BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Klasifikasi dan Fungsi Jalan
Sesuai dengan undang-undang tentang jalan No. 38 tahun 2004
dan menurut peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2006, sistem jaringan jalan di
Indonesia dapat dibedakan sebagai berikut:
A.
Berdasarkan
Kelas Jalan
a.
Kelas
Jalan I
Jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 18000 milimeter, ukuran paling tinggi 4200 milimeter, dan muatan
sumbu terberat 10 ton.
b.
Kelas
Jalan II
Jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat
dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18000 milimeter, ukuran paling tinggi 4200
milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 ton.
c.
Kelas
Jalan III
Jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat
dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2100 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 9000 milimeter, ukuran paling tinggi 3500
milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 ton.
d.
Kelas
Jalan Khusus
Jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan
ukuran lebar tidak melebihi 2500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18000
milimeter, ukuran paling tinggi 4200 milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih
dari 10 ton.
B.
Berdasarkan
Fungsinya.
a.
Jalan
arteri primer, ialah jalan yang menghubungkan kota jenjang ke satu dengan kota
jenjang kedua.
Untuk jalan arteri primer wilayah perkotaan, mengikuti
kriteria sebagai berikut:
1.
Jalan
arteri primer dalam kota merupakan terusan arteri primer luar kota.
2.
Jalan
arteri primer melalui atau menuju kawasan primer.
3.
Jalan
arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam.
4.
Lebar
badan jalan tidak kurang dari 8 meter.
5.
Lalu
lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional. Untuk
itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik dan
lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal.
6.
Kendaraan
angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan menggunakan jalan ini.
7.
Jumlah
jalan masuk dibatasi secara efisien, jarak antara jalan masuk/akses langsung
tidak boleh lebih pendek dari 500 meter.
8.
Persimpangan
diatur dengan pengaturan tertentu, sesuai dengan volume lalu lintasnya.
9.
Mempunyai
kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas harian rata-rata.
10. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih
besar dari fungsi jalan yang lain.
11. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan ini
seharusnya tidak diijinkan.
b.
Jalan
kolektor primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota
jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.
Untuk wilayah perkotaan kriterianya:
1.
Jalan
kolektor primer kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota.
2.
Melalui
atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer.
3.
Dirancang
untuk kecepatan rencana 40 km/jam.
4.
Lebar
badan jalan tidak kurang dari 7 meter.
5.
Jumlah
jalan masuk dibatasi secara efisien dan jarak antaranya lebih dari 400 meter.
6.
Kendaraan
angkutan berat dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini.
7.
Persimpangan
diatur dengan pengaturan tertentu sesuai dengan volume lalu lintasnya.
8.
Kapasitasnya
sama atau lebih besar dari volume lalu lintas harian rata-rata.
9.
Lokasi
parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diijinkan pada jam
sibuk.
10. Besarnya LHR pada umumnya lebih rendah daripada jalan
arteri primer.
c.
Jalan
lokal primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan
persiil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau jenjang ketiga
dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota dibawahnya, atau
jenjang ketiga dengan persil atau kota dibawah jenjang ketiga sampai persil.
Kriteria untuk jalan lokal primer:
1.
Merupakan
terusan jalan lokal primer luar kota.
2.
Melalui
atau menuju kawasan primer atau jalan primer iainnya.
3.
Dirancang
untuk kecepatan rencana 20 km/jam.
4.
Kendaraan
angkutan barang dan bus diijinkan melalui jalan ini.
5.
Lebar
jalan tidak kurang dari 5 meter.
6.
Besarnya
LHR pada umumnya paling rendah pada sistem primer.
Kawasan primer adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi
primer. Fungsi primer adalah fungsi kota
dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai pelayanan jasa bagi kebutuhan
pelayanan kota, dan wilayah pengembangannya.
d. Jalan lingkungan primer, ialah jalan yang menghubungkan
antarpusat kegiatan didalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan
perdesaan. Persyaratan teknisnya
adalah :
1. Jalan
lingkungan primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 15
km/jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 6,5 meter.
2. Persyaratan
teknis jalan lingkungan primer diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda
tiga atau lebih.
3. Jalan
lingkungan primer yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga
atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter.
e.
Jalan
arteri sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan
sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder kedua. Kriteria untuk jalan perkotaan:
1.
Dirancang
berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam.
2.
Lebar
jalan tidak kurang dari 7 meter.
3.
Kendaraan
angkutan barang berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di daerah permukiman.
4.
Lokasi
parkir pada badan jalan dibatasi.
5.
Harus
mempunyai perlengkapan jalan yang cukup.
6.
Besarnya
LHR pada umumnya lebih rendah dari sistem primer.
f. Jalan kolektor sekunder, ialah jalan yang menghubungkan
kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder
kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Persyaratan teknisnya adalah :
1.
Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan
kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 9 meter.
2. Jalan
kolektor sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu
lintas rata-rata.
3. Pada
jalan kolektor sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat.
4. Persimpangan
sebidang pada jalan kolektor sekunder dengan pengaturan tertentu harus memenuhi
ketentuan.
g.
Jalan
lokal sekunder, menghubungkan antar kawasan sekunder ketiga atau dibawahnya dan
kawasan sekunder dengan perumahan. Kriteria untuk daerah perkotaan adalah:
1.
Dirancang
berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam.
2.
Lebar
badan jalan tidak kurang dari 5 meter.
3.
Kendaraan
angkutan barang dan bus tidak diijinkan melalui jalan ini di daerah pemukiman.
4.
Besarnya
LHR umumnya paling rendah dibanding fungsi jalan yang lain.
h. Jalan lingkungan sekunder, ialah jalan
yang menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan. Persyaratan teknisnya adalah :
1.
Jalan lingkungan sekunder didesain berdasarkan
kecepatan rencana paling rendah 10
(sepuluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 6,5 (enam koma lima) meter.
2. Jalan
lingkungan sekunder yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 atau
lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter.
C.
Berdasarkan
Wewenang Pembinaan
a.
Jalan
Nasional, yang termasuk kelompok ini adalah jalan arteri primer, jalan kolektor
primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi dan jalan lain yang mempunyai
nilai strategis terhadap kepentingan nasional. Penerapan status suatu jalan sebagai jalan nasional
dilakukan dengan keputusan Menteri.
b.
Jalan
Propinsi, yang termasuk kelompok jalan propinsi adalah jalan kolektor primer
yang menghubungkan Ibukota Propinsi dengan Ibukota Kabupaten/Kotamadya atau
antar Ibukota Kabupaten/Kotamadya. Penetapan suatu jalan sebagai jalan propinsi
dilakukan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri atas usulan Pemda Tingkat I
yang bersangkutan, dengan memperhatikan pendapat Menteri.
c.
Jalan
Kabupaten, yang termasuk kelompok jalan Kabupaten adalah kolektor primer yang
tidak termasuk jalan nasional dan jalan propinsi, jalan lokasi primer, jalan
sekunder dan jalan lain yang tidak termasuk dalam kelompok jalan nasional atau
jalan propinsi serta jalan kotamadya. Penetapan status suatu jalan sebagai
jalan kabupaten dilakukan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
atas usul Pemda Tingkat II yang bersangkutan.
d.
Jalan
Kotamadya, yang termasuk kelompok jalan Kotamadya adalah jalan sekunder di
dalam kotamadya. Penetapan status suatu ruas jalan arteri sekunder dan atau
ruas jalan kolektor sekunder sebagai jalan Kotamadya dilakukan dengan keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usulan Pemda Kotamadya yang bersangkutan.
e.
Jalan
Tol, adalah jalan yang dibangun dimana kepemilikan dan penyelenggaraannya ada
pada pemerintah atas usul Menteri, Presiden menetapkan suatu ruas jalan tol dan
haruslah merupakan alternatif lintas jalan yang ada. Jalan tol harus mempunyai
spesifikasi yang lebih tinggi daripada lintas jalan umum yang ada. Persyaratan
lainnya, jalan tol harus memberikan keandalan yang lebih tinggi kepada para
pemakaiannya daripada jalan umum yang ada, yang pelaksanaannya diatur dengan
peraturan pemerintah.
2.2
Karakteristik Wilayah Studi
Studi ini menghitung besarnya biaya perjalanan
sebagai akibat terjadinya tundaan lalu lintas yang mengambil studi pada ruas
Jalan Imam Bonjol. Bagian ruas Jalan Imam Bonjol pada wilayah studi terletak di
Kecamatan Denpasar Barat dengan lebar jalur lalu lintas efektif yaitu 10 meter,
panjang jalan 1 km dan tanpa bahu jalan, serta memiliki arus lalu lintas dua
lajur dua arah tanpa median (2/2 UD). Ruas Jalan
Imam Bonjol merupakan jalan utama menuju ke tempat-tempat aktivitas, dengan
volume lalu lintas yang padat serta hambatan samping yang tinggi sehingga dapat
memicu terjadinya tundaan lalu lintas seperti kemacetan.
