atau biologi). Jelasnya,
pada tingkat ini, ilmu telah berhadapan secara langsung dengan gejala-gejala
kehidupan sebagai unsur yang lebih kompleks. Umumnya, perkembangan ilmu pada
tahap ini disertai dengan adanya perobahan, karenanya, belum mencapai tahap
yang tetap sebagai ilmu positif.
Keenam, ilmu tertinggi dalam ilmu positif yaitu ilmu
fisika sosial (sosiologi). Fisika sosial berfungsi untuk menghadapkan ilmu pada
hakikat kehidupan yang lebih kompleks, lebih konkret, dan lebih khusus dalam
ikatan dengan suatu kelompok manusia. Menurut Comte, fisika sosial atau
sosiologi merupakan suatu bidang yang meliputi segi-segi yang statis maupun
dinamis mengenai masyarakat. Justru itulah, Comte menunjukkan bahwa metode yang
terbaik untuk ini adalah observasi. Alasannya, setiap pengetahuan selalu
meminta kesaksian dan pembuktian yang jelas dan langsung. Berdasarkan penggolongan
di atas, Comte hendak menegaskan bahwa perkembangan ilmu pengatahuan tidak akan
menuju ke alam teori murni tetapi pragmatis dalam arti positif, yaitu: nyata,
bermanfaat, pasti, tepat, dan teramati. Windelband, di kemudian hari, mengikuti
pola pembagian ilmu dimaksud dengan menunjukkan adanya dua golongan ilmu,
yaitu; ilmu-ilmu alam sebagai nomotetik dan ilmu-ilmu kebudayaan sebagai
idiografik. Windelband, u
ntuk itu, mendukung pandangan bahwa ada dua tipe
dasariah ilmu dengan suatu perbedaan jenis yang nyata di antara keduanya.
Kultur keilmuan positif yang dikembangkan Auguste Comte,
mempunyai peranan yang sangat besar dalam perkembangan keilmuan modern.
Nampaknya, solah-olah terdapat semacam jaminan bahwa "hanya ilmu positif
(sains)-lah yang pasti dan benar satu-satunya". Ilmu positif telah dibuat
menjadi pemegang kedaulatan mutlak atas kepastian dan kebenaran. Positivisme
awal yang menekankan pada segi-segi rasional-ilmiah, baik pada tataran
epistemologi maupun ontologi, akhirnya, direduksikan pada ilmu positif yang
dianggap mampu menerangkan kenyataan secara lengkap dan sempurna. Reduksi
dimaksud tidak hanya dalam ide atau pemikiran, tetapi menembus sampai ke dalam
inti kehidupan manusia dan alam secara total.
Auguste Comte, akhirnya, telah mereduksikan bukan hanya
ilmu, tetapi justru epistemologi itu sendiri ke dalam tuntutan-tuntutan
“Positivisme”-nya yang memiliki egoime sektoral di dalam ilmu-ilmu. Paham
positivisme keilmuan hanya mau dan mampu melihat manusia sebagai realitas
bendawi, tanpa mampu menjangkau segi-segi subyektivitas manusia dalam seluruh
lingkup pengalaman, kedudukan, atau penyikapannya yang luas, utuh, dan
menyeluruh. Pandangan Positivisme Comte yang begitu kuat terhadap
masalah-masalah sosial, membentuk pandangan epistemologi yang bercorak
pragmatis. Akibatnya, epistemologi positivisme ini hampir tidak mampu lagi
untuk menjangkau segi-segi historisitas manusia. Comte lupa bahwa segi-segi
sosio-historis manusia inilah yang mengantarkannya untuk melahirkan pandangan,
gagasan, serta cara berpikir, dan aspirasi-aspirasi baru yang dinamis. Semua
itu bersifat terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru di dalam pengetahuan dan
kehidupan yang terus bergerak maju dengan berbagai kemungkinan yang serba baru
dan berubah-ubah.
Comte justru telah menyingkirkan realitas
sosio-historis, dan bahkan realitas sosiologis itu sendiri di dalam teorinya.
Comte lupa bahwa sebenarnya sosiologi yang dicita-citakannya tidak memiliki
hubungan dengan apa-apa, baik dengan tradisi ontologi maupun ilmu-ilmu alam.
Comte lupa bahwa Sosiologi adalah bidang ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang
menyelidiki bidang intersubyektif yang berubah-ubah. Sosiologi, karenanya,
harus berusaha memahami hal-hal yang terjadi di dalam pergaulan antarmanusia
dalam masyarakat. Perhatian Sosiologi bukan pada fakta mati melainkan pendapat
orang atas interaksi mereka. Hal yang mau dicapai dalam setiap interaksi adalah
pemahaman timbal-balik.
Michael Curtis (1981:147-152) menjelaskan bahwa
sekurang-kurangnya pandangan Auguste Comte ini telah memacu Progresivisme dan
Pragmatisme. Artinya, dengan mengartikan perkembangan sebagai
"kemajuan", Comte telah mempertebal rasa optimisme, malah lebih dari
itu, Comte telah memperkokoh mitos-mitos keilmuan modern. Munculnya positivisme
sebagai penentu kemajuan pengetahuan positif sekaligus telah menggusur hakikat
filsafat, sebagai kekuatan kritis-spekulatif dalam alam keilmuan. Pengetahuan,
akhirnya, menjadi sesuatu yang lebih bersifat instrumental dan teknologis.
Kemajuan pengetahuan atau masyarakat dipahami semata-mata sebagai kemajuan
fisik material. Ciri kemajuan demikian itulah yang diterapkan sebagai sebuah
kebutuhan primer dalam epistemologi. Akibatnya, tidak ada pertautan dialektis
antara filsafat dan ilmu atau teori dan praksis, tetapi melulu hanya kegunaan
praktis.
Ilmu bergerak secara linear mencari kegunaan praktis
bagi suatu kemajuan. Sebaliknya, aspek-aspek fundamental lain ditinggalkan,
bahkan diabaikan sebagai hal yang kosong dan sia-sia karena tidak memiliki
kegunaan praktis. Ciri kegunaan praktis tersebut kemudian dirasionalisasikan
pada tataran abstraksi sehingga mendapat legitimasi yang mutlak secara
ideologis, dan sekaligus menjadi alat represif. Akibatnya, tidak dapat
dihindari terjadinya krisis kemanusiaan dan krisis kosmologis sebagai hasil
nyata dari kuatnya pengaruh pemikiran tersebut. Akibatnya, Positivisme Auguste
Comte telah melahirkan pula sikap monistik dan deterministik atas realitas
fisik material.
Praktisnya, "Positivisme" hampir tidak mampu
menghayati manusia dalam hakikatnya yang "monopluralis" (Notonagoro
1987:94-98), yaitu kesatuan dan keutuhan dari unsur-unsur atau tarafnya yang
majemuk tetapi sekaligus manunggal. Unsur-unsur atau taraf kehidupan tersebut,
meskipun mempunyai aktualitas dan potensialitas sendiri-sendiri, namun tetap
menggambarkan realitas kemanusiaan secara utuh. Unsur-unsur tersebut,
karenanya, tidak mungkin direduksikan pada unsur-unsur atau taraf tertentu.
Penekanannya yang natural-deterministik dalam memahami proses perkembangan
pengatahuan dalam masyarakat tersebut telah mengakibatkan kecenderungan
sektoral yang kuat. Akibatnya, orang memandang manusia maupun masyarakat alam
sebagai hal yang harus berkembang menurut proses-proses alami yang sifatnya
linear dan mekanistik. Kerangka pemahaman dan sikap ilmiah tersebut, telah
mendegradasikan manusia dari realitas keberadaanya yang monopluralis itu.
Ternyata, apa yang diartikannya dengan kemajuan hanyalah
sesuatu yang teknis sosiologis. Paradigma utamanya bersifat industrialis dan
teknologis yang memaksakan suatu model keseragaman (uniformitas). Akibatnya,
keseragaman ditempatkan sebagai "diktator kemanusiaan" yang tinggi
atas semua situasi kemanusiaan dan kelompok masyarakat. Paradigma tersebut,
terus bergerak maju secara linear dengan semangat penaklukannya tanpa
mempedulikan aspek kemajemukannya yang bersifat spesifik. Watak Positivisme,
yang dicirikan dengan mesin atau industri, ternyata telah mempersenjatai
pengetahuan sebagai sebuah "mesin perang" bagi kepentingan penguasaan
yang bersifat represif total.
Krisis sosio-historis atau krisis dialektika dalam
epistemologi yang memuncak pada zaman “Positivisme” ini justru muncul begitu
tajamnya pada Von Feuerbach. Feuerbach (1804-1872) sangat anti terhadap
teologi. Analisanya secara langsung menyentuh pada hakikat Tuhan. Ia memandang
bahwa Idealisme Kant maupun Hegel tidak lain adalah puncak Rasionalisme yang
masih dikungkung oleh teologi, karennya, tidak memberi kemajuan dan kepastian
apa pun terhadap manusia. Von Feuerbach sampai pada kesimpulan yang sungguh
drastis bahwa sumber penghambat segala kemajuan ilmu, pengetahuan, maupun
bidang lainnya adalah kepercayaan kepada Tuhan.
Von Feuerbach menegaskan bahwa sesungguhnya segala
konsepsi mengenai Tuhan tidak lain adalah produk imajinasi manusia sendiri. Menindaklanjuti
pandangannya itu, ia menganjurkan agar kepercayaan kepada Tuhan itu
ditinggalkan saja. “Empirisme” sudah mengajarkan bahwa yang pasti dan yang
benar itu tidak lain adalah hasil pengamatan inderawi (sensibel). Akhirnya, Von
Feuerbach menandai gejala perubahan mandasar dari alam lama ke alam modern
sekular. Perubahan ini tidak hanya terbatas pada sektor agama, akan tetapi
sampai kepada Tuhan itu sendiri. Kenyataan ini semakin ditandai oleh
kemanunggalan antara “Sekularisme” dengan “Ateisme”.
“Positivisme Kontemporer" ternyata lebih tragis
dalam mengembangkan dirinya. Paham Positivisme ini bukan saja menampilkan
dirinya sebagai sebuah ajaran, tetapi lebih daripada itu sebagai sebuah sikap
ilmiah dan bahkan sikap hidup. Intinya adalah, pada keinginannya yang kuat
untuk membersihkan diri dari kepentingan-kepentingan praktis manusia yang
berubah-ubah. Positivisme Logis atau Neo Positivisme yang disebut Positivisme
kontemporer ini berusaha membangun suatu bentuk pengetahuan ilmiah murni dan
sejati dengan suatu sistem bahasa yang universal. Aliran "Positivisme
kontemporer” ini dengan demikian menempatkan dirinya pada puncak pembersihan
pengetahuan dari kepentingan manusiawi dan awal pencapaian cita-cita untuk
memperoleh pengetahuan demi pengetahuan.
"Positivisme Logis" menganggap ilmu atau
pengetahuan mengenai fakta obyektif sebagai ilmua atau pengetahuan yang sah.
Melalui ini, aliran “Positivisme" ini berusaha mengakhiri riwayat ontologi
atau metafisika. Meskipun demikian, ternyata “Positivisme” tidak sanggup
melepaskan diri secara sungguh dari ontologi malah telah membentuk suatu
ontologi baru yaitu teori murni yang bebas dari kepentingan manusiawi.
Sosiologi atau ilmu-ilmu historis-hermeneutis pun,
akhirnya, telah mengklaim diri sebagai ilmu positivis dan memantapkan posisinya
sebagai "ilmu ilmiah", serta berusaha mengambil sikap sebagai
teoretis murni. Akibatnya, Sosiologi atau ilmu-ilmu sosial tersebut tidak lagi
berusaha memahami hal-hal yang terjadi di dalam pergaulan antarmanusia di dalam
masyarakat. Sosiologi tidak lagi memperhatikan pendapat-pendapat orang atas
interaksi mereka, atau pemahaman timbal-balik, tetapi terpaku pada fakta
bendawi dan rumusan teori murni yang mati.
Sikap positivistis yang dianut oleh Ilmu-ilmu sosial
mengandung tiga pengandaian yang saling berkaitan: Pertama, bahwa
prosedur-prosedur metodis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu
sosial. Setiap gejala subyektivitas manusia, misalnya, kepentingan maupun
kehendak manusiawi, serta tingkah-laku sosial para subyek tidak mengganggu
obyek pengamatannya yang sesungguhnya. Akibatnya, obyek pengamatan ilmu-ilmu
sosial disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil penyelidikan itu
dapat dirumuskan dalam bentuk "hukum-hukum" seperti dalam ilmu-ilmu
alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknis, yang menyediakan
pengetahuan yang bersifat "instrumental murni". Pengetahuan demikian,
harus digunakan untuk keperluan apa saja sehingga harus dibersihkan dari unsur
etis dan tidak terikat pada dimensi politis manusia. Teori sosial, seperti
ilmu-ilmu alam, bersifat netral dan bebas nilai.
Sejarah filsafat mencatat bahwa, "Positivisme
kontemporer" ini lebih ditonjolkan dalam pemikiran Lingkungan Wina.
Kelompok tersebut dikenal dengan "Positivisme Logis" atau
"Empirisme Logis”, atau juga "Neo Positivisme". Sama seperti
Comte, aliran tersebut juga bercita-cita untuk menghasilkan suatu sistem
pengetahuan yang terpadu yang disebut pengetahuan sejati umat manusia. Mereka
menolak perbedaan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dan
berpendirian bahwa, membangun suatu kesatuan keilmuan merupakan tugas sejarah
filsafat.
Menurut Positivisme Logis, tugas filsafat adalah
menganalisis kata-kata atau pernyataan-pernyataan dan untuk membuktikan arti
atau maknanya. Mereka dengan begitu ambisi berusaha mengusahakan suatu sistem
tunggal dalam suatu sistem konseptual, yaitu suatu bahasa bagi semua ilmu.
Akibatnya, pengetahuan hanya dipahami sebagai urusan permainan bahasa belaka.
Menurut mereka, bahasa bagi ilmu pengetahuan terpadu itu adalah bahasa
positivistis, yaitu tuntutan-tuntutan tentang fakta obyektif. Prinsipnya, di
luar ucapan-ucapan positivistis, segala hal lain (misalnya; tuntutan-tuntutan
moral, ucapan-ucapan estetis, dan keyakinan) tidak bernilai karena tidak dapat
diverifikasikan. Pandangan demikian, patut ditanggapi secara kritis sebagai
sebuah usaha saintisme yang tidak memahami hakikat ilmu sebagai suatu bentuk
pengetahuan, tetapi telah menyamakannya dengan pengetahuan itu sendiri.
Pengaruh Positivisme dalam keilmuan modern secara luas
dan mendasar membentuk berbagai aliran pemikiran dan keilmuan yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan kultur modern. “Positivisme” telah membawa pula
pengaruh teknologi yang terasa penting dalam epistemologi. Teknologi ternyata
sangat mewarnai problem keilmuan modern dan secara khusus perkembangan sistem
pengetahuan modern. Umumnya, perkembangan ilmu dan teknologi berjalan secara
terpisah, namun setelah perkembangan Positivisme maka terjadi pembauran di
antara keduanya. Tuntutan pembauran ini didasarkan pada kebutuhan akan
peningkatan alat ukur untuk mencapai kepastian yang makin sempurna dalam rangka
pengetahuan ilmiah.
Secara implisit, perkembangan teknologi selalu mempunyai
pendasaran epistemologis yang sifatnya implisit di dalamnya. Selanjutnya,
setelah perkembangan modern maka pertumbuhan teknologi makin mengungkapkan
aspek epistemologis secara lebih eksplisit. Melalui ini, orang dapat berbicara
mengenai teknologi sebagai bagian dari pertumbuhan epistemologi. Perkembangan
di kemudian hari menunjukkan bahwa teknologi makin terkait dengan proses
industrialisasi tetapi juga makin terpadu dengan perkembangan ilmu. Eksperimen
tidak saja di bidang ilmu-ilmu alam, tetapi juga di bidang biologi dan bahkan
psikologi. Akibatnya, terjadilah perpaduan antara perkembangan ilmu dengan
teknologi. Profesi keilmuwan, akhirnya, banyak terkait dengan perkembangan
teknologi.
Martin Heidegger mengkritik problem teknologi dalam
pengetahuan dengan menunjukkan bahwa: “Teknik dapat menamatkan metafisika"
dan sekaligus menunjukkan sebuah ontologinya yang khas, yaitu benda atau
obyek”. Jelasnya, bila dalam Abad Pertengahan manusia dipandang dan diakui
derajatnya sebagai "makhluk" maka sebaliknya dalam teknologi, manusia
dipandang sebagai benda atau materi yang siap ditangani, dikuasai, dimiliki,
dan dimanipulasi. Baginya, manusia, masyarakat, moral, dan etik, adalah obyek
materi atau sekedar sebagai bahan mentah bagi suatu penanganan teknologis.
Problem teknologi dalam epistemologi modern ternyata
merupakan proses radikal terhadap rezim “Positivisme”. Martin Buber menunjukkan
bahwa dalam situasi demikian, hubungan antarmanusia bersifat hubungan
"Aku-Engkau", dirubah menjadi "Aku-Itu" yang ditandai
dengan nafsu eksploitasi, manipulasi, dan rekayasa atas diri sesama manusia
(Bertens 1983:155-164). Menurut pendapat umum, teknik biasanya mempunyai fungsi
instrumental. Teknik dalam hal ini dipandang sebagai sarana yang digunakan
manusia. Ternyata, justru dalam teknologi justru ditemui hal yang sunguh
berlainan. Kenyataan ini disebabkan karena apa yang dirancang manusia sebagai
sarana untuk menguasai dunia, menjadi sukar dikuasai sendiri, malah tidak dapat
dikuasai. Anehnya, apa yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang
telah berbalik menguasai dirinya sendiri. Kini, manusia ditempatkan dalam
keadaan itu, sehingga manusia secara riil dikuasai oleh teknik. Akibatnya,
manusia tidak lagi memiliki kebebasan dan kekhasan diri
sebagai "ego" atau "subyek", ia
adalah obyek yang dikuasai.
Prinsipnya, dalam teknologi, manusia terseret ke dalam
dunia mekanisme yang kaku dan ketat. Akibatnya, manusia terasa tidak mampu lagi
untuk memandang hal-hal lain yang merupakan misteri-misteri kehidupan yang
bersifat hakiki. Bahayanya adalah, bahwa manusia akan kehilangan hakikat
kemanusiawiannya yang memiliki keterarahan pada kepenuhan eksistensinya.
Khusus, dalam hal ini, manusia akan kehilangan kepekaan dalam mendengarkan
perubahan-perubahan dan berbagai fonomena misteri yang kiranya akan datang.
Harus diakui, manusia tetap membutuhkan teknologi sebagai sarana (bukan tujuan)
pengembangan hidup, namun, teknologi itu sendiri harus terbuka pada pembaharuan
dan pemurnian secara terus-menerus atas prinsip kemanusiaan. Melalui itu,
teknologi dapat berperan dalam tugas kemanusian yang sifatnya utuh.
Salah satu ciri perkembangan keilmuan modern yang begitu
berkembang pada abad XX (abad kedua puluh), yaitu, lahirnnya ilmu-ilmu baru
yang tampaknya bebas, seperti; logika formal, Linguistik (ilmu bahasa), teori
tanda, Ilmu perilaku (Behaviour science) yang menggabungkan berbagai ilmu
seperti, sosiologi dan antropologi untuk menelaah perilaku manusia, serta ilmu
anatoni sosial (Social anatomy Science), Antropologi ragawi, dan Ethology (ilmu
tentang pola perilaku organisme). Terlihat, bahwa desakan pemisahan ilmu-ilmu
modern dari filsafat karena perbedaan ciri-cirinya yang sangat menyolok.
Filsafat, pada dirinya bersifat (berciri) spekulatif, sementara ilmu-ilmu
modern berciri empiris, dengan menerapkan metode empiris, eksperimental,
induktif, dan positivistik. Ciri empiris itulah yang membentuk ciri umum dunia
keilmuan modern.
Akibatnya, dunia keilmuan modern cenderung menganggap,
bahwa ilmu-ilmu sosial dan psikologi, untuk diakui keabsahannya secara ilmiah
maka harus pula menggunakan metode-metode empiris eksperiental, yang isinya
terbatas pada data-data yang dapat dibuktikan dengan fakta pengamatan serta
generalisasi dan aplikasi.
IV. Zaman Abad Post Modern (Pembaharuan atas klaim-klaim
keilmuan modern).
Jurgen Habermas, sebagai filsuf dan pemikir abad Post
modern (abad kontemporer) tampil bersama para filsuf kritis dalam komunitas
“Teori Kritis”. Habermas ingin membaharui pandangan keilmuan modern dalam
sebuah pendekatan kritis. Menurutnya, keilmuan modern telah terjebak dan
kebekuan dan kemandekan klaim-klaim “Posistivisme” sempit, yang cenderung
membatasi ilmu pada gejala alam, tanpa berusaha melihat dimensi sosiologi
keilmuan itu sendiri.
Menurut Habermas, sejarah besar imu sosial menunjukkan
adanya tiga momen pemikiran yang sekaligus menggambarkan tiga periode kritis di
dalam sejarah ilmu sosial itu sendiri. Ketiga momen kritis dalam sejarah ilmu
sosial itu digambarkan dalam skema pemikiran berikut;
(1). Ilmu Sosial Positif (Habermas 1972:72-90, bdk.
Horkheimer dan Adorno 1969: 18-80). Umumnya, para analisis sejarah menyebut
penganut aliran ini dengan “Positivist social science” (PSS). Momen pemikiran
pertama inilah yang meletakkan dasar-dasar “Ideologi Positivisme” baik pada
tataran substansial maupun cara kerja atau metodenya pada alam pengembangan
ilmu-ilmu sosial. Kenyataan tersebut telah mempengaruhi periode-periode
pengembangan ilmu sosial di kemudian hari, dan mencetakan pada sebuah watak
positivis yang khas.
Positivist social science (PSS) ini lebih merupakan
sebuah perlawanan radikal terhadap pemikiran ilmu sosial sebelumnya yang
bersifat spekulatif dan metafisik (perenial). Ambisi ilmu sosial positivis ini
adalah menyusun sebuah tatanan masyarakat baru yang disebutnya sebagai
masyarakat positif. Tipe masyarakat positif idaman adalah masyarakat
modern-maju yang mengembangkan diri secara ketat di bawah dominasi ilmu dan
industri sebagai spirit sosialnya.
Menurut penganut aliran ini, orang harus mengabdi pada
prestasi intelektualitas yang luhur tanpa harus dipengaruhi oleh kekuatan atau
keyakinan lain di luarnya yang tidak memiliki jaminan yang pasti. Akibatnya,
hilanglah makna nilai, etika, dan unsur-unsur subyektifitas seperti rasa cinta,
persahabatan sejati, dan pengharapan di dalam diri manusia. Unsur-unsur itu
harus ditinggalkan di dalam masyarakat positif karena tidak memiliki
obyektivitas dan bahkan tidak bermakna, sebab dapat menghambat “progres”.
Ilmu Sosial Positif , akhirnya, menyeret manusia atau
masyarakat positif untuk jatuh ke dalam bahaya “Materialisme” dan “Hedonisme”,
tanpa bersikap kritis terhadapnya. Humanitas yang ingin diperjuangkan bukanlah
humanitas yang utuh tetapi humanitas yang terpengal-penggal. Manusia atau
masyarakat positif harus memutuskan hubungannya dengan masa lalunya, dinamika
kejiwaannya, dan tuntutan-tuntutan sosialnya yang luas dan komplementer.
Selanjutnya, manusia positif seakan hidup di bawah arus determinasi dan
penguasaan total ilmu dan teknologi atas nama kemajuan. Hakikat pluralitas
manusia yang kaya digantikan dengan monisme yang kering serta tekanan yang
begitu kuat terhadap “the human affairs”.