2.3
Kondisi Geometrik dan Kondisi Lingkungan
Dalam
menghitung kapasitas dan ukuran kinerja ruas jalan, data kondisi geometrik dan
lingkungan yang perlu diketahui adalah sebagai berikut:
1.
Kondisi
Geometrik
Yang dimaksud
data kondisi geometrik antara lain:
a.
Jalur
gerak yaitu badan jalan yang direncanakan khusus untuk kendaraan bermotor
lewat, berhenti dan parkir (termasuk bahu).
b.
Jalur
jalan yaitu seluruh bagian dari jalur gerak, median dan pemisah luar.
c.
Median
yaitu daerah yang memisahkan arah lalu lintas pada suatu segmen jalan.
d.
Lebar
jalur yaitu lebar jalur jalan yang dilewati lalu lintas, tidak termasuk bahu.
e.
Lebar
jalur efektif yaitu lebar rata-rata yang tersedia bagi gerak lalu lintas
setelah dikurangi untuk parkir tepi jalan, atau halangan lain sementara yang
menutup jalan.
f.
Kerb
yaitu batas yang ditinggikan dari bagian bahu antara pinggir jalur lalu lintas
dengan trotoar.
g.
Trotoar
yaitu bagian dari jalan yang disediakan bagi pejalan kaki yang dipisahkan dari
jalur jalan oleh kerb.
h.
Jarak
penghalang kerb yaitu jarak dari kerb ke penghalang di trotoar (misalnya pohon,
tiang lampu).
i.
Lebar
bahu yaitu lahan di sisi jalur jalan yang disediakan untuk kendaraan berhenti
kadang-kadang pejalan kaki dan kendaraan yang bergerak lambat.
j.
Lebar
bahu efektif yaitu lebar bahu yang benar-benar tersedia untuk digunakan,
setelah pengurangan akibat penghalang seperti pohon, dsb.
k.
Panjang
jalan yaitu panjang segmen jalan yang dipelajari (termasuk persimpangan kecil).
l.
Tipe
jalan
Tipe jalan menentukan jumlah lajur dan arah dalam suatu
segmen jalan:
-
2
lajur 1 arah (2/1)
-
2
lajur 2 arah tak terbagi (2/2 UD)
-
4
lajur 2 arah tak terbagi (4/2 UD)
-
4
lajur 2 arah terbagi (4/2 D)
-
6
lajur 2 arah terbagi (6/2 D
m.
Jumlah
lajur
Jumlah lajur ditentukan dari marka jalan atau dari lebar
efektif jalur untuk segmen jalan:
- Lebar jalur efektif 5 s/d 10,5 meter jumlah lajur 2
- Lebar jalur efektif 10,5 s/d 16 meter jumlah lajur 4
2.
Kondisi
Lingkungan
a.
Ukuran
kota adalah jumlah penduduk di dalam kota (juta). Kelas ukuran kota ditentukan
berdasarkan tabel berikut :
Tabel 2.1 Kelas ukuran kota
Ukuran Kota (Juta
Penduduk)
|
Kelas Ukuran Kota (CS)
|
< 0,1
|
Sangat Kecil
|
0,1 – 0,5
|
Kecil
|
0,5 – 1,0
|
Sedang
|
1,0 – 3,0
|
Besar
|
> 3,0
|
Sangat besar
|
Sumber : MKJI (1997)
b.
Hambatan
samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas samping
segmen jalan, seperti pejalan kaki (bobot = 0,5), kendaraan umum atau kendaraan
lain berhenti (bobot = 1,0), kendaraan masuk atau keluar sisi jalan (bobot =
0,7) dan kendaraan lambat (bobot = 0,4).
Tabel 2.2 Kelas hambatan samping untuk jalan perkotaan
Frekuensi
perbobot kejadian per 200 m per jam (dua sisi)
|
Kondisi Khusus
|
Kelas hambatan
samping
|
|
< 100
|
Pemukiman, hampir tidak ada
kegiatan
|
Sangat rendah
|
VL
|
100 – 299
|
Pemukiman, beberapa angkutan
umum, dll
|
Rendah
|
L
|
300 – 499
|
Daerah industri dengan
toko-toko di sisi jalan
|
Sedang
|
M
|
500 – 899
|
Daerah niaga dengan aktifitas
sisi jalan yang tinggi
|
Tinggi
|
H
|
> 900
|
Daerah niaga dengan aktivitas
sisi jalan yang sangat tinggi
|
Sangat tinggi
|
VH
|
Sumber : MKJI (1997)
2.3.1
Variabel
Variabel
yang digunakan dalam perhitungan kapasitas dan ukuran kinerja segmen adalah:
1. Arus dan komposisi lalu lintas
Dalam MKJI, nilai arus lalu lintas (Q) dinyatakan dalam satuan mobil
penumpang (smp). Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total) diubah
menjadi satuan mobil penumpang dengan mengalikan jumlah kendaraan dengan
ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris berdasarkan
tipe kendaraan berikut:
·
Kendaraan
ringan (LV) termasuk mobil penumpang, opelet, mikrobis, pik-up, dan truk kecil
sesuai sistem klasifikasi Bina Marga.
·
Kendaraan
berat (HV) termasuk bis, truk dua as, truk 3 as dan truk kombinasi sesuai
sistem klasifikasi Bina Marga.
·
Sepeda
motor (MC).
·
Pengaruh
kendaraan tak bermotor dimasukkan sebagai kejadian terpisah dalam faktor penyesuaian hambatan samping.
Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk masing-masing tipe kendaraan
tergantung pada tipe jalan dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam
kendaraan/jam.
Tabel 2.3 Emp
untuk jalan perkotaan tak terbagi
Tipe Jalan :
Jalan Tak Terbagi
|
Arus Lalu Lintas
Total dua arah (kend/jam)
|
Emp
|
||
HV
|
MC
|
|||
Lebar Jalur Lalu
Lintas
Wc (m)
|
||||
< 6
|
> 6
|
|||
Dua lajur tak
terbagi
(2/2 UD)
|
0
>1800
|
1,3
1,2
|
0,5
0,35
|
0,40
0,25
|
Empat lajur tak
terbagi
(4/2 UD)
|
0
>3700
|
1,3
1,2
|
0,40
0,25
|
Sumber : MKJI (1997)
Tabel 2.4 Emp untuk jalan perkotaan terbagi dan satu
arah
Tipe jalan : jalan satu arah dan jalan terbagi
|
Arah lalu lintas per jalur (kend/jam)
|
Emp
|
|
HV
|
MC
|
||
Dua lajur satu arah (2/1) Dan
Empat lajur terbagi (4/2 D)
|
0
1050
|
1,3
1,2
|
0,40
0,25
|
Tiga lajur satu arah (3/1)
Dan
Enam lajur terbagi (6/2 D)
|
0
1100
|
1,3
1,2
|
0,40
0,25
|
Sumber : MKJI (1997)
2. Kecepatan
arus bebas
Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus
nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan
bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan.
Kecepatan arus bebas telah diamati melalui pengumpulan data lapangan,
dimana hubungan antar kecepatan arus bebas dengan kondisi geometrik dan
lingkungan ditentukan dengan metode regresi. Kecepatan arus bebas untuk
kendaraan ringan telah dipilih sebagai dasar untuk kriteria dasar untuk kinerja
segmen jalan pada arus = 0. Kecepatan arus bebas untuk kendaraan berat dan
sepeda motor juga diberikan sebagai rujukan. Kecepatan arus bebas mobil
penumpang biasanya 10-15% lebih tinggi dari tipe kendaraan ringan lain.
Persamaan untuk kecepatan arus bebas mempunyai bentuk umum sebagai berikut (MKJI, 1997):
FV
= (FVO + FVw) x FFVSF
x FFVCS ............................................... (2.1)
Keterangan :
FV = kecepatan
arus bebas kendaraan ringan untuk kondisi sesungguhnya (km/jam).
FVO = kecepatan
arus bebas dasar untuk kendaraan ringan pada jalan yang diamati (km/jam).
FVW = penyesuaian
kecepatan untuk lebar jalan (km/jam).
FFVSF = faktor
penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu atau jarak kerb penghalang
FFVCS = faktor
penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota.
Tabel
2.5 Kecepatan arus bebas dasar (FVO) untuk jalan perkotaan
Tipe Jalan
|
Kecepatan
arus bebas dasar FVo (km/jam)
|
|||
Kendaraan
ringan (LV)
|
Kendaraan
Berat (HV)
|
Sepeda
motor (MC)
|
Semua
Kendaraan (rata-rata)
|
|
Enam lajur terbagi (6/2 D)
Atau
Tiga lajur satu arah (3/1)
|
61
|
52
|
48
|
57
|
Empat lajur terbagi (4/2 D)
Atau
Dua lajur satu arah (2/1)
|
57
|
50
|
47
|
55
|
Empat lajur tak terbagi
(4/2 UD)
|
53
|
46
|
43
|
51
|
Dua lajur tak terbagi
(2/2 UD)
|
44
|
40
|
40
|
42
|
Sumber : MKJI (1997)
Tabel 2.6 Faktor penyesuaian
kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalulintas (FVW)
Tipe Jalan
|
Lebar Jalur Efektif (W) (m)
|
FVW
|
Empat
lajur terbagi atau jalan satu arah
|
Per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
|
-4
-2
0
2
4
|
Empat
lajur tak terbagi
|
Per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
|
-4
-2
0
2
4
|
Dua lajur
tak terbagi
|
Total dua arah
5
6
7
8
9
10
11
|
-9,5
-3
0
3
4
6
7
|
Sumber : MKJI (1997)
Tabel 2.7 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas
akibat hambatan samping FFVSF untuk jalan yang mempunyai bahu jalan
Tipe Jalan
|
Kelas hambatan
samping
|
Faktor koreksi akibat hambatan samping dan lebar bahu
jalan efektif (FFVSF)
|
|||
Lebar bahu
efektif rata-rata (m)
|
|||||
< 0,5
|
1,0
|
1,5
|
> 2,0
|
||
Empat lajur terbagi (4/2 D)
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
1,02
0,98
0,94
0,89
0,84
|
1,03
1,00
0,97
0,93
0,88
|
1,03
1,02
1,00
0,96
0,92
|
1,04
1,03
1,02
0,99
0,96
|
Empat lajur tak terbagi (4/2
D)
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
1,02
0,98
0,93
0,87
0,80
|
1,03
1,00
0,96
0,91
0,86
|
1,03
1,02
0,99
0,94
0,90
|
1,04
1,03
1,02
0,98
0,95
|
Dua lajur tak terbagi atau
jalan satu arah
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
1,00
0,96
0,91
0,82
0,73
|
1,01
0,98
0,93
0,86
0,79
|
1,01
0,99
0,96
0,90
0,85
|
1,01
1,00
0,09
0,95
0,91
|
Sumber : MKJI (1997)
Tabel 2.8 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk
hambatan samping (FFVSF) untuk jalan yang mempunyai kerb
Tipe Jalan
|
Kelas Hambatan Samping
|
Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan jarak kerb
penghalang (FFVSF)
|
|||
Jarak kerb penghalang (m)
|
|||||
≤ 0,5
|
1,0
|
1,5
|
≥ 2,0
|
||
Empat Lajur Terbagi (4/2 D)
|
Sangat Rendah
|
1,00
|
1,01
|
1,01
|
1,02
|
Rendah
|
0,97
|
0,98
|
0,99
|
1,00
|
|
Sedang
|
0,93
|
0,95
|
0,97
|
0,99
|
|
Tinggi
|
0,87
|
0,90
|
0,93
|
0,96
|
|
Sangat Tinggi
|
0,81
|
0,85
|
0,88
|
0,92
|
|
Empat Lajur Tak Tebagi (4/2 UD)
|
Sangat Rendah
|
1,00
|
1,01
|
1,01
|
1,02
|
Rendah
|
0,96
|
0,98
|
0,99
|
1,00
|
|
Sedang
|
0,91
|
0,93
|
0,96
|
0,98
|
|
Tinggi
|
0,84
|
0,87
|
0,90
|
0,94
|
|
Sangat Tinggi
|
0,77
|
0,81
|
0,85
|
0,90
|
|
Dua Lajur Tak Terbagi 2/2UD atau Jalan Satu Arah
|
Sangat Rendah
|
0,98
|
0,99
|
0,99
|
1,00
|
Rendah
|
0,93
|
0,95
|
0,96
|
0,98
|
|
Sedang
|
0,87
|
0,89
|
0,92
|
0,95
|
|
Tinggi
|
0,78
|
0,81
|
0,84
|
0,88
|
|
Sangat Tinggi
|
0,68
|
0,72
|
0,77
|
0,82
|
Sumber : MKJI
(1997)
Tabel 2.9 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk
ukuran kota (FFVCS) untuk jalan perkotaan
Ukuran kota (juta
penduduk)
|
Faktor koreksi untuk
ukuran kota
|
< 0,1
|
0,90
|
0,1 – 0,5
|
0,93
|
0,5 – 1,0
|
0,95
|
1,0 – 1,3
|
1,00
|
> 1,3
|
1,03
|
Sumber : MKJI (1997)
3. Kapasitas
Jalan
Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum yang
melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi
tertentu. Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua
arah (kombinasi dua arah), sedangkan untuk jalan dengan banyak lajur, arus
dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur.
Nilai kapasitas telah diamati melalui pengumpulan data lapangan selama
memungkinkan. Kapasitas juga mengasumsikan hubungan matematik antara kerapatan,
kecepatan dan arus. Kapasitas (C)
dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp).
Persamaan
dasar untuk menentukan kapasitas adalah sebagai berikut (MKJI, 1997):
C = CO x FCW
x FCSP x FCSF x FCCS …………………...…………… (2.2)
Keterangan:
C = kapasitas (smp/jam)
Co = kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP = faktor penyesuaian pemisah arah (hanya
untuk jalan tak terbagi)
FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping dan
bahu jalan/kereb
FCCS = faktor penyesuaian ukuran kota (jumlah
penduduk)
Tabel
2.10 Kapasitas dasar CO,
untuk jalan perkotaan
Tipe Jalan
|
Kapasitas dasar
|
Keterangan
|
Empat lajur
terbagi atau jalan satu arah
|
1650
|
Per lajur
|
Empat lajur
tak terbagi
|
1500
|
Per lajur
|
Dua lajur
tak terbagi
|
2900
|
Total dua arah
|
Sumber : MKJI
(1997)
Kapasitas
dasar untuk jalan yang lebih dari empat lajur dapat diperkirakan dengan
menggunakan kapasitas per lajur pada tabel 2.10, meskipun mempunyai lebar jalan
yang tidak baku.
Tabel 2.11
Faktor koreksi kapasitas akibat lebar jalur (FCW)
Tipe Jalan
|
Lebar Jalan Efektif (m)
|
FCW
|
Empat
lajur terbagi atau jalan satu arah
|
Per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
|
0,92
0,96
1,00
1,04
1,08
|
Empat
lajur tak terbagi
|
Per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
|
0,91
0,95
1,00
1,05
1,09
|
Dua lajur
tak terbagi
|
Total dua arah
5
6
7
8
9
10
11
|
0,56
0,87
1,00
1,14
1,25
1,29
1,34
|
Sumber : MKJI (1997)
Faktor koreksi
kapasitas untuk jalan yang mempunyai lebih dari empat lajur dapat diperkirakan
dengan menggunakan koreksi kapasitas untuk kelompok jalan empat lajur.
Tabel 2.12
Faktor koreksi kapasitas untuk pemisah arah (FCSP)
Pemisah arah %-%
|
50-50
|
55-45
|
60-40
|
65-35
|
70-30
|
|
FCSP
|
Dua-lajur 2/2
|
1,00
|
0,97
|
0,94
|
0,91
|
0,88
|
Empat-lajur 4/2
|
1,00
|
0,985
|
0,97
|
0,955
|
0,94
|
Sumber : MKJI (1997)
Untuk jalan
terbagi dan jalan satu arah, faktor koreksi kapasitas akibat pemisah arah
adalah 0,1.