Ambisi ilmu sosial positivis telah mengubah aspirasi dan
otonomi, serta cinta kemanusiaan menjadi sebuah anarkhisme dan perbudakan atau
kediktatoran yang menindas. Muncullah kecenderungan anarkhis yang kuat dalam
diri manusia positivis sehingga orang merasa bebas berbuat atau bertindak
sendiri dan mencari jalan sendiri (laissez faire, laissez aller). Hukum evolusi
yang kemudian diperkuat dengan semboyan struggle for life dan survival of the
fittest telah memaksakan orang untuk berjuang habis-habisan demi hidup atau
demi kekuasaan, tanpa cinta kasih atau pengampunan.
Dewasa ini pun, kita semakin terus menyaksikan adanya
keganasan, teror, peperangan, kejahatan, kekerasan, dan penganiayaan terhadap
“humanitas”. Pendeknya, di dalam orde masyarakat positivis ini, manusia
“membendakan” dirinya secara total serta menempatkan diri sebagai bawahan bagi
sebuah sistem kekuasaan ilmu atau teknologi yang anonim.
(2). Ilmu Hermeneutika Sosial (Habermas 1972:140-186).
Aliran pemikiran ini dikenal dengan Interpretative social science (ISS). Ciri
pemikiran ini dipelopori oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Max Weber
(1864-1920). Dilthey maupun Weber mengembangkan ciri pemikiran ini sehubungan
dengan kecemasannya yang begitu besar terhadap ciri pemikiran positivisme
sosial sebelumnya. Menurut penganut Interpretative social science (ISS), orde
“Positivisme” telah begitu kuat mendeterminasi dan membelenggu manusia sebagai
“benda sosial” yang tidak otonom.
Kritik Interpretative social science (ISS) atas
ilmu-ilmu sosial positivis dilakukan dengan menunjukkan sebuah pendekatan baru
yang bersifat kritis atas pemikiran “Positivisme” sosial dan kehidupan sosial
itu sendiri. Caranya adalah, dengan metode hermeneutik atau penafsiran atas ide
dan tindakan-tindakan sosial. Bagi para penganut ISS, tindakan-tindakan sosial
itu tercermin di dalam sejarah, serta tindakan pelaku invidividu yang aktual.
Tindakan-tindakan sosial atau ide tindakan sosial itulah yang menjadi dasar
untuk mengkonstruksikan teori sosialnya. Cara itu dilakukan dengan mempelajari
perilaku sosial yang bermakna untuk menunjukkan segi-segi subyektif kegiatan
antarpribadi dalam kompleksitas hubungan sosial yang menyusun sebuah
masyarakat. Akhirnya, Interpretative sosial science mengartikan teori sosialnya
sebagai interpretasi tingkah laku sosial. Menurut penganutnya, melalui cara
yang demikian, orang akan memperoleh pengetahuan yang memadai mengenai ciri dan
keanekaragaman masyarakat.
(3). Sosiologi Kritis. Periode pemikiran ini lebih
dikenal dengan “Interpretative social science (ISS)” (CSS). Arus pemikiran ini
lebih merupakan sebuah kritik pembaharuan atas isi pemikiran dan suasana
intelektual teori sosial sebelumnya yang dipandangnya sebagai anti demokratik
dan non humanis. Horkheimer (1969:ix) secara tegas menyebut teori sosial
sebelumnya itu sebagai “Social discrimination”. Alasannya, karena teori-teori
tersebut telah memanipulasi masyarakat dengan penelitiannya yang sengaja
mengambil dan memanipulasi suara terbanyak untuk membenarkan maksud-maksud
politiknya dalam rangka mendiskriminasikan kelompok masyarakat minoritas.
Kenyataan yang sama dijumpai juga pada Hermeneutika sosial Max Weber yang
cenderung melanggengkan dominasi kapitalisme melalui teori bebas nilai-nya.
Habermas dengan Interpretative social science (ISS),
memandang bahwa kedua momen pemikiran sebelumnya itu telah mencetakkan sebuah
“tragedi agung” di dalam pemikiranya yang dilegitimasi di dalam sebuah rasio
yang pincang dan cacat. Sebagai tokoh utama dalam garis pemikiran ini, Habermas
berusaha memecahkan persoalan-persoalan sosial dewasa ini dengan mengaitkan
pemikirannya pada persoalan pemikiran dalam dua periode sejarah sebelumnya.
Habermas tidak bermaksud membuang pemikiran-pemikiran
sebelum, namun berusaha untuk mencari inspirasi padanya serta mengkritik dan
mengembangkannya di dalam sosilogi kritis. Ada tiga tokoh pemikir yang menginspirasi dan
menggerakkan pemikiran Habermas, yaitu Marx, Weber, dan Freud (Habermas 1972:
43-47, 52-54). Habermas sepaham dengan Karl Marx mengenai evolusi “Kapitalisme”
dan kontradiksi yang terdapat di dalam perkembangan tersebut, serta memahami
konsekuensinya untuk kehidupan pribadi dan sosial. Meskipun demikian, Habermas
menaruh kritik yang cukup tajam terhadap pemikiran Marx dan mengusulkan adanya
rekonstruksi atas materialisme historisnya.
Karyanya “Theory and Practice” (1974) menunjukkan fakta
kekeliruan Marx dan sekaligus menunjukkan kritik pembaharuannya atas empat orde
perkembangan sosial yang dirancang Marx dalam mewujudkan citra masyarakat
Komunis yang diidealkannya. Akhirnya, Habermas mengusulkan struktur
“refleksi-komunikasi” atau rasio-komunikasi sebagai jalan untuk mewujudkan
masyarakat emansipasi yang dituju. Sasaran utama Habermas, dalam hal ini, adalah
terciptanya komunikasi yang emansipatoris. Justru itulah, teori sosial
hendaknya mempunyai corak pendekatan dan wilayah yang sama sekali lain dari
ilmu-ilmu alam. Pandangan inilah yang menyebabkan Habermas menolak pendekatan
ilmu sosial positivis (PSS) maupun rasionalitas berdimensi tunggal di dalam
ilmu-ilmu sosial interpretasi (ISS). Konsekuensinya, ia harus membangun sebuah
proyek pemikiran yang khas dalam rangka merealisasikan maksudnya tersebut.
Konsekuensinya, Habermas memadukan di dalam dirinya dua
perhatian pokok yaitu minat pada realitas sosial maupun pada bidang
kefilsafatan untuk membahas pertautan antara pengetahuan dengan
fenomena-fenomena sosial, sebagai sebuah proyek pemikiran yang tetap terbuka.
Hal ini diakibatkan oleh keinginannya untuk mengembangkan sebuah “sosiologi
kritis” yang disebutnya sebagai kritik ideologis.
Melalui pidato pengukuhannya sebagai guru besar di
Universitas Frankfurt Habermas berusaha mengembalikan ilmu pada posisinya
sebagai salah satu (bukan satu-satunya) bentuk pengetahuan yang mungkin
mengenai kenyataan. Habermas menunjukan bahwa situasi keilmuwan tersebut
membutuhkan suatu pandangan kritis dari ilmu-ilmu sosial. Pandangan kritis
tersebut berfungsi untuk meneropong kepentingan-kepentingan penguasaan yang
tanpa disadari telah menjerumuskan teori-teori positivis itu ke dalam bahaya.
Tegasnya, Ilmu-ilmu sosial kemanusiaan tidak boleh mengacu pada ilmu-ilmu alam.
Harus dikatakan bahwa ilmu-ilmu manusia mempunyai nilai yang khas dan,
karenanya, sama sekali lain dari ilmu-ilmu alam dimaksud.
Model keilmuan itu berdasarkan “logika interaksi” atau
“logika hermeneutis” (Bertens 1983:219). Melalui itu, Habermas berusaha
merancang suatu konsep tentang ilmu yang terarah kepada praksis dengan
diberikan tempat penting bagi “logika dialektis bertegangan” atau “logika
komunikasi intersubyektif” sebagai latar belakang hermeneutika. Menurutnya, hal
terpokok dalam model interaksi ialah selalu ada kepentingan yang melekat tetapi
bukan kepentingan penguasaan melainkan kepentingan untuk saling pengertian dan
komunikasi. Inti komunikasinya pada dialog yang berlangsung dalam suasana yang
penuh saling pengertian dan saling pengakuan antarsubyek yang terlibat di
dalamnya.
Melalui dialog yang langsung dalam suasana saling
pengertaian dan pengakuan atas kebebasan itu, diusahakan agar ditaklukkan
adanya kemungkinan-kemungkinan teknologis pada humanitas atas nama kebenaran
ilmu atau kemajuan apa pun. Komunikasi dialogis yang bebas penguasaan ini
dianggap oleh Habermas sebagai ruang lingkup sehingga orang harus mencari
persepakatan hipotetis tentang tujuan-tujuan yang dapat diakui semua orang
dalam mewujudkan humanitas itu. Praktisnya, potensi teknologis harus diatur
sedemikian rupa sehingga manusia dapat dibebaskan dari segala paksaan untuk menaklukkan
seluruh kehidupannya kepada produksi sosial (industri sosial) yang sistematis.
Perubahan ke arah kebebasan dalam teknologi itu, merupakan syarat fundamental
untuk memungkinkan dialog bebas-penguasaan sehingga warga masyarakat dapat
mengambil bagian dengan hak yang sama dengan cara saling mengakui satu sama
lain. Habermas, dalam hal ini, menggantikan kedudukan kaum proletar dengan
ilmuwan yang melibatkan diri di dalam proses ilmiah.
Jelas terlihat bahwa Habermas berusaha membangun sebuah
optimisme yang tinggi atas ilmu dan teknologi, bahkan rasio itu sendiri dengan
visi perbaikannya secara radikal. Baginya, ilmu dan teknologi merupakan daya
kreatif yang sungguh penting dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Ilmu dan
teknologi lah yang merupakan faktor yang jelas dalam menentukan keadaan dan
perkembangan masyarakat. Tugas tersebut itulah yang harus dimengerti oleh para
ilmuwan itu sendiri. Ilmu dan teknologi merupakan spesies-spesies pengatahuan
yang mesti ditempatkan pada sebuah ajang pertautan dialektis yang luas dan
mendasar. Pertautan tersebut mengarah pada konteks kemanusiaan yang utuh dan
menyejarah serta emansipatif.
Sebagaimana teori, Habermas menunjukkan bahwa ilmu pun
harus dipertautkan dengan praksis. Habermas dalam hal ini menghubungkan praksis
dengan kritis-emansipatoris karena ia mau mengembangkan dan menyusun secara
baru struktur-struktur masyarakat dengan meniadakan di dalamnya segala unsur
yang bersifat represif. Subyek yang menjlankan praksis itu adalah umat manusia
yang sedang menuju ke masa depan yang baru. Sehubungan dengan itu, emansipasi
atau pembebasan manusia di dasarkan pada suatu kepentingan, karena bila tidak
demikian maka praksis tidak dapat bersifat kritis sebab tidak dapat dijelaskan
sesuatu daripadanya. Habermas dengan ini bermaksud menunjukkan bahwa, sikap
teoretis keilmuan selalu diresapi dan dijuruskan oleh kepentingan-kepentingan
manusiawi.
Habermas memandang pula bahwa rasio instrumental yang
menghasilkan ilmu-ilmu teknis melalui tindakan instrumental merupakan realisasi
suatu kepentingan kemanusiaan. Kenyataan tersebut diakibatkan oleh
proses-proses kognitif yang merupakan proses kehidupan. Proses tersebut itulah
yang memotivasikan tindakan instrumental untuk memenuhi suatu kebutuhan akan
“sukses” yang mengarah pada pemecahan masalah kehidupan, baik yang bersifat
empiris (sosial aktual) maupun kognitif transendental.