Tabel 2.13 Faktor koreksi kapasitas akibat hambatan
samping (FCSF) untuk jalan yang mempunyai bahu jalan
Tipe Jalan
|
Kelas hambatan
samping
|
Faktor koreksi
akibat hambatan samping dan lebar bahu
(FCSF)
|
|||
Lebar bahu
efektif
|
|||||
< 0,5 m
|
1,0 m
|
1,5 m
|
> 2,0 m
|
||
Empat lajur terbagi (4/2 D)
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
0,96
0,94
0,92
0,88
0,84
|
0,98
0,97
0,95
0,92
0,88
|
1,01
1,00
0,98
0,95
0,92
|
1,03
1,02
1,00
0,98
0,96
|
Empat lajur tak terbagi (4/2 D)
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
0,96
0,94
0,92
0,87
0,80
|
0,99
0,97
0,95
0,91
0,86
|
1,00
1,00
0,98
0,94
0,90
|
1,03
1,02
1,00
0,98
0,95
|
Dua lajur tak terbagi atau jalan satu arah
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
0,94
0,92
0,89
0,82
0,73
|
0,96
0,94
0,92
0,86
0,79
|
0,99
0,97
0,95
0,90
0,85
|
1,01
1,00
0,98
0,95
0,91
|
Sumber : MKJI
(1997)
Tabel 2.14 Faktor koreksi kapasitas akibat hambatan
samping (FCSF) untuk jalan yang mempunyai kerb
Tipe Jalan
|
Kelas hambatan
samping
|
Faktor koreksi
akibat hambatan samping dan jarak kerb penghalang (FCSF)
|
|||
Lebar kerb
|
|||||
< 0,5 m
|
1,0 m
|
1,5 m
|
> 2,0 m
|
||
Empat lajur terbagi (4/2 D)
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
0,95
0,94
0,91
0,86
0,81
|
0,97
0,96
0,93
0,89
0,85
|
0,99
0,98
0,95
0,92
0,88
|
1,01
1,00
0,98
0,95
0,92
|
Empat lajur tak terbagi (4/2 D)
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
0,95
0,93
0,90
0,84
0,77
|
0,97
0,95
0,92
0,87
0,81
|
0,99
0,97
0,95
0,90
0,85
|
1,01
1,00
0,97
0,93
0,90
|
Dua lajur tak terbagi
(2/2 UD) atau jalan satu arah
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
0,93
0,90
0,86
0,78
0,68
|
0,95
0,92
0,88
0,81
0,72
|
0,97
0,95
0,91
0,84
0,77
|
0,99
0,97
0,94
0,88
0,82
|
Sumber : MKJI (1997)
Tabel 2.15 Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota
(FCCS)
Ukuran kota
(Juta Penduduk)
|
Faktor koreksi
untuk ukuran kota (FCCS)
|
< 0,1
|
0,86
|
0,1 – 0,5
|
0,90
|
0,5 – 1,0
|
0,94
|
1,0 – 1,3
|
1,00
|
> 1,3
|
1,04
|
Sumber : MKJI (1997)
4. Derajat
Kejenuhan
Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan
sebagai rasio arus (Q) terhadap kapasitas (C), digunakan sebagai faktor utama
dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan
apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak, perumusannya adalah sebagai berikut (MKJI, 1997):
DS = .........................................................................................
(2.3)
Keterangan :
DS = Derajat kejenuhan.
Q = Arus lalu lintas yang melalui suatu titik
(smp/jam).
C = kapasitas (smp/jam).
Derajat kejenuhan (DS) dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas. DS digunakan untuk analisa tingkat kinerja yang berkaitan
dengan kecepatan. Dimana pada penelitian ini, kondisi arus jenuh (macet)
diambil DS > 0,75
5. Kecepatan
Kecepatan adalah jarak yang ditempuh dalam satuan waktu,
atau nilai perubahan jarak terhadap waktu. Kecepatan dari suatu kendaraan
dipengaruhi oleh faktor–faktor manusia, kendaraan, prasarana, serta dipengaruhi
pula oleh kondisi arus lalu lintas, kondisi cuaca dan kondisi lingkungan
sekitarnya. Kecepatan dipakai sebagai pengukur kualitas perjalanan bagi
pengemudi.
Manual kapasitas jalan raya menggunakan kecepatan tempuh perjalanan sebagai
ukuran utama kinerja segmen jalan, karena mudah dimengerti dan diukur, dan
merupakan masukan yang penting untuk biaya pemakai jalan dalam analisa ekonomi.
Kecepatan tempuh didefinisikan dalam manual ini sebagai
kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen jalan (MKJI, 1997):
V
= ................................................................................
(2.4)
Keterangan :
V = kecepatan rata-rata
ruang (km/jam)
L = panjang (km)
TT = waktu tempuh rata-rata
sepanjang segmen (jam)
Gambar 2.1
Kecepatan sebagai fungsi dari Q/C untuk jalan 2/2 UD
Sumber : MKJI (1997)
6. Tingkat
Pelayanan Jalan
Tingkat pelayanan adalah
indikator yang dapat mencerminkan tingkat kenyamanan ruas jalan, yaitu perbandingan
antara volume lalu lintas yang ada terhadap kapasitas jalan tersebut (MKJI ,1997).
Tingkat pelayanan jalan
ditentukan dalam suatu skala interval yang terdiri dari 6 (enam) tingkat.
Tingkat–tingkat ini dinyatakan dengan huruf A yang merupakan tingkat pelayanan
tertinggi sampai F yang merupakan tingkat pelayanan paling rendah. Apabila
volume lalu lintas meningkat, maka tingkat pelayanan jalan menurun karena
kondisi lalu lintas yang memburuk akibat interaksi dari faktor–faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat pelayanan. Adapun faktor–faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat pelayanan, antara lain :
1.
Volume
2.
Kapasitas
3.
Kecepatan
Hubungan antara tingkat
pelayanan jalan, karakteristik arus lalu lintas dan rasio volume terhadap
kapasitas (Rasio DS=Q/C) adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.16.
Tabel 2.16 Hubungan
antara tingkat pelayanan jalan, karakteristik arus lalu lintas
dan
rasio volume terhadap kapasitas (Rasio Q/C)
Tingkat Pelayanan
|
Keterangan
|
Derajat Kejenuhan (DS)
|
A
|
Keadaan arus bebas, volume rendah, kecepatan tinggi,
kepadatan rendah, kecepatan ditentukan oleh kemauan pengemudi, pembatasan
kecepatan dan kondisi fisik jalan.
|
0.00
– 0.20
|
B
|
Keadaan arus stabil, kecepatan perjalanan mulai
dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, dalam batas dimana pengemudi masih
mendapatkan kebebasan yang cukup dalam memilih kecepatannya. Batas terbawah
dari tingkat pelayanan ini (kecepatan terendah dengan volume normal)
digunakan untuk ketentuan-ketentuan perencanaan jalan-jalan di luar kota.
|
0.21
– 0.44
|
C
|
Keadaan arus
masih stabil, kecepatan dan pergerakan
lebih ditentukan oleh volume yang tinggi sehingga pemilihan kecepatan sudah
terbatas dalam batas-batas kecepatan jalan yang masih cukup memuaskan. Biasanya
ini digunakan untuk ketentuan-ketentuan perencaanan jalan-jalan dalam kota.
|
0.45
– 0.74
|
D
|
Keadaan arus mendekati tidak stabil, dimana kecepatan
yang dikehendaki secara terbatas masih bisa dipertahankan, meskipun sangat
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam keadaan perjalanan yang sangat
menurunkan kecepatan yang cukup besar.
|
0.75
– 0.84
|
E
|
Keadaan arus tidak stabil, tidak dapat ditentukan hanya
dari kecepatan saja, sering terjadi kemacetan (berhenti) untuk beberapa saat,
volume hampir sama dengan kapasitas jalan sedang.
|
0.85
– 1.0
|
F
|
Keadaan arus yang bertahan atau arus terpaksa (force
down), kecepatan rendah sedang volume ada di bawah kapasitas dan membentuk
rentetan kendaraan, sering terjadi kemacetan dalam waktu yang cukup lama.
Dalam keadaan ekstrem, kecepatan dan volume dapat turun mencapai nol.
|
-
|
Sumber : TRB (1994)
Tingkat pelayanan jalan
tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio Q/C, namun juga tergantung
dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas jalan. Kecepatan operasi dapat
diketahui dari survei langsung di lapangan. Apabila kecepatan operasi telah
didapat, maka akan dapat dibandingkan dengan kecepatan optimum (kecepatan yang
dipilih pengemudi pada saat kondisi tertentu). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.2 Hubungan
umum antara kecepatan, tingkat pelayanan dan rasio volume terhadap kapasitas
jalan
Sumber
: Tamin, (2000)
2.3.2
Hubungan Arus - Kecepatan - Kepadatan
Prinsip
dasar analisa kapasitas segmen jalan adalah kecepatan berkurang jika arus
bertambah. Pengurangan kecepatan akibat penambahan volume adalah kecil pada
volume rendah tetapi lebih besar pada volume yang lebih tinggi. Dekat
kapasitas, pertambahan volume yang sedikit akan menghasilkan pengurangan
kecepatan yang besar. Hubungan ini telah ditentukan secara kuantitatif untuk
kondisi standar pada tiap tipe jalan. Setiap kondisi standar mempunyai standar
dan karakteristik lingkungan tertentu. Jika karakteristik jalan lebih baik dari
kondisi standar (misalnya lebih lebar dari lebar jalur lalu lintas normal),
kapasitas menjadi lebih tinggi dan kurva bergeser ke sebelah kanan, dengan
kecepatan lebih tinggi pada arus tertentu. Jika karakteristik jalan lebih buruk
dan kondisi standar (misalnya hambatan samping tinggi) kurva bergeser ke kiri,
kapasitas menjadi berkurang dan kecepatan pada arus tertentu lebih rendah.
Hubungan
antara besarnya arus/volume lalu lintas dengan kecepatan (dalam hal ini
kecepatan sesaat) dengan kepadatan lalu lintas adalah (yang juga ditunjukkan
dalam gambar) sebagai berikut:
·
Hubungan kecepatan dan kepadatan
adalah linier yang berarti bahwa semakin tinggi kecepatan lalu lintas
dibutuhkan ruang bebas yang lebih besar antar kendaraan yang mengakibatkan
jumlah kendaraan per kilometer menjadi lebih kecil.
·
Hubungan kecepatan dan arus
adalah parabolik yang menunjukkan bahwa semakin besar arus kecepatan akan turun
sampai suatu titik yang menjadi puncak parabola tercapai kapasitas setelah itu
kecepatan akan semakin rendah lagi dan arus juga akan semakin mengecil.
·
Hubungan antara arus dengan kepadatan juga
parabolik semakin tinggi kepadatan arus akan semakin tinggi sampai suatu titik dimana kapasitas terjadi, setelah itu semakin padat maka
arus akan semakin kecil.
Gambar
2.3 Hubungan arus – kecepatan - kepadatan
Sumber
: Tamin (2000)
2.4
Biaya Tundaan Lalu Lintas
Tundaan
lalu lintas adalah menurunnya kecepatan akibat tundaan waktu perjalanan yang
terjadi baik pada persimpangan maupun pada suatu ruas jalan. Tundaan terjadi karena volume lalu lintas melebihi
kapasitas yang ada. Hal ini menyebabkan bertambahnya waktu perjalanan yang
berpengaruh pada produktifitas masyarakat secara umum karena jalan merupakan
prasarana pergerakan yang membantu interaksi antar kegiatan dalam bentuk aliran
barang dan orang.
Biaya
tundaan merupakan tambahan biaya perjalanan yang terjadi sebagai akibat adanya
tambahan waktu perjalanan, baik yang disebabkan oleh tundaan lalu lintas maupun
tambahan volume kendaraan yang mendekati atau melebihi kapasitas pelayanan. Hal
ini terutama terjadi pada jam puncak. Sisi ekonomi tambahan waktu perjalanan
sebagai akibat perkembangan tata guna lahan yang meningkatkan volume lalu
lintas di suatu ruas jalan. Biaya tersebut sebagai pengaruh dari turunnya
tingkat pelayanan jalan karena bertambahnya volume mendekati kapasitas jalan
tersebut.
Biaya tundaan lalu lintas merupakan
biaya yang ditanggung masyarakat sebagai pengguna jalan. Untuk mengatasi hal
tersebut, pemerintah daerah selaku pengatur dan yang memiliki tanggung jawab
dalam penyediaan prasarana berupa jaringan jalan, memiliki wewenang dalam
pengaturan, pengoperasian dan pemeliharaan jaringan jalan tersebut. Setiap
pengguna lahan yang berdampak pada peningkatan volume yang pada akhirnya
meningkatkan waktu perjalanan dan turunnya
tingkat pelayanan jalan perlu mendapatkan perhatian yang serius. Untuk
itu perlu diperhitungkan suatu usaha penanganan biaya dampak tundaan yang
berarti dibutuhkan analisis biaya yang ditimbulkan sebagai akibat tambahan
waktu perjalanan yang disebut biaya perjalanan.
Perumusan biaya tundaan lalu lintas
terdiri atas beberapa komponen yaitu volume lalu lintas, waktu tempuh
perjalanan, biaya operasi kendaraan dan nilai waktu perjalanan.
2.4.1
Volume Lalu Lintas
Volume
lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu titik pada jalur gerak
untuk satuan waktu dan diukur dalam menit satuan kendaraan per satuan waktu.
Volume
hasil penelitian dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Q = ..................................................................................
(2.5)
Keterangan :
Q = volume lalu lintas yang
melalui suatu titik (kend/jam).
n = jumlah kendaraan yang melalui titik dalam
interval waktu T (kend).
T = interval waktu
pengamatan (jam).
2.4.2
Waktu Tempuh Perjalanan
Waktu
tempuh perjalanan merupakan waktu yang dipergunakan oleh sebuah kendaraan untuk
melewati suatu ruas jalan. Untuk mencari waktu perjalanan didapat melalui
survei kecepatan.
Pada
studi ini, metode yang digunakan adalah dengan moving observer (pengamat bergerak). Cara ini dilakukan dengan kendaraan yang kemudian
menyusuri rute yang telah ditetapkan. Pada survei ini diperlukan 3 orang
pengamat dan 1 orang pengemudi. Pengamat pertama bertugas menghitung kendaraan
yang berpapasan dengan kendaraan yang digunakan untuk pengukuran. Pengamat
kedua menghitung kendaraan yang disiap dan menyiap kendaraan peneliti dan
pengamat ketiga bertugas mencatat waktu perjalanan pada saat survei dimulai
sampai berakhir.
Untuk
menghitung waktu perjalanan rata-rata digunakan rumus sebagai berikut :
T = TW -
......................................................................................
(2.6)
Dimana:
q
= ....................................................................................
(2.7)
Keterangan:
x = banyaknya kendaraan yang berpapasan dengan
kendaraan peneliti.
y =
banyaknya kendaraan yang menyiap dikurangi kendaraan yang disiap oleh peneliti
(y = A-B).
TW = waktu perjalanan sewaktu berjalan bersama
arus (detik).
TA = waktu perjalanan sewaktu berjalan melawan
arus (detik).
q = volume
lalu lintas saat dilakukan penelitiaan (kend/detik).
2.4.3
Biaya Operasi Kendaraan
Biaya
operasional kendaraan adalah semua biaya yang harus dikeluarkan oleh operator
sehubungan kepemilikan dan pengoperasian kendaraan untuk tujuan komersial maupun pribadi dan terdiri dari
biaya tetap dan tidak tetap. Biaya operasional kendaraan dapat digambarkan
dengan grafik hubungan biaya operasional dan pengeluaran yang digunakan untuk
mengoperasikan kendaraan. (Morlok,1991).
Gambar 2.4 Grafik Hubungan Biaya
Operasional dan Pengeluaran
Sumber : Morlok (1991)
Biaya
operasi kendaraan (Vehicle Operating Cost)
secara total merupakan penjumlahan dari komponen-komponen Biaya Tetap dan Biaya
Variabel/gerak, dimana:
1.
Biaya
Tetap (Standing Cost) yaitu biaya
yang mengarah ke biaya modal yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk
keperluan biaya penyediaan prasarana pendukung seperti biaya bunga, biaya
asuransi dan biaya administrasi.
2.
Biaya
Tidak Tetap (Variable cost atau Running
Cost) yaitu biaya yang berhubungan langsung dengan pengoperasian kendaraan
yang mencakup pemakaian bahan bakar, biaya pemakian pelumas, biaya pemakaian
ban, biaya pemeliharaan, biaya awak kendaraan (pengemudi) dan biaya depresiasi
kendaraan. Dalam hal penggunaan kendaraan, tinggi rendahnya biaya variabel
tergantung pada waktu pengoperasian atau kecepatan tempuh dari kendaraan
tersebut. Disini terkadang pengertian waktu kendaraan berdasarkan waktu tempuh
dan kecepatan gerak. Semakin lama waktu tempuh kendaraan pada kecepatan yang
sama semakin besar biaya operasi kendaraan tersebut. Sedangkan dalam hal
kecepatan gerak, makin tinggi kecepatan pada jarak tempuh yang sama, makin
rendah biaya operasi kendaraan tersebut. Biaya operasi kendaraan berubah dari
tahun ke tahun sesuai perubahan harga yang berlaku, komponen dan bahan yang
dibutuhkan bagi pengoperasian kendaraan. Tinggi rendahnya baiya tetap dan biaya
variabel kendaraan tergantung pula pada karakteristik kendaraan tersebut
seperti sepeda motor, sedan, mini bus, truk atau bus.