Paham keilmuan Habermas selalu berusaha memahami
kepentingan manusia secara dialektis bertegangan antara aspek empiris (sosial
aktual) dan transendental. Kedua jenis kepentingan tersebut mengarah
pada“kepentingan kognitif” atau “kepentingan konstitutif pengetahuan”. Habermas
menunjukkan bahwa, karena kepentingan konstitutif bagi pengetahuan itu bersifat
empiris-transendental maka tidak terpisahkan dari konteks kehidupan manusia.
Meskipun demikian, pengetahuan itu sekaligus melampaui realitas konstitutif
tersebut (Habermas 1972:179, 312). Tegasnya, Habermas dengan ini menolak adanya
reduksi ilmu atau pengetahuan pada satu kutub, entah empiris atau transendental.
Baginya, pemutlakkan aspek empiris dalam pengetahuan akan menyesatkan karena
bersifat deterministis. Habermas, untuk itu, membedakan tiga jenis ilmu dengan
pamrihnya (interest) masing-masing.
Pertama, ilmu-ilmu alam yang bekerja secara
empiris-analitis dengan kepentingan penguasaan teknis. Ia menunjukkan bahwa
ilmu-ilmu alam tersebut menyelidiki dan mendeskripsikan gejala-gejala alam
secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan tersebut untuk
kepentingan-kepentingan manusia. Teori-teori ilmiah disusun agar daripadanya
dapat diturunkan jenis pengetahuan terapan yang bersifat teknis. Pengetahuan
teknis tersebut menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia untuk mengelola
dunia atau alamnya. Melalui ilmu-ilmu alam yang demikian, ditunjukkan aspek pekerjaan
(labor) dalam sosialitas manusia, sedang kepentingan manusia yang terkandung di
dalam ilmu adalah ramalan dan pengawasan (prediction and control) alam.
Jelasnya, letak kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris-analitis dimaksudkan
sebagai pelaksanaan rasio-instrumental untuk kepentingan-kepentingan hidup
alami.
Hubungan dengan alam melalui kerja adalah hubungan
penguasaan atau hubungan subyek-obyek yang bersifat satu arah. Pendeknya,
diperlukan komunikasi atau konsensus antarilmuwan untuk mencapai kebenaran-kebenaran
ilmiah yang tidak hanya dalam bentuk logika penelitian tetapi melampauinya.
Tahap inilah yang akan dicapai dalam ilmu-ilmu historis-hermeneutis.
Kedua, ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang menurut
Habermas mempunyai kepentingan kognitif-hermeneutis. Ilmu-ilmu
historis-hermeneutis ini tidak sekedar menyelidiki sesuatu atau menghasilkan
sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai manusia yang memiliki sesama dan
hubungan-hubungan sosial aktual dan dinamis. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam di
atas, golongan ilmu kedua ini berusaha mengobyektivikasi pengalaman secara utuh
tanpa reduksi atau pembatasan. Apa yang menjadi bahan studi ilmu-ilmu ini
adalah pengalaman-pengalaman pra-ilmiah, yang berupa pengalaman harian.
Pengalaman-pengalaman tersebut lebih “dialami dari dalam”, sehingga subyek
berpartisispasi dengan obyeknya. Jalan yang ditempuh untuk membangun jenis
pengetahuan ini adalah bukan melalui eksperimen melainkan interpretasi atas
konfigurasi pemahaman makna dalam teks.
Tujuannya, untuk menemukan pengertian dan pemahaman
secara luas dan mendalam akan persoalan yang menjadi bidang hidup atau konteks
hidupnya. Subyek dalam hal ini berusaha memahami ekspresi-ekspresi kehidupan
seperti bahasa tindakan dan bahasa sehari-hari. Konsekuensinya, pengujian hipotesis
harus digantikan dengan penafsiran teks. Akhirnya, hubungan antara subyek-obyek
digantikan dengan subyek-subyek (intersubyektif).
Penegasan Sosio-epistemologi terhadap sifat historis
manusia memperlihatkan adanya daya misteri atau daya perkembangan obyek manusia
yang diselidiki. Hasil yang diperoleh dari ilmu-ilmu hitoris-hermeneutis ini
adalah kemampuan komunikasi, saling pengertian, dan saling memahami. Tegasnya,
hermeneutika berfungsi untuk menghindari bahaya kemacetan komunikasi
intersubyektif, serta kemacetan komunikasi di dalam sejarah hidup individu
maupun tradisi sosial tempat ia hidup. Melalui hermeneutik dapat dipertautkan
antara tradisi-tradisi yang berbeda-beda dari para individu, kelompok, atau
kebudayaan.
Jelas terlihat bahwa, pemahaman hermeneutis ini pun
dibimbing atau diarahkan oleh suatu kepentingan manusiawi juga. Kepentingan
manusiawi ini mengarahkan subyek pengetahuan pada kesadaran tentang dimensi
sosial di dalam pengetahuannya itu sendiri. Kepentingan itu adalah kepentingan konstitutif
bagi pengetahuan yang menentukan syarat-syarat obyektivitas bagi pengetahuan.
Akibatnya, kepentingan tersebut hendaknya selalu mengarahkan tindakan pemahaman
ke dalam tingkah-laku praksis dalam bentuk tindakan-tindakan komunikatif.
Ketiga, ilmu-ilmu kritis yang mempunyai kepentingan
emansipatoris. Melalui bantuan psikoanalisa dan kritik ideologi, ilmu-ilmu
kritis berusaha membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada otonomi
dirinya sendiri. Pemikiran kedua kelompok ilmu sebelumnya menunjukkan bahwa,
tidak ada keterkaitan langsung antara tindakan mengetahui dan penggunaan
pengetahuan yang dihasilkannya. Tuntutan kedua bentuk pengetahuan tersebut
adalah untuk mencapai taraf teoretis murni yang didasari oleh usaha rasio
sendiri untuk membebaskan diri dari kondisi-kondisi empiris yang berubah-ubah.
Ia mengemukakan bentuk pengetahuan yang ketiga yang mau tidak mau mengaitkan
pengetahuan atau teori dengan kepentingan praktis secara langsung, yaitu,
“refleksi diri”. Jelasnya, bila dibandingkan dengan kedua kepentingan yang
lain, kepentingan emansipatoris bersifat derivatif dan mendasari semua jenis
ilmu.
Skema pemikiran Sosio-epistemologi Habermas, akhirnya,
memperlihatkan bahwa jika direfleksikan kedua bentuk pengetahuan ilmiah yang
dibimbing oleh kepentingan teknis dan praktis maka akan disadari bahwa keduanya
dihasilkan oleh rasio yang bertujuan membebaskan diri dari kendala-kendala
alami dan kendala-kendala interaksi sosial. Artinya, kepentingan teknis atau
praktis diasalkan dari kepentingan emansipatoris. Ketika pernyataan-pernyataan
teoretis yang dihasilkan, kedua kepentingan itu membeku menjadi ideologi,
kepentingan emansipatoris membimbing refleksi diri untuk menghancurkan
dogmatisme dan ideologi dalam berbagai perwujudannya. Baginya, dogmatisme
adalah kesadaran yang tidak direfleksikan atau kesadaran yang tidak disadari.
Marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu atau ideologi. Orang yang berada dalam
kungkungan dogmatisme tidak akan mampu menghimpunkan kekuatannya untuk
melakukan “refleksi-diri”, bahkan ia membuat dirinya sendiri sebagai benda.
Melalui langkah pengintegrasian psikoanalisis ke dalam
Teori Kritis-nya, Habermas bermaksud menjelaskan bahwa “refleksi diri” menjadi
kegiatan kognitif atau kegiatan ilmu dan teknologi. Refleksi diri membebaskan
subyek dari jerat ketergantungan pada kekuatan-kekuatan yang sudah
dihipotesiskan dan berlaku umum. Bagi Habermas, proses tersebut dikondisikan
oleh suatu kepentingan emansipatoris. Bentuk pengetahuan ini erat kaitannya
dengan proses pembentukan diri manusia sebagai individu maupun lewat
kebersamaannya dalam suatu komunitas. Fichte menjelaskan bahwa semua bentuk
pengetahuan secara hakiki mengandaikan kebutuhan akan kebebasan. Kebebasan
itulah yang seterusnya memungkinkan manusia mencapai otonomi dan tanggung
jawab. Artinya, semua bentuk pengetahuan didorong oleh kepentingan emansiptoris
dan tanggung jawab secara luas dan mendasar.
Skema Sosio-epistemologi tersebut memperlihatkan adanya
tindakan rasio yang menyebabkan ego membebaskan diri dari dogmatisme atau
kesadaran palsu. Tindakan rasio itulah yang disebut sebagai “refleksi-diri”.
Melalui refleksi diri, ego menjadi transparan terhadap dirinya sendiri dan
terhadap asal-usul kesadarannya sendiri. Akhirnya, melalui skema pemikiran
Sosio-epistemologi ini terlihat suatu pertautan dialektis antara refleksi diri
dan tindakan emansipatif atau praksis. Artinya, di dalam kegiatan refleksi
sebagai suatu kegiatan kognitif, orang sebagai ego tidak hanya memiliki
kesadaran baru tentang dirinya sendiri, melainkan kesadaran baru itu juga terus
mengubah hidup eksistensialnya sendiri. Kenyataan tersebut, bagi Habermas,
merupakan tindakan emansipatoris. Alasannya, bahwa di dalam refleksi diri maka
kesadaran dan tindakan emansipatoris benar-benar menyatu. Rasio itu sendiri
secara langsung menjadi praksis di dalam refleksi diri sebagai kegiatan
kognitif manusia.
Habermas, dalam hal ini, menjelaskan bahwa refleksi-diri
adalah intuisi sekaligus emansipasi, pemahaman sekaligus pembebasan dari
belenggu dogmatis (Habermas 1972:208). “Refleksi-diri” adalah kegiatan kognitif
yang memuat kekuatan emansipatoris. Kegiatan tersebut di dorong oleh
kepentingan yang melekat di dalam rasio manusia itu sendiri, yakni kepentingan
emansipatoris. Akhirnya, tindakan emansipatoris, mendahului refleksi-diri
sebagaimana kepentingan itu merealisasikan dirinya di dalam kekuatan emansipasi
yang dihasilkan melalui refleksi-diri”. Habermas (1972: 209,314) secara tegas
mengatakan bahwa sebenarnya: “Dalam kekuatan refleksi-diri, pengetahuan atau ilmu
dan kepentingan adalah satu”. Penegasannya ini menunjukkan bahwa, kepentingan
emansipatoris yang membimbing rafleksi-diri ini bersifat konstitutif baik bagi
ilmu, pengetahuan maupun bagi praksis. Praksis sosial dalam pandangan Habermas
dapat diwujudkan di dalam dua hal yaitu, kerja dan komunikasi. Inti kedua hal
tersebut adalah pada pembebasan manusia secara total dan kedewasaan dalam
bertanggungjawab. Singkatnya, Habermas bermaksud menjelaskan bahwa kepentingan
teknis dan kepentingan praktis kegiatan-kegiatan kognitif itu berakar pada
kepentingan rasio itu sendiri, yaitu kepentingan emansipatoris.
(4). Komunikasi Rasional (Habermas 1992:314-326).
Habermas berusaha mengatasi kebuntuan pemahaman para pendahulunya mengenai
konsep rasionaliasasi yang bersifat timpang. Misalnya, Max Weber (penganut
Teori Tradisional) yang memahami Rasionalisasi secara empiris sehingga telah
menempatkan rasio sebagai proses tindakan-tindakan bertujuan yang berlaku
normatif (umum). Kecenderungan yang sama terdapat pula dalam pemikiran Herbert
Marcuse (penganut Teori Kritis) yang hanya membatasi pandangan kritisnya atas
rasionalisasi teknologis. Bagi Habermas, pemikiran-pemikiran mengenai
rasionalisasi di atas bersifat timpang karena cenderung dilepaskan dari
konteksnya yang sesungguhnya, yaitu interaksi atau komunikasi. Menurutnya,
letak watak “ideologis” dan “teknokratis” rasionalisasi justru pada pengabaian
aspek interaksi atau aspek praksis-nya. Pengabaian dimaksud, akhirnya, telah
menjerumuskan rasio pada sebuah kesadaran yang hanya bersifat teknokratis,
ideologis dan birokratis. Habermas menunjukkan bahwa kebekuan dan kebuntuan
konsep rasionalisasi tersebut harus diatasi dengan menunjukkan pada potensi
komunikasi dari rasio itu sendiri.
Menurutnya, sejarah manusia adalah sejarah yang menuju
kepada masyarakat yang semakin rasional. Masyarakat rasional tersebut
menentukan diri melalui komunikasi argumentasi dan pembebasan diri secara total
dan radikal diri dari kekuasaan atau kenikmatan rasio teknologis.. Ciri
rasionalitas itu lah yang semakin mematangkan eksistensi mereka sebagai
masyarakat rasional modern. Masyarakat rasional, bukan bersifat pesimistik,
sebab selalu berusaha mengatasi dan melampaui realitasnya dengan mengangkatnya
pada taraf kehidupan yang lebih memadai melalui komunikasi rasional
intersubyektif yang mengarah pada praksis. Masyarakat rasional itulah yang
merupakan realisasi sejati dari cita-cita pencerahan.
Struktur rasionalitas masyarakat yang
terinstitusionalisasi lewat kebudayaan yang merupakan proses-proses belajar
masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi. Jadi, evolusi sosial dan proses
belajar masyarakat memiliki fungsi perintis dalam pengembangan kehidupan
masyarakat rasional. Proses tersebut akan semakin terbuka untuk meneropong
bahaya perbudakan irrasionalitas yang bersembunyi di balik pluralisme dan
toleransi dangkal yang sama besarnya dan jauh lebih tajam. Kenyataan seperti
itulah yang dinyatakan di dalam orientasi pemikiran yang secara sistematis
berusaha membentuk “kesadaran palsu” individual yang anarkhis, menghendaki
perbedaan, primordialis, dan anti-sistem, namun akhirnya, mengarah pada
pengingkatan stabilitas sistem kekuasaan dan memperkuat struktur-struktur
kekuasaan yang represif (bdk. Johnsos. 1990:1670).
Habermas menolak postulat Ilmu bebas nilai (Habermas
1972:302-304). Menurutnya, postulat demikian pada dasarnya berakar dalam
pendekatan positivistik untuk menentukan obyektivitas keilmuannya yang bersifat
murni. “Positivisme” hanya mau membatasi pengetahuan atau ilmu pada fakta, yang
berarti bahwa ilmu, termasuk ilmu-ilmu sosial harus bersifat netral dalam arti
harus bebas nilai. Tuntutan penolakan yang sama berlaku juga terhadap Empirisme
Logis atau Positivisme Logis yang menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan
tentang realitas, termasuk pernyataan-pernyataan ilmu fisika harus dapat
dikontrol atau dibuktikan (diverifikasikan) dengan pengamatan-pengamatan
empiris yang sifatnya atomistis.
Bagi Positivisme Logis, ilmu hanya mungkin dalam bidang
pengertian, tetapi pengertian hanya mungkin tentang fakta sebab fakta adalah
obyek pengertian yang pasti. Akibatnya, ilmu pengetahuan selalu harus mengenai
fakta. Meskipun demikian, fakta bukanlah obyek keputusan melainkan obyek
pengamatan. Pendeknya, ilmu pengetahuan harus membebaskan diri dari keputusan-keputusan
penilaian dan membatasi diri pada pengamatan dan sistematisasinya.
Habermas menjelaskan bahwa pernyataan-pernyataan
teoretis ilmu-ilmu alam (positivis) tidak dikontrol dengan pengamatan,
melainkan melalui pernyataan-pernyataan tentang pengamatan. Hal tersebut
dilakukan dengan apa yang disebut “kalimat protokol” atau “kalimat basis”,
yaitu kalimat yang memuat pernyataan tentang suatu pengamatan empiris
sederhana.
Disebut kalimat basis karena menurut anggapan kaum
Positivis Logis kalimat basis merupakan batu bangunan paling dasariah bagi
suatu teori ilmiah. Sementara disebut “kalimat protokol” karena isinya
merupakan laporan tentang suatu pengamatan sederhana (Magnis Suseno 1992:197).
Menurut Habermas, kedua penyataan tersebut tidak dapat dilepaskan dari suatu
“duduk perkara”, yaitu apa yang diungkapkan atau dinyatakan dalam suatu
pernyataan. Kenyataan tersebut oleh Habermas disebut sebagai “lingkaran”.
Akibatnya, tuntutan-tuntutan keilmuan bertolak dari sesuatu yang tampak
kontradiktif. Justru itu, kepastian yang sesungguhnya mengenai hal tersebut
harus diperoleh melalui konsensus. Akhirnya, keabsahan empiris kalimat-kalimat
basis harus mengacu sepenuhnya pada kriteria yang diterima bersama
antarkelompok pekerja yang berhubungan secara intersubyektif.
Menurut Habermas kriteria konsensus yang sama berlaku
pula pada keabsahan hipotetis-hipotesis maupun hukum-hukum, dan teori ilmu
empiris secara menyeluruh. Kesepakatan itu bukanlah suatu kebetulan yang
terjadi di ruang kosong yang tidak rasional, melainkan dalam suatu
prapengertian normatif yang mengarah pada kriteria “sukses dalam bertindak”.
Kesepakatan atas kriteria tersebut selalu terintegrasi dalam proses pekerjaan
manusia yang dilembagakan oleh masyarakat dalam mempertahankan kehidupan mereka
yang terancam.
Jelasnya, melalui kesepakatan itu, keabsahan
kalimat-kalimat basis dapat dijelaskan secara rasional melalui pendekatan
hermeneutis. Melalui hermeneutika atau penafsiran kritis atas kelimat-kalimat
tersebut maka, akhirnya, dapat dilihat adanya kesinambungan yang begitu
mendalam dengan kehidupan manusia. Akhirnya, proses penelitian pun dijalankan
di bawah norma-norma “kepentingan fundamental” akan pemeliharaan kehidupan
melalui kepentingan teknis. Praktisnya, terlihat bahwa ilmu-ilmu alam yang teoretis
murni pun sejak awal titik tolaknya sudah ditentukan secara normatif oleh
nilai-nilai tertentu. Penentuan tersebut berlangung baik secara metodis maupun
secara motivasional.
Habermas menyikapi postulat kebebasan nilai sebagai
ilusi yang berbahaya. Setiap ramalan ilmiah dalam bentuk rekomendasi teknisnya
harus membutuhkan interpretasi agar cocok untuk diterapkan di dalam situasi
konkritnya. Kenyataan tersebut disebabkan oleh adanya realitas kemasyarakatan
yang sama sekali tidak dapat ditangkap dalam kerangka peristilahan, melainkan
harus dimengerti sebagai totalitas unsur-unsur yang saling bertautan. Analisis
sosial, dalam hal ini, tidak bersifat bebas nilai tetapi justru bertaut nilai.
Alasannya, karena analisis tersebut harus memperhatikan hubungan dengan aneka
kepentingan yang mendasarinya.
Jelasnya, postulat bebas nilai harus ditolak. Ilmu yang
dikatakan bebas nilai pun sebenarnya ditentukan secara normatif oleh suatu
kepentingan teknis. Keputusan-keputusan normatif yang secara keliru dianggap irrasional
pun dapat saja dijelaskan secara rasional. Akhirnya, terdapat kesan yang kuat
bahwa tuntutan pengetahuan bebas nilai memiliki tendensi ideologis. Kritik atas
postulat bebas nilai hendak membongkar selubung-selubung ideologis yang berada
di balik tuntutan-tuntutan keilmuan yang kekuasaannya menghalang-halangi
emansipasi.
(5). Kritik ideologi dan kritik ilmu. Habermas melakukan
eksplorasi kritis atas tuntutan-tuntutan ideologi dan ilmu, yang disebutnya
sebagai “Kritik ideologi” dan “Kritik ilmu”. Kritik atas kedua tuntutan
tersebut dilakukan melalui kritik pengetahuan (Habermas 1972:308-317).
Menurut Habermas, pengetahuan, ilmu, dan ideologi
merupakan tiga hal yang saling bertautan. Ketiganya terkait pada praksis
kehidupan sosial manusia. Pengetahuan merupakan aktivitas, proses, kemampuan,
dan bentuk kesadaran manusiawi. Ilmu (Wissenschaft) merupakan salah satu bentuk
pengetahuan yang direfleksikan secara metodis. Jelasnya, pengetahuan dan ilmu
dapat menjadi ideologi bila keduanya membeku menjadi kesadaran palsu atau
delusi yang merintangi praksis sosial manusia untuk merealisasikan kebenaran,
kebahagiaan, dan kebebasan.
Kritik “Soio-epistemologi” atas sifat ideologis ilmu
atau pengetahuan bertujuan untuk mengembalikan refleksi atas ilmu pada refleksi
atas pengetahuan. Melalui refleksi demikian itulah diperlihatkan bahwa
ilmu-ilmu tidak dapat dipersatukan dalam sebuah metodologi karena masing-masing
memiliki kemungkinan kondisi atau syarat yang berbeda-beda. Prinsipnya,
syarat-syarat yang memungkinkan bagi pengetahuan dan praksis terletak pada
kepentingan-kepentingan yang mengarahkan pengetahuan tersebut.
Pertama, manusia sebagai spesies memiliki kepentingan
teknis untuk mengontrol lingkungan eksternalnya melalui perantaraan kerja.
Kepentingan tersebut mewujudkan dirinya di dalam pengetahuan informatif yang
secara metodis disistematisasikan menjadi ilmu-ilmu empiris analitis. Kedua,
manusia sebagai spesies memiliki kepentingan praktis untuk menjalin saling
pemahaman timbal-balik melalui perantaraan bahasa. Kepentingan tersebut
mewujudkan dirinya di dalam pengetahuan interpretatif yang disistematisasikan
secara metodis menjadi ilmu-ilmu historis-hermeneutis.
Ketiga, manusia sebagai spesies memiliki kepentingan
emansipatoris untuk membebaskan diri dari hambatan-hambatan ideologis. Jenis
kepentingan dimaksud mewujudkan diri dalam pengetahuan analitis yang
disistematisasikan secara metodis menjadi ilmu-ilmu sosial yang kritis atau
kritik ideologi.
Melalui kritik Sosio-epistemologi yang bersifat
transenden-pragmatis itu, Habermas telah menyegarkan kembali epistemologi
transendental Immanuel Kant dan para penerusnya serta mengintegrasikannya ke
dalam logika ilmu modern. Ketiga kepentingan kognitif tersebut menjadi dasar
yang bersifat kuasi-transendental bagi model ilmu pengetahuan modern. Habermas
menegaskan bahwa ketiga kepentingan itu tidak bersifat saling mengecualikan,
bahkan tidak dapat direduksikan satu sama lain. Kecenderungan tersebut hanya
dapat melahirkan sebuah sistem kesatuan ilmu yang bersifat ideologis. Ilmu-ilmu
empiris-analitis dan historis-hermeneutis harus dibedakan satu sama lain
berdasarkan tiga ciri yang secara mendasar berbeda.
Pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis (ilmu-ilmu alam)
memiliki obyek yang dapat diobyektivikasikan sepenuhnya berdasarkan hubungan
subyek-obyek. Selanjutnya, ilmu-ilmu historis-hermeneutis (ilmu sejarah,
bahasa, etika atau ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan) meskipun pada taraf
tertentu mengobyektifkan, namun tidak dapat sepenuhnya mengobyektivikasi
obyeknya.
Kedua, ilmu-ilmu alam tersebut harus mengandaikan bahwa
keteraturan alam hanyalah merupakan hukum yang mengatur obyek-obyek alamiah
atas dasar keniscayaan sebab-akibat, bukanlah norma moral yang boleh atau tidak
boleh diikuti secara teologis. Akibatnya, ilmu-ilmu alam tersebut harus
menentukan hipotesis-hipotesis dan hukum-hukum atas alam secara eksternal dan
keduanya dapat difalsifikasikan. Sebaliknya, ilmu-ilmu historis-hermeneutis
tidak dapat membatasi diri pada hipotesis-hipotesis yang ditentukan secara
eksternal atau difalsifikasikan lepas dari komunikasi. Bagi Habermas,
penelitian sosial memuat baik keterlibatan maupun distansi atau pembatasan diri
dalam komunikasi. Melalui itu, peneliti harus memahami permainan bahasa, dan
kemudian merumuskannya dalam teori. Prinsipnya, kedua hal itu berlangsung
timbal-balik dalam kerangka komunikatif.