Dari
keterangan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pada jarak jam puncak lalu
lintas saat terjadi kemacetan atau kepadatan arus, biaya operasi kendaraan
menjadi lebih tinggi mengingat kendaraan beroperasional pada kecepatan rendah,
dengan waktu pengoperasian yang lebih lama. Pada keadaan ini kendaraan sering
mengalami pengereman, pacuan awal gerak kendaraan yang kesemuanya mempengaruhi
keausan komponen seperti ban, sistem rem dan transmisi. Biaya Operasi Kendaraan
untuk mobil dihitung dengan model yang dikembangkan oleh LAPI-ITB (1997)
bekerja sama dengan KBK Rekayasa Transportasi, Jurusan Teknik Sipil, ITB
melalui proyek kajian ”Perhitungan Besar Keuntungan Biaya Operasi Kendaraan”
yang didanai oleh PT Jasa Marga. Sedangkan untuk sepeda motor mengacu pada metode yang digunakan oleh DLLAJ Provinsi
Bali-Konsultan PTS 1999.
2.4.3.1 Analisis
BOK untuk Mobil
1.
Konsumsi
Bahan Bakar (KBB)
KBB = KBB dasar x (1± (kk
+ k1 + kr)) ......................................... (2.8)
KBB dasar
kendaraan gol. I = 0,0284
V² - 3,0644 V + 141,68 (2.8a)
KBB
dasar kendaraan golongan II A = 2,26533
x (KBB dasar gol. I) (2.8b)
KBB dasar
kendaraan golongan II B = 2,90805 x
(KBB dasar gol. I) (2.8c)
Keterangan :
Golongan I = Kendaraan ringan termasuk mobil
penumpang, mikrobis, pik-up dan truk
kecil.
Golongan IIA = Truk Besar dan Bus Besar, dengan 2 (dua) gandar.
Golongan IIB = Truk Besar dan Bus Besar, dengan 3 (tiga) gandar atau lebih.
kk = faktor koreksi akibat kelandaian.
k1 = faktor koreksi akibat kondisi arus lalu
lintas.
kr = faktor koreksi akibat kekasaran jalan.
V = kecepatan kendaraan (km/jam).
Tabel 2.17 Faktor
koreksi konsumsi bahan bakar dasar kendaraan
Faktor koreksi akibat kelandaian negatif (kk)
|
g < -5%
|
-0,337
|
-5 % < g < 0%
|
-0,158
|
|
Faktor koreksi akibat kelandaian positif (kk)
|
0% < g < 5%
|
0,400
|
g > 5%
|
0,820
|
|
Faktor koreksi akibat kondisi arus lalu lintas (k1)
|
0 < NVK < 0,6
|
0,050
|
0,6 < NVK < 0,8
|
0,185
|
|
|
NVK > 0,8
|
0,253
|
Faktor koreksi akibat kekasaran jalan (kr)
|
< 3 m/km
|
0,035
|
> 3 m/km
|
0,085
|
Sumber
:
LAPI-ITB (1997)
g =
kelandaian
NVK
=
nisbah volume per kapasitas
2.
Konsumsi
Minyak Pelumas
Besarnya konsumsi dasar minyak pelumas (liter/km) sangat tergantung pada
kecepatan kendaraan dan jenis kendaraan. Konsumsi dasar ini kemudian dikoreksi lagi menurut tingkat kekasaran jalan.
Tabel 2.18 Konsumsi dasar minyak pelumas (liter/km)
Kecepatan
(km/jam)
|
Jenis Kendaraan
|
||
Golongan I
|
Golongan IIA
|
Golongan IIB
|
|
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
80-90
90-100
100-110
|
0,0032
0,0030
0,0028
0,0027
0,0027
0,0029
0,0031
0,0033
0,0035
0,0038
|
0,0060
0,0057
0,0055
0,0054
0,0054
0,0055
0,0057
0,0060
0,0064
0,0070
|
0,0049
0,0046
0,0044
0,0043
0,0043
0,0044
0,0046
0,0049
0,0053
0,0059
|
Sumber : LAPI
– ITB (1997)
Tabel 2.19 Faktor koreksi konsumsi minyak pelumas
terhadap kondisi kekasaran permukaan
Nilai Kekasaran
|
Faktor Koreksi
|
< 3 m/km
> 3 m/km
|
1,00
1,50
|
Sumber :
LAPI-ITB (1997)
3.
Biaya Pemakaian Ban
Besarnya biaya pemakaian ban sangat tergantung pada kecepatan
kendaraan dan jenis kendaraan.
Kendaraan golongan I :
Y = 0,0008848 V – 0,0045333
........... (2.9a)
Kendaraan golongan II A : Y =
0,0012356 V – 0,0064667 ........... (2.9b)
Kendaraan golongan II
B :
Y
= 0,0015553 V – 0,0059333 ........... (2.9c)
Y
= pemakaian ban per 1.000 km
4.
Biaya pemeliharaan
Komponen biaya pemeliharaan yang paling dominan adalah biaya
suku cadang dan upah montir.
a. Suku Cadang
Kendaraan golongan I : Y = 0,0000064 V + 0,0005567 .......... (2.10a)
Kendaraan golongan II A : Y = 0,0000332 V +
0,0020891........... (2.10b)
Kendaraan golongan II B : Y = 0,0000191 V + 0,001540
............ (2.10c)
Y = biaya pemeliharaan suku cadang per 1.000 km.
b. Montir
Kendaraan golongan I :
Y = 0,00362 V + 0,36267 …………. (2.11a)
Kendaraan golongan II A :
Y = 0,02311 V + 1,197733 ...………. (2.11b)
Kendaraan golongan II B : Y = 0,01511 V + 1,21200 ………….. (2.11c)
Y
= jam kerja montir per 1.000 km.
5.
Biaya Penyusutan
Biaya penyusutan hanya berlaku untuk perhitungan BOK pada
jalan tol dan jalan arteri, besarnya berbanding terbalik dengan kecepatan
kendaraan.
Kendaraan golongan I : Y = 1/(2,5 V + 125) ……………………. (2.12a)
Kendaraan golongan IIA
: Y = 1/(9,0 V + 450) …….……..…….….
(2.12b)
Kendaraan golongan IIB
: Y = 1/(6,0 V + 300) ………………...….
(2.12c)
Y = biaya penyusutan per 1.000 km (sama dengan ½ nilai penyusutan
kendaraan)
6. Bunga
modal
Biaya suku bunga berlaku untuk penghitungan BOK pada jalan
tol maupun jalan arteri dengan persamaan yang sama, besarnya berbanding
terbalik dengan kecepatan kendaraan.
Kendaraan golongan I :
Y = 150/(500 V) ................................ (2.13a)
Kendaraan golongan IIA :
Y = 150/(2571,42857 V) …………. (2.13b)
Kendaraan golongan IIB :
Y = 150/(1714,28571 V) …………. (2.13c)
Y = biaya suku bunga
per kendaraan per 1000 km.
7. Biaya
Asuransi
Besarnya biaya asuransi berbanding terbalik dengan kecepatan.
Semakin tinggi kecepatan kendaraan, semakin kecil biaya asuransi.
Kendaraan golongan I :
Y = 38/(500 V) .................................... (2.14a)
Kendaraan golongan IIA :
Y = 6/(2571,42857 V) ……………… (2.14b)
Kendaraan golongan IIB :
Y = 61/(1714,28571 V) …………….. (2.14c)
Y = biaya asuransi per
1.000 km
8. Overhead
10% dari total BOK
2.4.3.2 Analisis
BOK untuk Sepeda Motor
Sepeda motor adalah jenis kendaraan yang sangat banyak digunakan di
Denpasar dan berpengaruh sangat signifikan terhadap karakteristik transportasi
Denpasar. Untuk perhitungan BOK sepeda motor mengacu pada metode yang digunakan
oleh DLLAJ Provinsi Bali-Konsultan PTS 1999. Perhitungan BOK yang telah
diteliti DLLAJ Provinsi Bali–Konsultan PTS 1999 adalah berdasarkan rumus
sebagai berikut :
VOC = a + b / V + cV² ................................................................. (2.15)
Dimana :
VOC =
biaya operasi kendaraan (per km)
V =
kecepatan rata – rata (km/jam)
a =
konstanta, nilainya 24
b,c = koefisien,
dengan nilai b = 596 dan c = 0,00370
Rumus DLLAJ
di atas belum termasuk biaya akibat bahan bakar, suku cadang, oli, ban, biaya
servis dan jasa montir. Sehingga perlu adanya penyesuaian dengan nilai
pertumbuhan inflasi. Nilai pertumbuhan inflasi yang digunakan yaitu dari awal
rumus DLLAJ dikeluarkan Tahun 1999 – Tahun 2011 dimana survei ini dilakukan.