Ketiga, ilmu-ilmu empiris-analitis tidak menghadapi
sejarah yang tidak terulangi, sementara ilmu-ilmu historis-hermeneutis
menghadapi sejarah yang tidak dapat diprediksi secara nomologi (hukum). Menurut
Habermas, di sinilah letak kekeliruan Positivisme yang telah menerapkan
metodologi ilmu-ilmu empiris-analitis pada ilmu-ilmu historis-hermeneutis.
Akibatnya, munculnya kecenderungan yang begitu kuat untuk menjuruskan ilmu-ilmu
historis-hermeneutis dengan kepentingan teknis untuk menguasai. Hal tersebut
begitu kuat di dalam pemikiran Marx.
Positivisme, akhirnya, telah mereduksikan bidang
komunikasi pada bidang kerja, sementara bidang kerja pada bidang tindakan
instrumental, dan tindakan instrumental pada teknologi. Reduksi semacam itu
merupakan sebuah kecenderungan ideologis modern yang harus diatasi.
Positivisme sendiri merasa yakin bahwa ilmu-ilmu
empiris-analitis identik dengan pengetahuan yang benar. Kepercayaannya ini
tidak memungkinkan, bahkan, memungkiri adanya refleksi diri. Refleksi diri yang
dihindari dalam ilmu-ilmu empiris-analitis, justru merupakan metodologi bagi
tipe ilmu ketiga, yaitu ilmu-ilmu kritis atau sosisologi kritis (kritik
ideologi). Ilmu-ilmu kritis tersebut tidak memiliki obyek ketiga, melainkan
refleksi epistemologis atas metode, proses, dan hasil kedua tipe ilmu lainnya
sebagai obyeknya, termasuk dirinya sendiri.
Ilmu-ilmu kritis tidak hanya mendeskripsikan norma atau
struktur sosial, melainkan memberi insight atau pencerahan demi proses
pembentukan-diri masyarakat. Sebagai ilmu emansiparoris, ilmu-ilmu kritis
berusaha memperlihatkan watak ideologis hasil-hasil kedua tipe ilmu lainnya
bila keduanya dalam konteks kehidupan masyarakat telah menghambat praksis.
Ilmu-ilmu kritis, dalam hal ini, merupakan kritik ideologis.
Jelasnya, Habermas telah meletakkan sebuah dasar baru
bagi dunia keilmuan yang disebut sebagai sosiologi kritis atau kritik ideologi.
Usaha tersebut dilakukan dengan cara membangun sintesis dialektis antara
kategori antropologis dan epistemologi atas ilmu-ilmu kritis dimaksud.
Menurutnya, hubungan dialektis kedua kategori tersebut bersifat kritis karena
menghubungkan kehendak manusiawi dengan pengetahuan yang berada di antara kutub
empiris dan transendental. Konsep yang mampu menampung hubungan itu adalah
“kepentingan rasio”. Kutub empiris berkaitan dengan kondisi-kondisi
sosio-historis manusia yang konkret sebagai spesies yang bernaluri dan
berkehendak. Selanjutnya, kutub transendent berkaitan dengan pengetahuan yang
normatif. Dunia keilmuan sekaligus bekerja pada dua tataran tersebut secara
bertautan dialektis, manakala pikiran masyarakat membeku pada salah satu kutub.
Menurut Habermas, kebekuan pemikiran dapat terjadi karena subyek tidak menyadari
kepentingan sesungguhnya dari rasio. Kepentingan rasio adalah membebaskan diri
dari alam atau hambatan-hambatan sosial. Kritik ilmu pada tataran ini berusaha
menjernihkan kembali kepentingan emansipatoris melalui dorongan kepentingan itu
sendiri.
Ringkasnya, melalui Habermas, dapat ditunjukkan adanya
sintesis dialektis dalam ilmu, yang tidak hanya diperoleh melalui tindakan
instrumental. Hal ini disebabkan karena di dalam kerjanya, manusia membawa
serta tradisi dan penafsiran-penafsiran simbolisnya atas dunianya. Melalui itu,
terlihat bahwa struktur-struktur interaksi simbolis pun mengarah pada praksis.
Habermas, dalam hal ini menunjukkan bahwa, sifat ideologi tidak berkaitan
dengan kerja melainkan dengan struktur interaksi simbolis yang telah menjadi
kacau susunannya. Ditunjukkan pula bahwa perjuangan kelas dalam ajaran Marx
bukanlah kekuasaan suatu kelas atas kelas lainnya, melainkan sintesis dalam hal
saling pengenalan untuk mengatasi ideologi yang dilawankan dengan dialog.
Pengenalan antarmanusia tersebut tidak diperoleh melalui
paradigma kerja melainkan melalui komunikasi. Demi kememadaian pandangannnya
itu, Habermas berusaha mengintegrasikan pemikirannya dengan psikoanalisa yang
bertautan dengan upaya penyembuhan alam ketidaksadaran dan pengenalan diri yang
mewarnai seluruh proses komunikasi. Proses itu lah yang menyingkirkan
pertentangan dan distorsi yang bersifat sistematis melalui komunikasi
(dialog-emansipatoris)yang menghasilkan insight dan pencerahan.
Seterusnya, kritik ilmu ini menjelaskan bahwa karena
komunikasi terungkap lewat bahasa maka komunikasi yang terselubung sekali pun
dapat dianalisis dengan sarana analisa bahasa atau kritik bahasa. Ditunjukkan
bahwa, justru dewasa ini bahasa telah menggantikan masalah tradisonal mengenai
kesadaran, dan bahkan telah menggantikan kritik transendental atas kesadaran
itu sendiri. Melalui bahasa, orang dapat mengembangkan diri secara utuh di
dalam kompetensi-kompetensi komunikasi yang merekonstruksikan
prasyarat-prasyarat umum bagi komunikasi bebas penguasaan.
Bahasa dalam dunia keilmuan membimbing dan mengarahkan
kompetensi serta perilaku kognitif para subyek dalam ekspresi budaya dan
tanggung jawab secara bertahap menuju kematangan dan kedewasaan hidup. Bahasa,
bahkan, mendorong transformasi dan emansipasi di dalam diri para subyek yang
berkomunikasi. Melalui bahasa, orang mengungkapkan potensi intelektualnya dan
mengkomunikasikannya secara bebas, nyata, dan makin terstruktur di dalam
situasi perbincangan.
Akhirnya, para subyek memiliki kasempatan yang sama
untuk melibatkan diri dalam perbincangan dan mengemukakan transaksi argumentasi
demi persetujuan atau penolakan, penafsiran, dan keterangan tanpa hambatan.
Obyek yang tampaknya bersifat independen selalu dapat dijadikan petanyaan
sebagai obyek pengetahuan yang kemudian diberi arti oleh para subyek. Melalui
itu, terjadi pengungkapan, tanggapan, dan bantahan secara kritis dalam percakan
atau dialog yang makin terstruktur. Proses dialog-emansipatoris tersebut itulah
yang semakin meningkat dan mengarah pada suatu kebenaran sebagai konsensus,
sehingga subyek makin mengalami kematangan. Kebenaran ilmu mesti dicapai bukan
lewat kekuasaan melainkan melalui konsensus-konsensus rasional yang dicapai
para subyek yang berkompeten. Subyek otonom dan berkompetensi rasio komunikatif
inilah yang berperan dalam proses institusionalisasi budaya serta memandu
proses-proses pembelajaran masyarakat pada tataran kehidupan harian yang
sederhana menuju taraf perkembangan yang kompleks.
Nyata lah, obyektivitas ilmu-ilmu historis-hermeneutis
dan ilmu-ilmu empiris-analitis tidak dapat dilepaskan dari konsensus para ahli
yang terlibat di dalam penelitian. Hal itu terlebih lagi dalam
Sosio-epistemologi sebagai bagian dari teori konsensus tentang kebenaran.
Justru karena konsensus diandaikan sebagai dasar obyektivitas kebenaran maka
jenis pengetahuan ini tidak kebal terhadap evaluasi dan perbaikan secara
terus-menerus. Semua persyaratan itu adalah dalam rangka praksis sebagai usaha
mempertautkan pengetahuan dengan kepentingan.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta,
Watloly, A. , 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta
--------------Pikiran Sebagai Tenaga Budaya, (belum diterbitkan).
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta,
Watloly, A. , 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta
--------------Pikiran Sebagai Tenaga Budaya, (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
- jelaskan arti sejarah keilmuan;
- tunjukkan berbagai bentuk pergeseran paradigma keilmuan dalam sejarah keilmuan abad Yunani Kuno.
- berikan penilaian Anda terhadap ciri perkembangan ilmu abad modern;
- tunjukkan berbedaan antara paradigma keilmuan abad modern dengan paradigma keilmuan abad kontemporer.
Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:50
Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-12
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-12
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-12
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A.POKOKBAHASAN:PENGETAHUANDANILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: TANGGUNG JAWAB KEILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: TANGGUNG JAWAB KEILMUAN
C.S tandar Kompetensi: Mahasiswa
memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
D. Kompetensi Dasar: Setelah memperlajari topik ini, Anda diharapkan dapat:
- menjelaskan arti tanggung jawab keilmuan;
- meunjukkan sifat keterbatasan tanggung jawab keilmuan;
- mendeskripsikan bentuk-bentuk tanggung jawab keilmuan;
- menjelaskan arti etika keilmuan;
- menunjukkan hubungan tanggung jawab keilmuan dengan etika keilmuan.
E. Materi:
I. Arti Tanggung Jawab keilmuan.
Aholiab Watloly (2001: 207-221) telah meletakkan
berbagai prinsip dasar dalam hal memahami tanggungjawab pengetahuan dan
keilmuan. Istilah tanggung jawab, secara etimologis menunjuk pada dua sikap
dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu; tanggung dan jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk
lembaga keilmuan, dalam hal ini, wajib menanggung dan wajib menjawab setiap hal
yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri maupun permasalahan-permasalahan yang
tidak disebabkan olehnya. Ilmu, ilmuwan, dan lembaga keilmuan bukan hanya
berdiri di depan tugas keilmuannya untuk mendorong kemajuan ilmu, dalam
percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga harus berdiri di belakang setiap
akibat apa pun yang dibuat oleh ilmu, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Ilmu dalam ilmuwan, termasuk lembaga keilmuan, tidak dapat mencuci
tangan dan melarikan diri dari tanggung jawab keilmuannya.
Tanggung jawab mengandung makna penyebab (kausalitas),
dalam arti "bertanggung jawab atas". Tanggung jawab dalam arti
demikian berarti; apa yang harus ditanggung. Subyek yang menyebabkan dapat
diminta pertanggungjawabannya, meskipun permasalahan - permasalahan tersebut
tidak disebabkan oleh ilmu atau ilmuwan itu sendiri. Aspek tanggung jawab
sebagai sekap dasar keilmuan, dengan ini, telah menjadi satu dalam kehidupan
keilmuan itu sendiri dan sulit dipisahkan. Tanggung jawab keilmuan, tidak dapat
dilepaspisahkan dari perkembangan pengetahuan maupun keilmuan dari abad ke
abad.
Berbicara mengenai tanggung jawab keilmuan, adalah
sesuatu hal yang secara tidak langsung mengenai tanggung jawab manusia, dalam
hal ini, ilmuwan yang; mencari, mempraktikkan, dan menerapkan, atau menggunakan
ilmu atau pengetahuan tersebut dalam kehidupan. Maksudnya, ilmu sebagai bagian
dari kebijaksanaan manusia dengan segala usaha sadar yang dilakukan untuk
memanusiakan diri dan lingkungannya, tidak dapat dipisahkan dari aspek tanggung
jawab dimaksud. Ilmu dan ilmuwan, sebagai seorang anak manusia, karenanya,
wajib menanggung setiap akibat apa pun yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri,
baik dari sisi teoretisnya maupun sisi praktiknya. Ilmu dan ilmuwan juga wajib
menjawab dalam arti merespons dan memecahkan setiap masalah yang diakibatkan
oleh ilmu maupun yang tidak disebabkan oleh ilmu itu sendiri. Tanggung jawab
keilmuan, dalam ini, bukan merupakan beban atau kuk, tetapi merupakan ciri
martabat keilmuan dan ilmuwan itu sendiri. Konsekuensinya, semakin tinggi ilmu
maka semakin tinggi dan besar tanggung jawab yang diemban oleh ilmu, ilmuwan
dan lembaga keilmuan itu sendiri.
Kadang-kadang, tanggung jawab keilmuan tidak disebabkan
oleh ilmu itu sendiri, misalnya; dalam hal menyelesaikan setiap persoalan
kemanusiaan, seperti; bencana alam, keadaan alam yang kritis, konflik sosial,
dan sebagainya. Tanggung jawab keilmuan bukan saja dalam arti yang normative,
misalnya berkaitan dengan aspek moral yang bersifat legalistik saja, tetapi
mencakup aspek yang lebih luas. Misalnya, tanggung jawab keilmuan dalam
menyelasaikan berbagai bentuk akibat perubahan sosial yang berdampak terhadap
tatanan moral masyarakat. Jadi, tanggungjawab keilmuan juga memilki arti,
mendudukkan manusia pada kedudukan martabat dirinya, sehingga di satu sisi
tidak diperalat oleh ilmu dan ilmuwan demi mencapai prestise dan supremasi
ilmu, atau di sisi lain, tidak tergilas oleh kebodohan dan kemelaratan hidup
karena lingkaran setan ketidaktahuan yang melilit dirinya.
Di sisi lain, tanggung jawab keilmuan mesti di dasarkan
pada keputusan bebas manusia, sehingga melalui tanggung jawan keilmuan maka
ilmu, ilmuwan, manusia serta masyarakat dibebaskan atau dijernihkan dari
berbagai pengaruh emosional, sikap curiga, dendam, buruk sangka, dan berbagai
sikap irasional. Konsekuensinya, tanggung jawab keilmuan harus terus mengalir
dari dalam lautan luas tindakan manusia (ilmuwan) yang bertanggung jawab.
Tanggung jawab keilmuan menyangkut, baik masa lalu, masa
kini, maupun masa depan. Alasannya, karena penanganan ilmu atas realitas selalu
cenderung berat sebelah. Kenyataan tersebut telah banyak berpengaruh terhadap
gangguan keseimbangan kosmos (alam) seperti; pembasmian kimiawi dari hama tanaman, sistem
pengairan, keseimbangan jumlah penduduk, dan sebaginya. Juga, hal itu
menyangkut gangguan terhadap tatanan sosial dan keseimbangan sosial. Artinya,
ilmu lah yang telah mengemukakan bahwa tatanan alam dan masyarakat harus diubah
dan dikembangkan maka ilmu pula lah yang bertanggung jawab menjaganya agar
dapat diubah dan dikembangkan dalam sebuah tatanan yang baik, demi konseistensi
kehidupan, regulasi historis, dan keberlanjutan ekologis.
Tanggung jawab keilmuan mana didasarkan pada kesadaran
bahwa ilmu selalu merupakan sesuatu yang sifatnya masih belum rampung. Artinya,
upaya keilmuan tidak dapat meniadakan tanggung jawabnya yang lama, tetapi
selalu menampilkannya dalam kesegaran tanggung jawab yang selalu baru. Jadi,
ilmuan harus terbuka pada tanggung jawabnya yang baru walaupun hal itu tidak
pernah dialami oleh pendahulunya.
II. Sifat Keterbatasan Tanggung jawab
Keilmuan.
Salah satu ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu
adalah sifat keterbatasan. Tanggung jawab keilmuan memiliki sifat keterbatasan,
dalam arti bahwa, tanggung jawab itu sendiri tidak diasalkan atau diadakan
sendiri oleh ilmu dan ilmuwan sebagai manusia, tetapi merupakan pemberian
kodrat. Sebagaimana manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, tetapi
menerimanya sebagai pemberian kodrat maka demikian pula halnya ia tidak dapat
menciptakan tanggung jawab. Manusia hanya menerima dirinya dan tanggung
jawabnya, serta menjalaninya sebagai sebuah panggilan kodrati dan tunduk
padanya.
Konsekuensinya, ilmuwan sebagai manusia tidak
bertanggung jawab atas tanggung jawab keilmuannya, sebab manusia tidak dapat
dimintai pertanggung jawaban atas kenyataan mengapa ia bertanggung jawab, sebab
hal itu merupakan tugas yang diterima dan dijalani atas dasar pemberian
kodratnya. Manusia tidak bertanggung jawab pada tanggung jawab, tetapi ia
menerima tanggung jawab itu sebagaimana adanya, dan menjalaninya dengan segala
keterbatasannnya. Ilmuwan sebagai manusia, menjalani tanggung jawab keilmuannya
dengan segala keterbatasannya, baik secara natural, kodrati, maupun dari
keterbatasan keilmuannya sendiri. Pandangan tersebut hendak menegaskan, betapa
pentingnya bagi seorang ilmuwan memiliki suatu "kepekaan besar" untuk
membaca dan menjalankan tanggung jawab keilmuannya itu secara baik, dan tidak
boleh memandang dirinya serba bisa, serba oke, dan serba benar.
III. Bentuk-bentuk Tanggung jawab
Keilmuan.
1. Tanggung jawab sosial. Ilmu bukan saja bersifat
sosial, tetapi membutuhkan tanggungjawab sosial, karena melalui suasana sosial
itu ilmu dapat bertumbuh subur secara efektif dan bertambah luas. Aneka kasus
sosial dalam masyarakat membutuhkan penanganan dan penyelesaian secara
keilmuan. Ilmuwan dengan kemampuan pengetahuannya yang cukup, dapat memberi
argumentasi, kajian kritis, dan membangun opini masyarakat mengenai
permasalahan kehidupan yang dihadapi. Misalnya, penganggulangan kemiskinan, penyakit,
atau masalah nilai-nilai sosial dalam pembangunan sehingga masyarakat tidak
tercabut dari akar kehidupan sosialnya yang khas. Ilmu dan ilmuan bertanggung
jawab dalam hal memberikan prediksi atau ramalan serta peringatan dinih
mengenai permasalahan yang akan dihadapi masyarakat, baik yang nyata (manifest)
maupun tersembunyi (laten) atau yang bersifat gejala. Misalnya, dalam melakukan
resolusi konflik dan membangun manajemen perdamaian guna mewujudkan ciri
masyarakat yang mampu mencegah dan mengatasi konflik serta membangun sistem
kedamian yang langgeng guna mmemperlancar pembangunan dalam mewujudkan
masysrakat yang berkesejahteraan.
Ilmuwan, dengan latar belakang pengetahuannya yang
cukup, harus bertanggung jawab untuk menyampaikan ilmu atau pengetahuannya
secara proporsional kepada masyarakat dalam bahasa yang dapat mereka terima.
Tanggung jawab sosial keilmuan tersebut adalah penting, baik dalam rangka
mengusahakan kebenaran ilmu maupun baik dari segi untung -rugi, baik-buruk, dan
lain sebagainya. Dengannya, dapat dimungkinkan penyelesaian yang obyektif
terhadap setiap permasalahan sosial yang terjadi. Ilmu dan ilmuwan memiliki
tanggung jawab sosial, bukan sekedar karena ilmuan adalah anggota masyarakat
dan terlibat langsung dalam kepentingan sosial kemasyarakatan, tetapi ilmu
secara hakiki memiliki fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.
Ilmu, meskipun merupakan hasil kekiatan individual, namun dikomunikasikan dan
dikaji secara terbuka oleh masyarakat.
2. Tanggung jawab keteladanan. Ilmu dan ilmuwan bukan
saja mengandaikan kebenaran keilmuan sebatas sebuah jalan pemikiran dengan
pesona logika dan ketajaman analisisnya, namun juga bertanggung jawab
menunjukkan atau mempraktikkan kebenaran keilmuannya di dalam kehidupan
sosialnya yang luas dan mendalam. Ilmu bukan hanya menyajikan sebuah kebenaran
informasi, namun memberikan keteladanan hidup yang ditunjukkan oleh ilmuwannya.
Ilmuwan harus berdiri di depan kebenaran-kebenaran keilmuannya selaku proto
tipe kebenaran yang sesungguhnya, juga berada di belakang kebvenaran-kebenaran
keilmuannya untuk menunjukkan tanggung jawabnya atas segala akibat sosial
maupun ekologis yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri. Menghadapi situasi
kemasyarakatan kita di mana terdapat kecenderungan untuk memanipulasi dan
menghambat kebenaran nilai sehingga banyak mengakibatkan adanya kegoncangan
nilai maka ilmuan harus tampil ke depan untuk memberi argumentasi, kajian
kritis, serta membangun opini yang obyektif dan proporsional terhadap setiap
permasalahan sosial yang terjadi. Pengetahuan yang dimilikinya, merupakan
kekuatan yang akan membuat ilmuwan menjadi berani (bahkan berani tampil sebagai
martir seperti Socrates) dalam membela nilai-nilai kebenaran yang dijamin dan
diyakini dalam ilmu.
Kelebihan ilmuwan adalah bahwa ia dapat berpikir secara
cermat dan teratur sehingga dengan kemampuan inilia, ia sekaligus memiliki
tanggung jawab untuk memperbaiki dan meluruskan pikiran masyarakat yang sesat
dan keliru menganai permasalahan yang dihadapi. Dengannya, masyarakat tidak
terjebak dalam lingkaran setan kepicikan yang membenarkan aneka prasangka,
sesat pikir, atau keliru pikir yang cenderung menumbuhkan atau melanggengkan
sikap saling curiga dan dendam. Melalui itu, masyarakat dapat dicerdaskan
sehingga mampu menangkal setiap upaya provokasi yang memperalat dan memperbudak
kekuarangan atau ketidaktahuannya demi keuntungan-keuntungan yang bias.
3. Sikap tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih, berhubungan
dengan kepentingan hati nurani manusia dalam tugas keilmuan. Maksudnya, sikap
ranpa pamrih menunjuk pada keteguhan bathin atau hati, yang tanpa tegoda dengan
imbalan apa pun, untuk memperjuangkan kebenaran keilmuan, baik dalam rangka
kepentingan teori maupun praktis. Intinya, ilmuan harus terbuka pada himbawan
dan seruan hati (bathin) untuk terus mengritik dan membenahi diri dalam rangka
mengatasi berbagai kekurangan serta penyimpangan dalam kegiatan keilmuan. Salah
satu aspek di mana hal itu pasti adalah sifat kritik diri dan menahan diri.
Sikap tanpa pamrih, pertama-tama berhubungan dengan
upaya membimbing diri agar tidak tergesah-gesah dan ceroboh dalam memutuskan
kebenaran atau kepastian keilmu. Tuntutan sikap tanpa pamrih, meskipun
kedengarannya agak bertentangan dengan tuntutan praktis dalam rangka penerapan
keilmuan bagi kepentingan kesejahtreraan manusia, namun secara prinsipial tetap
penting dalam rangka tanggung jawab moral dan sosial keilmuan. Sikap tanpa
pamrih dalam keilmuan juga penting dalam rangka menjernihkan masalah-masalah di
sekitar pandangan hidup manusia. Artinya, bentuk tanggung jawab keilmuan dalam
hal sikap tanpa pamrih tidak hanya berhubungan dengan kepentingan ideologis
keilmuan, tetapi juga tanggung jawab paktis, agar terhindar dari kesalahan dan
penyalahgunaan.
Sikap tanpa pamring dalam keilmuan dibutuhkan dibutuhkan
sebagai jaminan agar penggunaan ilmu, sedapat mungkin, menguntungkan kehidupan
manusia secara memadai, dan tidak sekedar untuk mencapai target tertentu yang
menyimpan dari kepentingan mmanusia secara utuh. Keadaan makin sulit, bila kelompok-kelompok
terntu memanfaatkan ilmu untuk menjaga dan memelihara kepentingannya, sehingga
mengabaikan nilai kebenaran keilmuan demi kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Sikap tanpa pamrih membuat kebenaran ilmu tidak netral
karena kebenaran dan pengabdian ilmu selalu diwarnai oleh adanya intensitas
tujuan dan corak etis tertentu yang mengafirmasikan atau menguatkan seruan
kepentingan kemanusiaan dalam ilmu. Corak etis kegiatan keilmuan sekali-kali
tidak terbatas pada penerapan-penerapan konkret (praktis)-nya, karena ia harus
menjangkau hal-hal yang lebih luas untuk menemukan sikap etis yang tepat.
Melalui sikap demikian, kedudukan manusia dalam pengembangan ilmu atau keilmuan
tetap tidak berubah, walaupun kemanusiaan itu sendiri mengalami
pergeseran-pergeseran yang sifatnya dinamis dalam tanggung jawab keilmuan itu
sendiri.
Sikap tanpa pamrih dalam keilmuan penting pula dalam
rangka mengatasi ketidakdewasaan manusia. Sikap dapat memungkinkan manusia
mengenal keterbatasannya, makin belajar mengenal dan semakin baik menguasai
dirinya sendiri (pikirannya, emosinya, keinginannya, dan sebagainya) dan juga
realitasnya. Sikap tanpa pamrih, di satu sisi menginsyafkan manusia untuk
selalu meletakkan pandangan kritisnya terhadap perkembangan ilmu dan keilmuan.
Di sisi lain, sikap tanpa pamrih juga menginsyafkan manusia tentang betapa
kurang dewasanya manusia dan betapa banyak kemungkinan lagi untuk menjadi lebih
dewasa.
4.Tanggung jawab profesional. Tugas keilmuan menghimbau
pada sebuah tanggung jawab professional yang memadai. Tanggungjawab profesional
keilmuan mengandaikan bahwa seorang ilmuwan harus menjadi ahli dan terampil
dalam bidangnya, jadi bukan sekedar hobi. Tanggung jawab professional keilmuan
mengacu pada bidang keilmuan yang digeluti sebagai panggilan tugas pokok atau
profesi keilmuannya. Tanggung jawab professional menunjuk pula pada penghasilan
atau upah yang diperoleh berdasarkan tingkat kepakaran (pengetahaun dan
ketrampilan) yang dimiliki dalam bidang keilmuannya. Profesional merupakan kata
atau istilah yang umumnya diliputi sebuah citra diri yang berbauh sukses,penuh
percaya diri, berkompeten, bekerja keras, efisien, dan produktif. Tanggung
jawab profesional keilmuan menunjuk pada gambaran diri seseorang berdisiplin,
kerasan, dan sibuk dalam pekerjaan keilmuannya. Disiplin dan kerasan meruapak
sebuah paham yang membedakan secara radikal seorang ilmuwan sejati dengan orang
yang suka malas, santai, dan seenaknya dalam sebuah tugas keilmuan.
Tanggung jawab professional keilmuan menunjuk pula pada
sikap keilmuan yang "tanpa pamrih" serta bersikap tenang, tekun, dan
mantap, dapat menguasai situasi, serta berkepala dingin dalam memperjuangkan
dan mempertahankan kebenaran ilmunya terhadap berbagai gugatan atau sanggahan.
Profesionalisme dalam keilmuan mensugestikan pula bahwa seorang ilmuan adalah
sosok yang bersifat pragmatis dan tidak membiarkan profesinnya untuk
dipengaruhi oleh pandangan -pandangan yang sempit dan sesat. Profesionalisme
dalam keilmuan mengandaikan pula sikap keilmuan yang tidak terpengaruh oleh
hubungan-hubungan primordialistik, ideologi atau oleh masalah keluarga dan
pribadi. Prifesionalisme kilmuan mengandaikan pula sebuah hasil keilmuan yang
berlaku secara universal, artinya dapat diterima secara luas dan umum.
Profesionalisme dalam keilmuan bukan sekedar ketrampilan
yang dapat dipelajari secara terpisah dari kepribadian sang ilmuwab. Bahkan,
profesionalisme dalam keilmuan meliputi seluruh struktur kepribadian sang
ilmuwan. Tentu saja diperlukan keahlian (spesialisasi) dalam mengembangkan profesionalisme
keilmuan. Meskipun keahlian dapat dipelajari dan dilatih, tetapi seorang belum
tentu disebuah professional dalam keilmuannya. Artinya, profesionalisme
keilmuan menunjuk pada kualitas pengetahuan dan kualitas kerja sebagai ilmuwan.
IV. Etika Keilmuan.
1. Arti etika keilmuan. Istilah etika dari bahasa Yunani
etos yang berati baik, berbudaya, atau beradab. Jadi etika keilmuan
mengandaikan adanya tatanan nilai-nilai kebaikan (etis) dalam keilmuan, baik
dalam mengusahakan ilmu maupun dalam menerapkan ilmu bagi kepentingan manusia.
Ilmuan dan keilmuan, karenanya, perlu didasarkan pada sebuah sikap kesadaran
etis yang kuat. Kesadaran etis dalam keilmuan berlangsung , baik muali dari
tahap uapaya pencaharian dan penentuan kebenaran maupun sampai pada tahap
penerapan hasilnya dalam bentuk pembangunan. Ciri etis yang mendasari proses
tersebut merupakan sebuah kategori moral keilmuan yang melandasi sikap etis
seorang ilmuwan. Sikap etis yang demikian bukan saja merupakan sebuah jalan
pemikiran bagi sang ilmuwan, tetapi justru lebih merupakan totalitas jalan
hidupnya, dalam sebuah tanggung jawab keilmuan yang utuh. Etika keilmuan dan
moral keilmuan, meskipun berbeda, karena etika keilmuan mendasari diri pada
sikap kritis da;am melakukan keputusan secara bebas sementara moral keilmuan
mendasari diri pada perintah moral atau kewajiban-kewajiban yang patut diikuti,
namun keduanya memiliki kesamaan dalam hal kemutlakan sikap keilmuan yang tegas
terhadap kebenaran.
Etika keilmuan merupakan sesuatu dorongan kejiwaan yang
nyata-nyata mempengaruhi dan menentukan bagaimana ilmuwan mendekati dan
melakukan kegiatan keilmuannya (memproses kebenaran dan menerapkan kebenaran
keilmuan) secara kritis dan bertanggung jawab. Etika keilmuan, dalam hal ini,
sangat berhubungan dengan semangat dan sikap bathin (kehendak bathin) para
ilmuwan yang bersifat tetap dalam dirinya untuk bersikap; adil, benar, jujur,
bertanggung jawab, setia, dan tahan uji dalam mengembangkan ilmu, baik untuk
kepentingan keilmuan secara luas maupun untuk penerapannya dalam membangun
kehidupan. Jadi, etika keilmuan mengandaikan adanya kehendak bathin yang kuat
sebagai sebuah tuntutan moral yang harus direalisasikan dalam rangka tugas
keilmuan.
Etika keilmuan, sebagai aspek mendasar dalam rangka
keilmuan, menjaungkau hal yang lebih jauh dan mendorong untuk menyelami semakin
dalam kemungkinan-kemungkinan terakhir mengenai hakikat manusia sebagai subyek
maupun obyek dalam keilmuan. Bahkan, etika keilmuan seakan menimbulkan semacam
kesulitan, di mana perkembangan keilmuan dikurung dalam semacam lingkaran
setan. Kondisi tersebut, muncul ketikan ditanyakan mengenai hal keraha mana
ilmu harus diterapkan? Mana penerapa keilmuan yang baik dan mana penerapan yang
kurang baik? Jelas bahwa kriteria etis yang digunakan untuk itu adalah apakan
penerapan tersebut dapat memajukan kesejahteraan hidup manusia atau sebaliknya
membawa ancaman terhadap konsistensi hidup generasi manusia dan ekologisnya?
Artinya, seorang ilmuwan, secara moral tidak akan
membiarkan kebenaran ilmunya atau hasil penelitiannya untuk membunuh dan
menindas sesama manusia dan merusak alam lingkungannya. Kengerian hidup zaman
ini yang kian mencemaskan dengan mencuatnya berbagai kegoncangan kosmik,
terkikisnya lapisan hoson yang memacu meluasnya panas bumi yang kian
mencemaskan, juga kecemasan adanya perang kimia, dan senjata pembasmi masal,
kejahatan biokimia, dan berbagai kenyataan lainnya yang terus menghadirnya
aneka kecemasan mekar dalam kehidupan, menunjukkan betapa dunia keilmuan masih
terus menghadapi dirinya sebagai masalah. Ilmu atau keilmuan, bagaikan pisau
bermata dua, di satu sisi menyenangkan tetapi di sisi lain mencemaskan.
Kenyataan tersebut menegaskan pentingnya etika keilmuan dalam menyiasati
perkembangan keilmuan itu sendiri. Dengannya, ilmu atau keilmuan tetap
dikembangkan pada jalurnya yang sebenarnya. Melalui etika keilmuan, ilmu terus
dikembangkan sebagai prestasi keluhuran manusia yang mampu menyejahterakan
manusia serta membuat manusia menjadi actor bagi kehidupan, tapi di sisi lain, melalui
etika keilmuan manusia (ilmuwan) terus dinasihati dan digembalakan agar tidak
menyelewengkan keilmuan itu sendiri untuk mengancam kemanusiaanya dan
lingkungannya.
Etika keilmuan, pada prinsipnya, hendak mencerminkan
adanya "kebangkitan insani" melalui berbagai kegiatan keilmuan atau
penemuan keilmuan yang pada hakikatnya menunjukkan perkembangan citra keagungan
dan peradaban manusia. Etika keilmuan, dengan demikian, telah mengantisipasi
perkembangan - perkembangan keilmuan di kemudian hari yang mungkin mengubah
kewajiban etis keilmuan, tetapi tidak mengubah nilai-nilia etis keilmuan yang
fundamental mengenai hakikat dan martabat keagungan manusia. Bahwa terdapat
kemungkinan di mana dalam perkembangan keilmuan yang tidak terduga, manusia
(ilmuwan) dapat mengetahui dan memiliki sesuatu yang sudah ditunjukkan dalam
kesadaran eti keilmuannya itu. Kesadaran mana memungkinkan manusia (ilmuwan)
dapat menilai apakah perkembangan keilmuannya dapat membantu mewujudkan
perkembangan manusia secara lebih utuh, walaupun ia sendiri tidak mengenal
persis titik akhir yang sesungguhnya dari perkembangan tersebut.
Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan dunia keilmuan
semakin melangkah maju dengan usaha-usaha efektif guna dapat memerangi
"ketidakberesan" dalam kehidupan, termasuk dalam dunia keilmuan.
Bahkan, sejarah makin menunjukkan pula bahwa perkembangan dunia keilmuan makin
menyingkap adanya orientasi atau arah baru pemikiran untuk makin menyadari akan
keselamatan manusia. Konsekuensinya, penting bagi seorang ilmuwan untuk
memiliki kepekaan yang besar terhadap etika keilmuan untuk mengatasi
konsekuensi-konsekuensi etis dalam dunia keilmuan itu sendiri. Kesadaran etis
mana, di dasarkan pada kenyataan bahwa dialah orang satu-satunya yang
bertanggung jawab sepenuhnya serta patut dimintai pertanggunganjawabannya atas
segala hal yang diakibatkan oleh kemajuan dunia keilmuan, baik terhadap
moralitas manusia, maupun orientasi perilakunya.
goood
BalasHapusklo boleh ada contoh power point nya gak sis?
BalasHapusgood
BalasHapusmakasih materinya sangat bermanfaat.
BalasHapusterima kasih atas materinya
BalasHapusterimakaish...
BalasHapus