Rumus perhitungan BOK akibat pertumbuhan inflasi sebagai berikut :
P =
P0 ( 1 + i )n ……………………………………. (2.16)
Keterangan :
P =
Nilai BOK setelah adanya inflasi
P0 =
Nilai BOK awal
i =
Nilai rata-rata pertumbuhan inflasi
n =
Jumlah Tahun
2.4.4
Nilai Waktu Perjalanan
Nilai waktu adalah
sejumlah uang yang disediakan seseorang untuk dikeluarkan (atau dihemat) untuk
menghemat satu unit waktu perjalanan. Nilai
waktu biasanya sebanding dengan pendapatan per kapita, merupakan perbandingan
yang tetap konstan sepanjang waktu, relatif terhadap pengeluaran konsumen.
2.4.4.1 Alternatif
Pendekatan
Metode
pendapatan (income method) biasa
diaplikasikan sebagai langkah praktis di negara-negara berkembang untuk
menentukan tidak hanya sumber daya (resource
value) tetapi juga nilai prilaku (behavioural
value). Data menyangkut pendapatan di negara berkembang seringkali
ditemukan bahwa kelas pendapatan tertinggi sangat sedikit dan kelas pendapatan
rendah sangat banyak sehingga berada di luar ekonomi moneter. Sementara itu,
data mengenai pola perjalanan individual sangat terbatas, begitu pula sumber-sumber
penelitian, sehingga cukup sulit untuk dapat melakukan penelitian mengenai
pendapatan dan nilai waktu.
2.4.4.2 Estimasi
Nilai Waktu
Tidak
ada nilai yang langsung dapat diterapkan untuk dapat mencerminkan kenyamanan
pengguna jalan, tetapi dapat dikatakan
bahwa banyak pengguna jalan yang ingin mempersingkat waktu perjalanannya. Salah
satu cara untuk mengkualifikasikan nilai ini adalah dengan menggambarkan nilai
waktu sebagai opportunity cost yang
dihasilkan akibat hilangnya kesempatan produktif karena adanya kebutuhan
perjalanan (bisnis atau bukan bisnis).
Dalam
menentukan nilai waktu seseorang, penting untuk mengidentifikasi tujuan dari
perjalanan seseorang tersebut. Tujuan perjalanan dapat dibagi menjadi dua
bagian besar yaitu untuk tujuan bisnis
dan tujuan non bisnis. Perjalanan bisnis tidak mengikutsertakan perjalanan
pergi ke kantor atau pulang ke rumah yang tidak dilakukan pada jam-jam kerja
yaitu yang tidak mengakibatkan kerugian produksi ekonomi.
Nilai waktu perjalanan untuk pemilik usaha
dinilai 100 % dari pendapatan terhadap berbagai jenis kendaraan. Perjalanan
dari rumah ketempat kerja dinilai 50% dari nilai pendapatan. Perjalanan dari
dan ke tempat kerja menjadi bagian yang signifikan dari keseluruhan arus lalu
lintas dan sebagai hal yang sangat penting dalam menentukan jam puncak.
Perjalanan yang cukup panjang ketempat kerja akan melelahkan dan menurunkan
produktivitas. Hambatan di perjalanan ke tempat kerja juga menyebabkan
seseorang terlambat tiba di tempat kerja, sehingga akan mengurangi nilai
penghematan waktu untuk perjalanan kerja yaitu :
Nilai
penghematan waktu perjalanan = 50 % x pendapatan.
Sesuai
dengan PTS-BUIP
1999, penghematan waktu untuk
perjalanan kerja adalah 50% dari pendapatan. Dalam studi ini nilai waktu
penumpang rata-rata adalah 50% dari pendapatan dan data PDRB menunjukkan
pendapatan per kapita per satu orang penduduk dan tidak membedakan nilai waktu
seseorang.
Pembagian
jenis kendaraan berdasarkan moda menyebabkan diperlukannya nilai rata-rata
jumlah penumpang per jenis kendaraan (Average
Vehicle Occupancy). Pada Tabel 2.20 dapat dilihat jumlah penumpang per
kendaraan dengan mengambil rujukan dari hasil survei Public Transport Study,
Bali Urban Infrastructure Project (PTS-BUIP, 1999).
Tabel 2.20 Rata-rata jumlah penumpang dan pendapatan untuk
tiap jenis kendaraan
Jenis Kendaraan
|
Rata-rata
Penumpang (Average Occupancy)*
|
Rata-rata
Pendapatan
(Rp/jam)
|
Sepeda motor
|
1,32
|
2.750
|
Mobil dan Taxi
|
2,04
|
3.910
|
Pickup, Truck (**)
|
1,05
|
2.550
|
Bus Kecil
|
3,51
|
2.550
|
Bus Besar
|
17,4
|
2.550
|
Rata-rata semua kendaraan
|
-
|
3.000
|
Sumber : PTS-BUIP (1999)
(*) Di luar crew
(**) Upah rata-rata diasumsikan sama seperti
penumpang bis
Pendekatan
untuk perhitungan nilai waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendapatan per kapita dari PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto). Dimana data dari PDRB menunjukkan nilai
pendapatan per kapita per satu orang penduduk. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah
Jumlah Nilai Tambah Bruto yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu
wilayah (BPS, 2011).
Yang
dimaksud dengan Nilai Tambah adalah nilai produksi (Output) dikurangi biaya
antara. Nilai tambah bruto disini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor
seperti upah dan gaji, bunga, sewa tanah, dan keuntungan, penyusutan, dan pajak
tidak langsung netto. Kegiatan ekonomi yang dimaksud mulai kegiatan pertanian,
pertambangan, industri pengolahan, sampai dengan jasa-jasa. Jadi dengan
menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan nilai
tambah bruto dari seluruh sektor tadi, akan diperoleh PDRB. Adapun manfaat dari
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)
meliputi :
a.
PDRB atas dasar harga berlaku nominal
menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu wilayah.
Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar.
b.
PDRB atas dasar harga yang berlaku menunjukkan
pendapatan yang memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah.
c.
PDRB atas dasar harga konstan dapat digunakan
untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektor
dari tahun ke tahun.
d.
PDRB pendapatan perkapita atas dasar harga
berlaku menunjukkan nilai PDRB per satu orang penduduk.
e.
PDRB atas dasar harga konstan guna untuk
mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi perkapita.
Berikut ini adalah PDRB per kapita Kota Denpasar atas
dasar harga berlaku mulai sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 sesuai dengan
Tabel 2.21.
Tabel 2.21 PDRB per kapita kota Denpasar
Tahun
|
PDRB Per Kapita (Rupiah)
|
2006
|
11.995.321,96
|
2007
|
13.410.213,82
|
2008
|
15.702.561,73
|
2009
|
17.709.730,25
|
2010
|
15.847.814,91
|
Sumber
: BPS Kota Denpasar (2011)
2.4.4.3 Studi-studi
Terdahulu Tentang Nilai Waktu Perjalanan
Beberapa
studi tentang nilai waktu perjalanan yang telah dilakukan baik di Bali,
Nasional maupun Internasional, hasilnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Studi
Internasional (1965 — 1995)
Studi dan survei yang telah dilakukan mengenai nilai
waktu perjalanan selama periode 30 tahun, menunjukkan bahwa penilaian individu
mengenai perghematan waktu pada saat perjalanan kerja (ke dan dari tempat
kerja) semakin meningkat prosentasenya terhadap upah seperti ditunjukkan pada
Tabel 2.21. dapat dilihat bahwa sebelum tahun 1970, nilai waktu rata-rata
adalah 30% dari upah, tahun 1971 - 1979 nilai waktu rata-ratanya adalah 40% dan
setelah tahun 1980 nilai waktu rata-ratanya mencapai 56% dari upah.
Tabel 2.22 Nilai waktu perjalanan berdasarkan data internasional
1965 – 1995 (dipilih)
Studi/Penulis
|
Negara
|
Waktu
|
Nilai Waktu
Perjalanan sebagai prosentase dari upah
|
Beesley
|
UK
|
1965
|
39%
|
Quarmby
|
UK
|
1967
|
23%
|
Stopher
|
UK
|
1968
|
27%
|
Oort
|
USA
|
1969
|
33%
|
Lee & Dalvi
|
UK
|
1971
|
35%
|
Wabe
|
UK
|
1972
|
43%
|
Hensher
|
Australia
|
1977
|
37%
|
Nelson
|
USA
|
1977
|
33%
|
Edmonds
|
Japan
|
1983
|
46%
|
Ministry of Transport
|
UK
|
1984
|
43%
|
Mau, et al
|
USA
|
1986
|
46%
|
Louis Berger
|
Panama
|
1995
|
56%
|
Sumber :
International Studies (1965 – 1995)
2.
Feasibility Study on
Road Network Improvement in Bali (1995)
Dalam laporan akhir Feasibility
Study on Road Network Improvement in Bali (Korea International Cooperation
Agency, 1995), konsultan menghitung rata-rata upah di Bali adalah Rp. 858
per jam. Dengan menggunakan asumsi tingkat pendapatan yang berbeda antara
pemilik dan yang bukan pemilik kendaraan serta proporsi perjalanan bisnis maka
nilai waktu perjalanan per kendaraan per jam seperti pada Tabel 2.22. Selain
perjalanan bisnis, seperti perjalanan rekreasi dihitung 25% dari upah dan
terdapat penerapan perbedaan antara pemilik dan yang bukan pemilik kendaraan.
Tabel 2.23 Nilai waktu perjalanan studi feasibility study on road network improvement
in Bali (1995)
Jenis Kendaraan
|
Nilai Waktu (Rp/Jam)
|
Sepeda Motor
|
Rp. 713
|
Mobil
|
Rp. 3.566
|
Bis
|
Rp. 6.240
|
Sumber: Nasional &
Local Studies (1995-1997)
3.
Preparation of Urban
Road Infrastructure Improvements in Denpasar (1997)
Berdasarkan data statistik mengenai pendapatan berbagai jenis
pekerjaan per kabupaten, didapatkan bahwa rata-rata pendapatan di Denpasar dan
Badung adalah 25% lebih besar dari kabupaten-kabupaten lain di Bali. Juga
diperoleh bahwa nilai waktu perjalanan bisnis adalah 65% lebih besar dari
rata-rata perjalanan lainnya. Nilai ekonomi dari waktu perjalanan bisnis
didapatkan Rp.3.270 per jam dan berdasarkan hasil studi tersebut juga diperoleh
nilai waktu perjalanan untuk berbagai jenis kendaraan seperti pada Tabel 2.23.
Tabel 2.24 Nilai waktu perjalanan preparation of urban road infrastructure
improvements in Denpasar (1997)
Jenis Kendaraan
|
Nilai Waktu (Rp/Jam)
|
Sepeda Motor
|
Rp. 497
|
Bis Mobil
|
Rp. 2.547
|
Bis
|
Rp. 1.156
|
Sumber: Nasional &
Local Studies (1995-1997)
4.
Public Transport Study BUIP (PTS-BUIP), 1999
Dalam studi ini nilai waktu perjalanan untuk pemilik usaha
dinilai 100% dari pendapatan terhadap berbagai jenis kendaraan. Perjalanan dari
rumah ke tempat kerja dinilai 50% dari tingkat pendapatan. Dalam studi ini
dapat diketahui perjalanan dari dan ke tempat kerja menjadi bagian yang
signifikan dari keseluruhan arus lalu lintas dan sebagai hal yang sangat
penting dalam menentukan arus jam puncak. Sejauh ini belum ada metode yang
tepat untuk menghitung nilai hambatan perjalanan dari dan ke tempat kerja di
Indonesia. Perjalanan yang
cukup panjang ke tempat kerja akan melelahkan dan menurunkan produktifitas.
Hambatan di perjalanan ke tempat kerja juga menyebabkan seseorang terlambat
tiba di tempat kerja, sehingga mengurangi waktu kerja efektif. Penghematan
waktu untuk perjalanan kerja adalah 50% dari upah. Nilai waktu perjalanan
berdasarkan perkiraan pendapatan per jenis kendaraan dapat dilihat pada Tabel
2.24.
Tabel
2.25 Nilai
waktu perjalanan berdasarkan perkiraan pendapatan per jenis kendaraan
Batas Pendapatan
(Rp. 000)
|
Median
(Rp. 000)
|
Bis
|
Sepeda Motor
|
Mobil
|
< 199
|
170
|
3,7%
|
3,7%
|
0,8%
|
200 – 299
|
250
|
11,9%
|
9,8%
|
5,6%
|
300 – 499
|
400
|
18,9%
|
18,8%
|
9,7%
|
500 – 749
|
625
|
24,4%
|
19,9%
|
14,3%
|
750 – 999
|
875
|
14,7%
|
16,0
|
15,0%
|
1.000 –
1.999
|
1.500
|
21,9%
|
29,9%
|
36,1%
|
> 2.000
|
2.500
|
4,5%
|
5,0%
|
18,4%
|
Jumlah
sampel perjalanan
|
402
|
5.730
|
1.768
|
|
Rata-rata
(Rp./RT/bulan)
|
833,3
|
898,1
|
1.276,9
|
|
Rata-rata
(Rp./Pekerja)
|
420,8
|
453,6
|
644,9
|
|
Pekerja
(Rp./jam)
|
2.550
|
2.70
|
3.910
|
Sumber : Pem. Prop.
Bali DLLAJ (1999)
Catatan : RT = Rumah Tangga
Rata-rata anggota keluarga
rumah tangga yang bekerja = 1,98
Rata-rata jam kerja per bulan
= 160 jam
Nilai ekonomi untuk waktu perjalanan
penumpang adalah seperti pada Tabel 2.24, dengan salah satu asumsi
perjalanan bukan untuk kerja tidak mempunyai nilai ekonomi sedangkan asumsi
yang satu lagi perjalanan yang bukan untuk kerja dinilai 30% dari rata-rata
upah.
Tabel
2.26 Nilai ekonomi waktu perjalanan
berdasarkan jenis kendaraan hasil studi PTS-BUIP (1999)
Jenis Kendaraan
|
Asumsi perjalanan non kerja tidak ada nilai
|
Asumsi perjalanan non kerja nilainya 30% x upah
|
||
Rp/pnp/jam
|
Rp/pnp/jam
|
Rp/pnp/jam
|
Rp/pnp/jam
|
|
Sepeda
Motor
|
595
|
780
|
1.132
|
1.490
|
Mobil
& Taxi
|
992
|
2.020
|
1.491
|
3.040
|
Pick up
|
852
|
840
|
1.313
|
1.300
|
Bis Kecil
|
476
|
1.670
|
1.045
|
3.670
|
Bis Besar
|
850
|
14.790
|
1.300
|
22.620
|
Sumber : Pem.
Prop. Bali, DLLAJ (1999)
2.4.5
Perumusan Perhitungan Biaya Perjalanan
Tundaan
lalu lintas adalah gangguan-gangguan lalu lintas yang menjadi hambatan
perjalanan sehingga dapat memperbesar waktu tempuh. Setelah dijelaskan
komponen-komponen dari perumusan perhitungan biaya perjalanan maka selanjutnya
diuraikan bentuk perumusannya.
Bentuk perhitungan diatas dapat dirumuskan
sebagai berikut (Tamin dan Nahdalina, 1998) :
D
= ΣQ x t x (BOK + NW)
................................................. (2.17)
Keterangan :
D = Selisih biaya perjalanan dengan dan tanpa
terjadinya tundaan. Selisih biaya ini didasarkan jenis moda, ruas jalan, arah
pergerakan dan waktu kemacetan (Rp).
ΣQ = Volume lalu lintas pada jam puncak
(kendaraan/jam)
∆t = Selisih
waktu tempuh antara kondisi dengan
dan tanpa tundaan lalu lintas (jam).
BOK = Biaya Operasi Kendaraan (Rp/jam).
NW = Nilai waktu perjalanan (Rp/jam).
Dalam studi ini tambahan waktu perjalanan terjadi sebagai
akibat dari volume lalu lintas yang terjadi melebihi kapasitas jalan (terjadi
tundaan lalu lintas).
Oleh karena itu studi ini bersifat
menilai dampak dari adanya tundaan terhadap sirkulasi lalu lintas dalam bentuk
biaya (rupiah). Adapun yang menjadi penekanan dalam perhitungan adalah perubahan
waktu tempuh dan aspek moneter yaitu biaya operasi kendaraan dan nilai waktu
perjalanan. Sedangkan untuk melihat jumlah kendaraan yang terkena pengaruh
kemacetan lalu lintas, dihitung dari volume kendaraan pada saat terjadi tundaan
(macet). Waktu tempuh yang dimaksud disini merupakan total waktu yang
diperlukan untuk melakukan pergerakan sepanjang ruas jalan yang dituju (segmen
jalan).
Sehubungan dengan itu untuk melihat
biaya dari tundaan yang terjadi, dilakukan perhitungan selisih biaya perjalanan
antara volume lalu lintas pada waktu puncak dengan kecepatan tempuh pada
kondisi adanya tundaan dengan kondisi kecepatan arus bebas.
Dengan demikian persamaan di atas dapat ditulis sebagai
berikut :
D = ΣQ x ((t1 x (BOK1
+ NW1)) – (t0 x (BOK0 + NW0))) ...............
(2.18)
Keterangan :
Indeks 1
menunjukkan kondisi setelah adanya tundaan lalu lintas (eksisting).
Indeks 0
menunjukkan kondisi kecepatan arus bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar