Senin, 03 Desember 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1              Klasifikasi dan Fungsi Jalan
            Sesuai dengan undang-undang tentang jalan No. 38 tahun 2004 dan menurut peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2006, sistem jaringan jalan di Indonesia dapat dibedakan sebagai berikut:
A.    Berdasarkan Kelas Jalan
a.       Kelas Jalan I
Jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18000 milimeter, ukuran paling tinggi 4200 milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 ton.
b.      Kelas Jalan II
Jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18000 milimeter, ukuran paling tinggi 4200 milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 ton.
c.       Kelas Jalan III
Jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2100 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9000 milimeter, ukuran paling tinggi 3500 milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 ton.
d.      Kelas Jalan Khusus
Jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18000 milimeter, ukuran paling tinggi 4200 milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton.

B.     Berdasarkan Fungsinya.
a.       Jalan arteri primer, ialah jalan yang menghubungkan kota jenjang ke satu dengan kota jenjang kedua.
Untuk jalan arteri primer wilayah perkotaan, mengikuti kriteria sebagai berikut:
1.      Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan arteri primer luar kota.
2.      Jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer.
3.      Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam.
4.      Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.
5.      Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional. Untuk itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik dan lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal.
6.      Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan menggunakan jalan ini.
7.      Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien, jarak antara jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 meter.
8.      Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu, sesuai dengan volume lalu lintasnya.
9.      Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas harian rata-rata.
10.  Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi jalan yang lain.
11.  Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan ini seharusnya tidak diijinkan. 
b.      Jalan kolektor primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. Untuk wilayah perkotaan kriterianya:
1.      Jalan kolektor primer kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota.
2.      Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer.
3.      Dirancang untuk kecepatan rencana 40 km/jam.
4.      Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.
5.      Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien dan jarak antaranya lebih dari 400 meter.
6.      Kendaraan angkutan berat dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini.
7.      Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu sesuai dengan volume lalu lintasnya.
8.      Kapasitasnya sama atau lebih besar dari volume lalu lintas harian rata-rata.
9.      Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diijinkan pada jam sibuk.
10.  Besarnya LHR pada umumnya lebih rendah daripada jalan arteri primer.
c.       Jalan lokal primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persiil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota dibawahnya, atau jenjang ketiga dengan persil atau kota dibawah jenjang ketiga sampai persil.
Kriteria untuk jalan lokal primer:
1.      Merupakan terusan jalan lokal primer luar kota.
2.      Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer iainnya.
3.      Dirancang untuk kecepatan rencana 20 km/jam.
4.      Kendaraan angkutan barang dan bus diijinkan melalui jalan ini.
5.      Lebar jalan tidak kurang dari 5 meter.
6.      Besarnya LHR pada umumnya paling rendah pada sistem primer.
Kawasan primer adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi primer. Fungsi primer adalah  fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah pengembangannya.
d.      Jalan lingkungan primer, ialah jalan yang menghubungkan antarpusat kegiatan didalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan. Persyaratan teknisnya adalah :
1.      Jalan lingkungan primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 15 km/jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 6,5 meter.
2.      Persyaratan teknis jalan lingkungan primer diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih.
3.      Jalan lingkungan primer yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter.
e.       Jalan arteri sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Kriteria untuk jalan perkotaan:
1.      Dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam.
2.      Lebar jalan tidak kurang dari 7 meter.
3.      Kendaraan angkutan barang berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di daerah permukiman.
4.      Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi.
5.      Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup.
6.      Besarnya LHR pada umumnya lebih rendah dari sistem primer.
f.       Jalan kolektor sekunder, ialah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Persyaratan teknisnya adalah :
1.      Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9 meter.
2.      Jalan kolektor sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata.
3.      Pada jalan kolektor sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.
4.      Persimpangan sebidang pada jalan kolektor sekunder dengan pengaturan tertentu harus memenuhi ketentuan.
g.      Jalan lokal sekunder, menghubungkan antar kawasan sekunder ketiga atau dibawahnya dan kawasan sekunder dengan perumahan. Kriteria untuk daerah perkotaan adalah:
1.      Dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam.
2.      Lebar badan jalan tidak kurang dari 5 meter.
3.      Kendaraan angkutan barang dan bus tidak diijinkan melalui jalan ini di daerah pemukiman.
4.      Besarnya LHR umumnya paling rendah dibanding fungsi jalan yang lain.
h.      Jalan lingkungan sekunder, ialah jalan yang menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan. Persyaratan teknisnya adalah :
1.      Jalan lingkungan sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana    paling rendah 10 (sepuluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan        paling sedikit 6,5 (enam koma lima) meter.
2.      Jalan lingkungan sekunder yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter.

C.     Berdasarkan Wewenang Pembinaan
a.       Jalan Nasional, yang termasuk kelompok ini adalah jalan arteri primer, jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi dan jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional. Penerapan status suatu jalan sebagai jalan nasional dilakukan dengan keputusan Menteri.
b.      Jalan Propinsi, yang termasuk kelompok jalan propinsi adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan Ibukota Propinsi dengan Ibukota Kabupaten/Kotamadya atau antar Ibukota Kabupaten/Kotamadya. Penetapan suatu jalan sebagai jalan propinsi dilakukan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri atas usulan Pemda Tingkat I yang bersangkutan, dengan memperhatikan pendapat Menteri.
c.       Jalan Kabupaten, yang termasuk kelompok jalan Kabupaten adalah kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan propinsi, jalan lokasi primer, jalan sekunder dan jalan lain yang tidak termasuk dalam kelompok jalan nasional atau jalan propinsi serta jalan kotamadya. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan kabupaten dilakukan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usul Pemda Tingkat II yang bersangkutan.
d.      Jalan Kotamadya, yang termasuk kelompok jalan Kotamadya adalah jalan sekunder di dalam kotamadya. Penetapan status suatu ruas jalan arteri sekunder dan atau ruas jalan kolektor sekunder sebagai jalan Kotamadya dilakukan dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usulan Pemda Kotamadya yang bersangkutan.
e.       Jalan Tol, adalah jalan yang dibangun dimana kepemilikan dan penyelenggaraannya ada pada pemerintah atas usul Menteri, Presiden menetapkan suatu ruas jalan tol dan haruslah merupakan alternatif lintas jalan yang ada. Jalan tol harus mempunyai spesifikasi yang lebih tinggi daripada lintas jalan umum yang ada. Persyaratan lainnya, jalan tol harus memberikan keandalan yang lebih tinggi kepada para pemakaiannya daripada jalan umum yang ada, yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.

2.2              Karakteristik Wilayah Studi
            Studi ini menghitung besarnya biaya perjalanan sebagai akibat terjadinya tundaan lalu lintas yang mengambil studi pada ruas Jalan Imam Bonjol. Bagian ruas Jalan Imam Bonjol pada wilayah studi terletak di Kecamatan Denpasar Barat dengan lebar jalur lalu lintas efektif yaitu 10 meter, panjang jalan 1 km dan tanpa bahu jalan, serta memiliki arus lalu lintas dua lajur dua arah tanpa median (2/2 UD). Ruas Jalan Imam Bonjol merupakan jalan utama menuju ke tempat-tempat aktivitas, dengan volume lalu lintas yang padat serta hambatan samping yang tinggi sehingga dapat memicu terjadinya tundaan lalu lintas seperti kemacetan.

2.3              Kondisi Geometrik dan Kondisi Lingkungan
Dalam menghitung kapasitas dan ukuran kinerja ruas jalan, data kondisi geometrik dan lingkungan yang perlu diketahui adalah sebagai berikut:
1.       Kondisi Geometrik
Yang dimaksud data kondisi geometrik antara lain:
a.       Jalur gerak yaitu badan jalan yang direncanakan khusus untuk kendaraan bermotor lewat, berhenti dan parkir (termasuk bahu).
b.      Jalur jalan yaitu seluruh bagian dari jalur gerak, median dan pemisah luar.
c.       Median yaitu daerah yang memisahkan arah lalu lintas pada suatu segmen jalan.
d.      Lebar jalur yaitu lebar jalur jalan yang dilewati lalu lintas, tidak termasuk bahu.
e.       Lebar jalur efektif yaitu lebar rata-rata yang tersedia bagi gerak lalu lintas setelah dikurangi untuk parkir tepi jalan, atau halangan lain sementara yang menutup jalan.
f.       Kerb yaitu batas yang ditinggikan dari bagian bahu antara pinggir jalur lalu lintas dengan trotoar.
g.      Trotoar yaitu bagian dari jalan yang disediakan bagi pejalan kaki yang dipisahkan dari jalur jalan oleh kerb.
h.      Jarak penghalang kerb yaitu jarak dari kerb ke penghalang di trotoar (misalnya pohon, tiang lampu).
i.        Lebar bahu yaitu lahan di sisi jalur jalan yang disediakan untuk kendaraan berhenti kadang-kadang pejalan kaki dan kendaraan yang bergerak lambat.
j.        Lebar bahu efektif yaitu lebar bahu yang benar-benar tersedia untuk digunakan, setelah pengurangan akibat penghalang seperti pohon, dsb.
k.      Panjang jalan yaitu panjang segmen jalan yang dipelajari (termasuk persimpangan kecil).
l.        Tipe jalan
Tipe jalan menentukan jumlah lajur dan arah dalam suatu segmen jalan:
-       2 lajur 1 arah (2/1)
-       2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2 UD)
-       4 lajur 2 arah tak terbagi (4/2 UD)
-       4 lajur 2 arah terbagi (4/2 D)
-       6 lajur 2 arah terbagi (6/2 D
m.    Jumlah lajur
Jumlah lajur ditentukan dari marka jalan atau dari lebar efektif jalur untuk segmen jalan:
-  Lebar jalur efektif 5 s/d 10,5 meter                      jumlah lajur 2
-  Lebar jalur efektif 10,5 s/d 16 meter                    jumlah lajur 4

2.       Kondisi Lingkungan
a.       Ukuran kota adalah jumlah penduduk di dalam kota (juta). Kelas ukuran kota ditentukan berdasarkan tabel berikut :






Tabel 2.1  Kelas ukuran kota
Ukuran Kota (Juta Penduduk)
Kelas Ukuran Kota (CS)
< 0,1
Sangat Kecil
0,1 – 0,5
Kecil
0,5 – 1,0
Sedang
1,0 – 3,0
Besar
> 3,0
Sangat besar
Sumber : MKJI (1997)

b.      Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas samping segmen jalan, seperti pejalan kaki (bobot = 0,5), kendaraan umum atau kendaraan lain berhenti (bobot = 1,0), kendaraan masuk atau keluar sisi jalan (bobot = 0,7) dan kendaraan lambat (bobot = 0,4).

Tabel 2.2  Kelas hambatan samping untuk jalan perkotaan
Frekuensi perbobot kejadian per 200 m per jam (dua sisi)
Kondisi Khusus
Kelas hambatan samping
< 100
Pemukiman, hampir tidak ada kegiatan
Sangat rendah
VL
100 – 299
Pemukiman, beberapa angkutan umum, dll
Rendah
L
300 – 499
Daerah industri dengan toko-toko di sisi jalan
Sedang
M
500 – 899
Daerah niaga dengan aktifitas sisi jalan yang tinggi
Tinggi
H
> 900
Daerah niaga dengan aktivitas sisi jalan yang sangat tinggi
Sangat tinggi
VH
Sumber : MKJI (1997)

2.3.1        Variabel
Variabel yang digunakan dalam perhitungan kapasitas dan ukuran kinerja segmen adalah:  
1.      Arus  dan komposisi lalu lintas
Dalam MKJI, nilai arus lalu lintas (Q) dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang dengan mengalikan jumlah kendaraan dengan ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris berdasarkan tipe kendaraan berikut:
·      Kendaraan ringan (LV) termasuk mobil penumpang, opelet, mikrobis, pik-up, dan truk kecil sesuai sistem klasifikasi Bina Marga.
·      Kendaraan berat (HV) termasuk bis, truk dua as, truk 3 as dan truk kombinasi sesuai sistem klasifikasi Bina Marga.
·      Sepeda motor (MC).
·      Pengaruh kendaraan tak bermotor dimasukkan sebagai kejadian terpisah dalam faktor  penyesuaian hambatan samping.
Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk masing-masing tipe kendaraan tergantung pada tipe jalan dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam kendaraan/jam.

Tabel 2.3 Emp untuk jalan perkotaan tak terbagi
Tipe Jalan : Jalan Tak Terbagi
Arus Lalu Lintas Total dua arah (kend/jam)
Emp
HV
MC
Lebar Jalur Lalu Lintas
Wc (m)
< 6
> 6
Dua lajur tak terbagi
(2/2 UD)
0
>1800
1,3
1,2
0,5
0,35
0,40
0,25
Empat lajur tak terbagi
(4/2 UD)
0
>3700
1,3
1,2
0,40
0,25
Sumber : MKJI (1997)

Tabel 2.4  Emp untuk jalan perkotaan terbagi dan satu arah
Tipe jalan : jalan satu arah dan jalan terbagi
Arah lalu lintas per jalur (kend/jam)
Emp
HV
MC
Dua lajur satu arah (2/1) Dan
Empat lajur terbagi (4/2 D)
0
1050
1,3
1,2
0,40
0,25
Tiga lajur satu arah (3/1) Dan
Enam lajur terbagi (6/2 D)
0
1100
1,3
1,2
0,40
0,25
Sumber : MKJI (1997)

2.      Kecepatan arus bebas
Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan.
Kecepatan arus bebas telah diamati melalui pengumpulan data lapangan, dimana hubungan antar kecepatan arus bebas dengan kondisi geometrik dan lingkungan ditentukan dengan metode regresi. Kecepatan arus bebas untuk kendaraan ringan telah dipilih sebagai dasar untuk kriteria dasar untuk kinerja segmen jalan pada arus = 0. Kecepatan arus bebas untuk kendaraan berat dan sepeda motor juga diberikan sebagai rujukan. Kecepatan arus bebas mobil penumpang biasanya 10-15% lebih tinggi dari tipe kendaraan ringan lain. Persamaan untuk kecepatan arus bebas mempunyai bentuk umum sebagai berikut (MKJI, 1997):
FV = (FVO +  FVw) x FFVSF x FFVCS ............................................... (2.1)
Keterangan :
FV       =  kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk kondisi sesungguhnya (km/jam).
FVO     =  kecepatan arus bebas dasar untuk kendaraan ringan pada jalan yang diamati (km/jam).
FVW     =  penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan (km/jam).
FFVSF  =  faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu atau jarak kerb penghalang
FFVCS =  faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota.









Tabel 2.5 Kecepatan arus bebas dasar (FVO) untuk jalan perkotaan
Tipe Jalan
Kecepatan arus bebas dasar FVo (km/jam)
Kendaraan ringan (LV)
Kendaraan Berat (HV)
Sepeda motor (MC)
Semua Kendaraan (rata-rata)
Enam lajur terbagi (6/2 D)
Atau
Tiga lajur satu arah (3/1)
61
52
48
57
Empat lajur terbagi (4/2 D)
Atau
Dua lajur satu arah (2/1)
57
50
47
55
Empat lajur tak terbagi
(4/2 UD)
53
46
43
51
Dua lajur tak terbagi
(2/2 UD)
44
40
40
42
Sumber : MKJI (1997)

Tabel 2.6 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalulintas (FVW)
Tipe Jalan
Lebar Jalur Efektif (W) (m)
FVW
Empat lajur terbagi atau jalan satu arah
Per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00

-4
-2
0
2
4
Empat lajur tak terbagi
Per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00

-4
-2
0
2
4
Dua lajur tak terbagi
Total dua arah
5
6
7
8
9
10
11

-9,5
-3
0
3
4
6
7
Sumber : MKJI (1997)



Tabel 2.7   Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas akibat hambatan samping FFVSF untuk jalan yang mempunyai bahu jalan
Tipe Jalan
Kelas hambatan samping
Faktor koreksi akibat hambatan samping dan lebar bahu jalan efektif (FFVSF)
Lebar bahu efektif rata-rata (m)
< 0,5
1,0
1,5
> 2,0
Empat lajur terbagi (4/2 D)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
1,02
0,98
0,94
0,89
0,84
1,03
1,00
0,97
0,93
0,88
1,03
1,02
1,00
0,96
0,92
1,04
1,03
1,02
0,99
0,96
Empat lajur tak terbagi (4/2 D)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
1,02
0,98
0,93
0,87
0,80
1,03
1,00
0,96
0,91
0,86
1,03
1,02
0,99
0,94
0,90
1,04
1,03
1,02
0,98
0,95
Dua lajur tak terbagi atau jalan satu arah
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
1,00
0,96
0,91
0,82
0,73
1,01
0,98
0,93
0,86
0,79
1,01
0,99
0,96
0,90
0,85
1,01
1,00
0,09
0,95
0,91
Sumber : MKJI (1997)














Tabel 2.8   Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan samping (FFVSF) untuk jalan yang mempunyai kerb
Tipe Jalan
Kelas Hambatan Samping
Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan jarak kerb penghalang (FFVSF)
Jarak kerb penghalang (m)
≤ 0,5
1,0
1,5
≥ 2,0
Empat Lajur Terbagi (4/2 D)
Sangat Rendah
1,00
1,01
1,01
1,02
Rendah
0,97
0,98
0,99
1,00
Sedang
0,93
0,95
0,97
0,99
Tinggi
0,87
0,90
0,93
0,96
Sangat Tinggi
0,81
0,85
0,88
0,92
Empat Lajur Tak Tebagi (4/2 UD)
Sangat Rendah
1,00
1,01
1,01
1,02
Rendah
0,96
0,98
0,99
1,00
Sedang
0,91
0,93
0,96
0,98
Tinggi
0,84
0,87
0,90
0,94
Sangat Tinggi
0,77
0,81
0,85
0,90
Dua Lajur Tak Terbagi 2/2UD atau Jalan Satu Arah
Sangat Rendah
0,98
0,99
0,99
1,00
Rendah
0,93
0,95
0,96
0,98
Sedang
0,87
0,89
0,92
0,95
Tinggi
0,78
0,81
0,84
0,88
Sangat Tinggi
0,68
0,72
0,77
0,82
Sumber : MKJI (1997)

Tabel 2.9   Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota (FFVCS) untuk jalan perkotaan
Ukuran kota (juta penduduk)
Faktor koreksi untuk ukuran kota
< 0,1
0,90
0,1 – 0,5
0,93
0,5 – 1,0
0,95
1,0 – 1,3
1,00
> 1,3
1,03
Sumber : MKJI (1997)

3.      Kapasitas Jalan
Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum yang melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), sedangkan untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur.
Nilai kapasitas telah diamati melalui pengumpulan data lapangan selama memungkinkan. Kapasitas juga mengasumsikan hubungan matematik antara kerapatan, kecepatan dan arus. Kapasitas (C) dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp).
Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah sebagai berikut (MKJI, 1997):
C = CO x FCW x FCSP x FCSF x FCCS …………………...…………… (2.2)
Keterangan:
C           = kapasitas (smp/jam)
Co         = kapasitas dasar (smp/jam)
FCW       = faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP      = faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi)
FCSF      = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kereb
FCCS      = faktor penyesuaian ukuran kota (jumlah penduduk)

Tabel 2.10  Kapasitas dasar CO, untuk jalan perkotaan
Tipe Jalan
Kapasitas dasar
Keterangan
Empat lajur terbagi atau jalan satu arah
1650
Per lajur
Empat lajur tak terbagi
1500
Per lajur
Dua lajur tak terbagi
2900
Total dua arah
Sumber : MKJI (1997)

Kapasitas dasar untuk jalan yang lebih dari empat lajur dapat diperkirakan dengan menggunakan kapasitas per lajur pada tabel 2.10, meskipun mempunyai lebar jalan yang tidak baku.





Tabel 2.11 Faktor koreksi kapasitas akibat lebar jalur (FCW)
Tipe Jalan
Lebar Jalan  Efektif (m)
FCW
Empat lajur terbagi atau jalan satu arah
Per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00

0,92
0,96
1,00
1,04
1,08
Empat lajur tak terbagi
Per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00

0,91
0,95
1,00
1,05
1,09
Dua lajur tak terbagi
Total dua arah
5
6
7
8
9
10
11

0,56
0,87
1,00
1,14
1,25
1,29
1,34
Sumber : MKJI (1997)
Faktor koreksi kapasitas untuk jalan yang mempunyai lebih dari empat lajur dapat diperkirakan dengan menggunakan koreksi kapasitas untuk kelompok jalan empat lajur.

Tabel 2.12 Faktor koreksi kapasitas untuk pemisah arah (FCSP)
Pemisah arah %-%
50-50
55-45
60-40
65-35
70-30
FCSP
Dua-lajur 2/2
1,00
0,97
0,94
0,91
0,88
Empat-lajur 4/2
1,00
0,985
0,97
0,955
0,94
Sumber : MKJI (1997)
Untuk jalan terbagi dan jalan satu arah, faktor koreksi kapasitas akibat pemisah arah adalah 0,1.





Tabel 2.13   Faktor koreksi kapasitas akibat hambatan samping (FCSF) untuk jalan yang mempunyai bahu jalan
Tipe Jalan
Kelas hambatan samping
Faktor koreksi akibat hambatan samping dan lebar bahu  (FCSF)
Lebar bahu efektif
< 0,5 m
1,0 m
1,5 m
> 2,0 m
Empat lajur terbagi (4/2 D)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,96
0,94
0,92
0,88
0,84
0,98
0,97
0,95
0,92
0,88
1,01
1,00
0,98
0,95
0,92
1,03
1,02
1,00
0,98
0,96
Empat lajur tak terbagi (4/2 D)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,96
0,94
0,92
0,87
0,80
0,99
0,97
0,95
0,91
0,86
1,00
1,00
0,98
0,94
0,90
1,03
1,02
1,00
0,98
0,95
Dua lajur tak terbagi atau jalan satu arah
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,94
0,92
0,89
0,82
0,73
0,96
0,94
0,92
0,86
0,79
0,99
0,97
0,95
0,90
0,85
1,01
1,00
0,98
0,95
0,91
Sumber : MKJI (1997)

Tabel 2.14   Faktor koreksi kapasitas akibat hambatan samping (FCSF) untuk jalan yang mempunyai kerb
Tipe Jalan
Kelas hambatan samping
Faktor koreksi akibat hambatan samping dan jarak kerb penghalang (FCSF)
Lebar kerb
< 0,5 m
1,0 m
1,5 m
> 2,0 m
Empat lajur terbagi (4/2 D)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,95
0,94
0,91
0,86
0,81
0,97
0,96
0,93
0,89
0,85
0,99
0,98
0,95
0,92
0,88
1,01
1,00
0,98
0,95
0,92
Empat lajur tak terbagi (4/2 D)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,95
0,93
0,90
0,84
0,77
0,97
0,95
0,92
0,87
0,81
0,99
0,97
0,95
0,90
0,85
1,01
1,00
0,97
0,93
0,90
Dua lajur tak terbagi
(2/2 UD) atau jalan satu arah
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,93
0,90
0,86
0,78
0,68
0,95
0,92
0,88
0,81
0,72
0,97
0,95
0,91
0,84
0,77
0,99
0,97
0,94
0,88
0,82
Sumber : MKJI (1997)
Tabel 2.15   Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (FCCS)
Ukuran kota
(Juta Penduduk)
Faktor koreksi untuk ukuran kota (FCCS)
< 0,1
0,86
0,1 – 0,5
0,90
0,5 – 1,0
0,94
1,0 – 1,3
1,00
> 1,3
1,04
Sumber : MKJI (1997)

4.      Derajat Kejenuhan
Derajat  kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus (Q) terhadap kapasitas (C), digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak, perumusannya adalah sebagai berikut (MKJI, 1997):
DS   =    ......................................................................................... (2.3)
Keterangan :
            DS       =  Derajat kejenuhan.
            Q         =  Arus lalu lintas yang melalui suatu titik (smp/jam).
            C         =  kapasitas (smp/jam).
Derajat kejenuhan (DS) dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas. DS digunakan untuk analisa tingkat kinerja yang berkaitan dengan kecepatan. Dimana pada penelitian ini, kondisi arus jenuh (macet) diambil DS > 0,75

5.      Kecepatan
Kecepatan adalah jarak yang ditempuh dalam satuan waktu, atau nilai perubahan jarak terhadap waktu. Kecepatan dari suatu kendaraan dipengaruhi oleh faktor–faktor manusia, kendaraan, prasarana, serta dipengaruhi pula oleh kondisi arus lalu lintas, kondisi cuaca dan kondisi lingkungan sekitarnya. Kecepatan dipakai sebagai pengukur kualitas perjalanan bagi pengemudi.
Manual kapasitas jalan raya menggunakan kecepatan tempuh perjalanan sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan, karena mudah dimengerti dan diukur, dan merupakan masukan yang penting untuk biaya pemakai jalan dalam analisa ekonomi. Kecepatan tempuh didefinisikan dalam manual ini sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen jalan (MKJI, 1997):
            V  =    ................................................................................ (2.4)
Keterangan :
            V     =  kecepatan rata-rata ruang (km/jam)
            L      =  panjang (km)
            TT    =  waktu tempuh rata-rata sepanjang segmen (jam)
Gambar 2.1  Kecepatan sebagai fungsi dari Q/C untuk jalan 2/2 UD
Sumber : MKJI (1997)

6.      Tingkat Pelayanan Jalan
Tingkat pelayanan adalah indikator yang dapat mencerminkan tingkat kenyamanan ruas jalan, yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada terhadap kapasitas jalan tersebut (MKJI ,1997).
Tingkat pelayanan jalan ditentukan dalam suatu skala interval yang terdiri dari 6 (enam) tingkat. Tingkat–tingkat ini dinyatakan dengan huruf A yang merupakan tingkat pelayanan tertinggi sampai F yang merupakan tingkat pelayanan paling rendah. Apabila volume lalu lintas meningkat, maka tingkat pelayanan jalan menurun karena kondisi lalu lintas yang memburuk akibat interaksi dari faktor–faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan. Adapun faktor–faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan, antara lain :
1.      Volume
2.      Kapasitas
3.      Kecepatan
Hubungan antara tingkat pelayanan jalan, karakteristik arus lalu lintas dan rasio volume terhadap kapasitas (Rasio DS=Q/C) adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.16.

 Tabel 2.16  Hubungan antara tingkat pelayanan jalan, karakteristik arus lalu lintas
dan rasio volume terhadap kapasitas (Rasio Q/C)
Tingkat Pelayanan
Keterangan
Derajat Kejenuhan (DS)
A
Keadaan arus bebas, volume rendah, kecepatan tinggi, kepadatan rendah, kecepatan ditentukan oleh kemauan pengemudi, pembatasan kecepatan dan kondisi fisik jalan.
0.00 – 0.20
B
Keadaan arus stabil, kecepatan perjalanan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, dalam batas dimana pengemudi masih mendapatkan kebebasan yang cukup dalam memilih kecepatannya. Batas terbawah dari tingkat pelayanan ini (kecepatan terendah dengan volume normal) digunakan untuk ketentuan-ketentuan perencanaan jalan-jalan di luar kota.
0.21 – 0.44
C
Keadaan  arus masih stabil,  kecepatan dan pergerakan lebih ditentukan oleh volume yang tinggi sehingga pemilihan kecepatan sudah terbatas dalam batas-batas kecepatan jalan yang masih cukup memuaskan. Biasanya ini digunakan untuk ketentuan-ketentuan perencaanan jalan-jalan dalam kota.
0.45 – 0.74
D
Keadaan arus mendekati tidak stabil, dimana kecepatan yang dikehendaki secara terbatas masih bisa dipertahankan, meskipun sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam keadaan perjalanan yang sangat menurunkan kecepatan yang cukup besar.
0.75 – 0.84
E
Keadaan arus tidak stabil, tidak dapat ditentukan hanya dari kecepatan saja, sering terjadi kemacetan (berhenti) untuk beberapa saat, volume hampir sama dengan kapasitas jalan sedang.
0.85 – 1.0
F
Keadaan arus yang bertahan atau arus terpaksa (force down), kecepatan rendah sedang volume ada di bawah kapasitas dan membentuk rentetan kendaraan, sering terjadi kemacetan dalam waktu yang cukup lama. Dalam keadaan ekstrem, kecepatan dan volume dapat turun mencapai nol.
-
Sumber : TRB (1994)
Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio Q/C, namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas jalan. Kecepatan operasi dapat diketahui dari survei langsung di lapangan. Apabila kecepatan operasi telah didapat, maka akan dapat dibandingkan dengan kecepatan optimum (kecepatan yang dipilih pengemudi pada saat kondisi tertentu). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.2 Hubungan umum antara kecepatan, tingkat pelayanan dan rasio volume terhadap kapasitas jalan
Sumber : Tamin, (2000)

2.3.2        Hubungan Arus - Kecepatan - Kepadatan
Prinsip dasar analisa kapasitas segmen jalan adalah kecepatan berkurang jika arus bertambah. Pengurangan kecepatan akibat penambahan volume adalah kecil pada volume rendah tetapi lebih besar pada volume yang lebih tinggi. Dekat kapasitas, pertambahan volume yang sedikit akan menghasilkan pengurangan kecepatan yang besar. Hubungan ini telah ditentukan secara kuantitatif untuk kondisi standar pada tiap tipe jalan. Setiap kondisi standar mempunyai standar dan karakteristik lingkungan tertentu. Jika karakteristik jalan lebih baik dari kondisi standar (misalnya lebih lebar dari lebar jalur lalu lintas normal), kapasitas menjadi lebih tinggi dan kurva bergeser ke sebelah kanan, dengan kecepatan lebih tinggi pada arus tertentu. Jika karakteristik jalan lebih buruk dan kondisi standar (misalnya hambatan samping tinggi) kurva bergeser ke kiri, kapasitas menjadi berkurang dan kecepatan pada arus tertentu lebih rendah.

Hubungan antara besarnya arus/volume lalu lintas dengan kecepatan (dalam hal ini kecepatan sesaat) dengan kepadatan lalu lintas adalah (yang juga ditunjukkan dalam gambar) sebagai berikut:
·         Hubungan kecepatan dan kepadatan adalah linier yang berarti bahwa semakin tinggi kecepatan lalu lintas dibutuhkan ruang bebas yang lebih besar antar kendaraan yang mengakibatkan jumlah kendaraan per kilometer menjadi lebih kecil.
·         Hubungan kecepatan dan arus adalah parabolik yang menunjukkan bahwa semakin besar arus kecepatan akan turun sampai suatu titik yang menjadi puncak parabola tercapai kapasitas setelah itu kecepatan akan semakin rendah lagi dan arus juga akan semakin mengecil.
·         Hubungan antara arus dengan kepadatan juga parabolik semakin tinggi kepadatan arus akan semakin tinggi sampai suatu titik dimana kapasitas terjadi, setelah itu semakin padat maka arus akan semakin kecil.
Gambar 2.3 Hubungan arus – kecepatan - kepadatan
Sumber : Tamin (2000)
2.4              Biaya Tundaan Lalu Lintas
Tundaan lalu lintas adalah menurunnya kecepatan akibat tundaan waktu perjalanan yang terjadi baik pada persimpangan maupun pada suatu ruas jalan. Tundaan terjadi karena volume lalu lintas melebihi kapasitas yang ada. Hal ini menyebabkan bertambahnya waktu perjalanan yang berpengaruh pada produktifitas masyarakat secara umum karena jalan merupakan prasarana pergerakan yang membantu interaksi antar kegiatan dalam bentuk aliran barang dan orang.
Biaya tundaan merupakan tambahan biaya perjalanan yang terjadi sebagai akibat adanya tambahan waktu perjalanan, baik yang disebabkan oleh tundaan lalu lintas maupun tambahan volume kendaraan yang mendekati atau melebihi kapasitas pelayanan. Hal ini terutama terjadi pada jam puncak. Sisi ekonomi tambahan waktu perjalanan sebagai akibat perkembangan tata guna lahan yang meningkatkan volume lalu lintas di suatu ruas jalan. Biaya tersebut sebagai pengaruh dari turunnya tingkat pelayanan jalan karena bertambahnya volume mendekati kapasitas jalan tersebut.
            Biaya tundaan lalu lintas merupakan biaya yang ditanggung masyarakat sebagai pengguna jalan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah selaku pengatur dan yang memiliki tanggung jawab dalam penyediaan prasarana berupa jaringan jalan, memiliki wewenang dalam pengaturan, pengoperasian dan pemeliharaan jaringan jalan tersebut. Setiap pengguna lahan yang berdampak pada peningkatan volume yang pada akhirnya meningkatkan waktu perjalanan dan turunnya  tingkat pelayanan jalan perlu mendapatkan perhatian yang serius. Untuk itu perlu diperhitungkan suatu usaha penanganan biaya dampak tundaan yang berarti dibutuhkan analisis biaya yang ditimbulkan sebagai akibat tambahan waktu perjalanan yang disebut biaya perjalanan.
            Perumusan biaya tundaan lalu lintas terdiri atas beberapa komponen yaitu volume lalu lintas, waktu tempuh perjalanan, biaya operasi kendaraan dan nilai waktu perjalanan.



2.4.1        Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu titik pada jalur gerak untuk satuan waktu dan diukur dalam menit satuan kendaraan per satuan waktu.
Volume hasil penelitian dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
            Q  =    .................................................................................. (2.5)
Keterangan :
            Q   =  volume lalu lintas yang melalui suatu titik (kend/jam).
      n    =  jumlah kendaraan yang melalui titik dalam interval waktu T (kend).
            T    =  interval waktu pengamatan (jam).

2.4.2        Waktu Tempuh Perjalanan
Waktu tempuh perjalanan merupakan waktu yang dipergunakan oleh sebuah kendaraan untuk melewati suatu ruas jalan. Untuk mencari waktu perjalanan didapat melalui survei kecepatan.
Pada studi ini, metode yang digunakan adalah dengan moving observer (pengamat bergerak). Cara ini dilakukan dengan kendaraan yang kemudian menyusuri rute yang telah ditetapkan. Pada survei ini diperlukan 3 orang pengamat dan 1 orang pengemudi. Pengamat pertama bertugas menghitung kendaraan yang berpapasan dengan kendaraan yang digunakan untuk pengukuran. Pengamat kedua menghitung kendaraan yang disiap dan menyiap kendaraan peneliti dan pengamat ketiga bertugas mencatat waktu perjalanan pada saat survei dimulai sampai berakhir.
Untuk menghitung waktu perjalanan rata-rata digunakan rumus sebagai berikut :
T  = TW -   ...................................................................................... (2.6)
Dimana:
            q  =  .................................................................................... (2.7)

Keterangan:
            x        =  banyaknya kendaraan yang berpapasan dengan kendaraan peneliti.
            y        = banyaknya kendaraan yang menyiap dikurangi kendaraan yang disiap oleh peneliti (y = A-B).
            TW    =  waktu perjalanan sewaktu berjalan bersama arus (detik).
            TA     =  waktu perjalanan sewaktu berjalan melawan arus (detik).
            q        =  volume lalu lintas saat dilakukan penelitiaan (kend/detik).                    

2.4.3        Biaya Operasi Kendaraan
Biaya operasional kendaraan adalah semua biaya yang harus dikeluarkan oleh operator sehubungan kepemilikan dan pengoperasian kendaraan untuk tujuan   komersial maupun pribadi dan terdiri dari biaya tetap dan tidak tetap. Biaya operasional kendaraan dapat digambarkan dengan grafik hubungan biaya operasional dan pengeluaran yang digunakan untuk mengoperasikan kendaraan. (Morlok,1991).
 
Gambar 2.4 Grafik Hubungan Biaya Operasional dan Pengeluaran
Sumber : Morlok (1991)

Biaya operasi kendaraan (Vehicle Operating Cost) secara total merupakan penjumlahan dari komponen-komponen Biaya Tetap dan Biaya Variabel/gerak, dimana:
1.      Biaya Tetap (Standing Cost) yaitu biaya yang mengarah ke biaya modal yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan biaya penyediaan prasarana pendukung seperti biaya bunga, biaya asuransi dan biaya administrasi.
2.      Biaya Tidak Tetap (Variable cost atau Running Cost) yaitu biaya yang berhubungan langsung dengan pengoperasian kendaraan yang mencakup pemakaian bahan bakar, biaya pemakian pelumas, biaya pemakaian ban, biaya pemeliharaan, biaya awak kendaraan (pengemudi) dan biaya depresiasi kendaraan. Dalam hal penggunaan kendaraan, tinggi rendahnya biaya variabel tergantung pada waktu pengoperasian atau kecepatan tempuh dari kendaraan tersebut. Disini terkadang pengertian waktu kendaraan berdasarkan waktu tempuh dan kecepatan gerak. Semakin lama waktu tempuh kendaraan pada kecepatan yang sama semakin besar biaya operasi kendaraan tersebut. Sedangkan dalam hal kecepatan gerak, makin tinggi kecepatan pada jarak tempuh yang sama, makin rendah biaya operasi kendaraan tersebut. Biaya operasi kendaraan berubah dari tahun ke tahun sesuai perubahan harga yang berlaku, komponen dan bahan yang dibutuhkan bagi pengoperasian kendaraan. Tinggi rendahnya baiya tetap dan biaya variabel kendaraan tergantung pula pada karakteristik kendaraan tersebut seperti sepeda motor, sedan, mini bus, truk atau bus.

Dari keterangan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pada jarak jam puncak lalu lintas saat terjadi kemacetan atau kepadatan arus, biaya operasi kendaraan menjadi lebih tinggi mengingat kendaraan beroperasional pada kecepatan rendah, dengan waktu pengoperasian yang lebih lama. Pada keadaan ini kendaraan sering mengalami pengereman, pacuan awal gerak kendaraan yang kesemuanya mempengaruhi keausan komponen seperti ban, sistem rem dan transmisi. Biaya Operasi Kendaraan untuk mobil dihitung dengan model yang dikembangkan oleh LAPI-ITB (1997) bekerja sama dengan KBK Rekayasa Transportasi, Jurusan Teknik Sipil, ITB melalui proyek kajian ”Perhitungan Besar Keuntungan Biaya Operasi Kendaraan” yang didanai oleh PT Jasa Marga. Sedangkan untuk sepeda motor mengacu pada metode yang digunakan oleh DLLAJ Provinsi Bali-Konsultan PTS 1999.

2.4.3.1  Analisis BOK untuk Mobil
1.      Konsumsi Bahan Bakar (KBB)
            KBB = KBB dasar x (1± (kk + k1 + kr)) ......................................... (2.8)
KBB dasar kendaraan gol. I                  = 0,0284 V² - 3,0644 V + 141,68 (2.8a)
KBB dasar kendaraan golongan II A    = 2,26533 x (KBB dasar gol. I)               (2.8b)
KBB dasar kendaraan golongan II B    = 2,90805 x (KBB dasar gol. I)  (2.8c)

Keterangan :
Golongan I      = Kendaraan ringan termasuk mobil penumpang,  mikrobis, pik-up dan truk kecil.
Golongan IIA = Truk Besar dan Bus Besar, dengan 2 (dua) gandar.
Golongan IIB  = Truk Besar dan Bus Besar, dengan 3 (tiga) gandar atau lebih.
kk                     =  faktor koreksi akibat kelandaian.
k1                     =  faktor koreksi akibat kondisi arus lalu lintas.
kr                     =  faktor koreksi akibat kekasaran jalan.
V                     =  kecepatan kendaraan (km/jam).

Tabel 2.17  Faktor koreksi konsumsi bahan bakar dasar kendaraan
Faktor koreksi akibat kelandaian negatif (kk)
g < -5%
-0,337
-5 % < g < 0%
-0,158
Faktor koreksi akibat kelandaian positif (kk)
0% < g < 5%
0,400
g > 5%
0,820
Faktor koreksi akibat kondisi arus lalu lintas (k1)
0 < NVK < 0,6
0,050
0,6 < NVK < 0,8
0,185

NVK > 0,8
0,253
Faktor koreksi akibat kekasaran jalan (kr)
< 3 m/km
0,035
> 3 m/km
0,085
Sumber       :  LAPI-ITB (1997)

g              =  kelandaian
NVK       =  nisbah volume per kapasitas



2.      Konsumsi Minyak Pelumas
Besarnya konsumsi dasar minyak pelumas (liter/km) sangat tergantung pada kecepatan kendaraan dan jenis kendaraan. Konsumsi dasar ini kemudian dikoreksi lagi menurut tingkat kekasaran jalan.

Tabel 2.18  Konsumsi dasar minyak pelumas (liter/km)
Kecepatan
(km/jam)
Jenis Kendaraan
Golongan I
Golongan IIA
Golongan IIB
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
80-90
90-100
100-110
0,0032
0,0030
0,0028
0,0027
0,0027
0,0029
0,0031
0,0033
0,0035
0,0038
0,0060
0,0057
0,0055
0,0054
0,0054
0,0055
0,0057
0,0060
0,0064
0,0070
0,0049
0,0046
0,0044
0,0043
0,0043
0,0044
0,0046
0,0049
0,0053
0,0059
Sumber : LAPI – ITB (1997)

Tabel 2.19     Faktor koreksi konsumsi minyak pelumas terhadap kondisi kekasaran permukaan
Nilai Kekasaran
Faktor Koreksi
< 3 m/km
> 3 m/km
1,00
1,50
Sumber : LAPI-ITB (1997)

3.      Biaya Pemakaian Ban
Besarnya biaya pemakaian ban sangat tergantung pada kecepatan kendaraan dan jenis kendaraan.
Kendaraan golongan I              :  Y  = 0,0008848 V – 0,0045333 ........... (2.9a)
Kendaraan golongan II A         :  Y  = 0,0012356 V – 0,0064667 ........... (2.9b)
Kendaraan golongan II B         : Y  = 0,0015553 V – 0,0059333 ........... (2.9c)
Y  =  pemakaian ban per 1.000 km



4.      Biaya pemeliharaan
Komponen biaya pemeliharaan yang paling dominan adalah biaya suku cadang dan upah montir.
a. Suku Cadang
Kendaraan golongan I               : Y = 0,0000064 V + 0,0005567 .......... (2.10a)
Kendaraan golongan II A          : Y = 0,0000332 V + 0,0020891........... (2.10b)
Kendaraan golongan II B          : Y = 0,0000191 V + 0,001540 ............ (2.10c)
Y = biaya pemeliharaan suku cadang per 1.000 km.
b. Montir
Kendaraan golongan I               : Y = 0,00362 V + 0,36267  …………. (2.11a)
Kendaraan golongan II A          : Y = 0,02311 V + 1,197733 ...………. (2.11b)
Kendaraan golongan II B          : Y = 0,01511 V + 1,21200 ………….. (2.11c)
Y  = jam kerja montir per 1.000 km.
                       
5.      Biaya Penyusutan
Biaya penyusutan hanya berlaku untuk perhitungan BOK pada jalan tol dan jalan arteri, besarnya berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan.
Kendaraan golongan  I     : Y = 1/(2,5 V + 125) ……………………. (2.12a)
Kendaraan golongan  IIA             : Y = 1/(9,0 V + 450) …….……..…….…. (2.12b)
Kendaraan golongan  IIB             : Y = 1/(6,0 V + 300) ………………...…. (2.12c)
Y =   biaya penyusutan per 1.000 km (sama dengan ½ nilai penyusutan kendaraan)

6.   Bunga modal
Biaya suku bunga berlaku untuk penghitungan BOK pada jalan tol maupun jalan arteri dengan persamaan yang sama, besarnya berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan.
Kendaraan golongan  I           : Y = 150/(500 V) ................................ (2.13a)
Kendaraan golongan  IIA       : Y = 150/(2571,42857 V) ………….   (2.13b)
Kendaraan golongan  IIB       : Y = 150/(1714,28571 V) ………….   (2.13c)
Y =  biaya suku bunga per kendaraan per 1000 km.

7.   Biaya Asuransi
Besarnya biaya asuransi berbanding terbalik dengan kecepatan. Semakin tinggi kecepatan kendaraan, semakin kecil biaya asuransi.
Kendaraan golongan  I           : Y = 38/(500 V) .................................... (2.14a)
Kendaraan golongan  IIA       : Y = 6/(2571,42857 V) ………………  (2.14b)
Kendaraan golongan  IIB       : Y = 61/(1714,28571 V) ……………..  (2.14c)
Y =  biaya asuransi per 1.000 km

8.   Overhead 10% dari total BOK

2.4.3.2  Analisis BOK untuk Sepeda Motor
Sepeda motor adalah jenis kendaraan yang sangat banyak digunakan di Denpasar dan berpengaruh sangat signifikan terhadap karakteristik transportasi Denpasar. Untuk perhitungan BOK sepeda motor mengacu pada metode yang digunakan oleh DLLAJ Provinsi Bali-Konsultan PTS 1999. Perhitungan BOK yang telah diteliti DLLAJ Provinsi Bali–Konsultan PTS 1999 adalah berdasarkan rumus sebagai berikut :

VOC = a + b / V + cV²  .................................................................      (2.15)
Dimana :
VOC   = biaya operasi kendaraan (per km)
V         = kecepatan rata – rata (km/jam)
a          = konstanta, nilainya 24
b,c       = koefisien, dengan nilai b = 596 dan c = 0,00370
Rumus DLLAJ di atas belum termasuk biaya akibat bahan bakar, suku cadang, oli, ban, biaya servis dan jasa montir. Sehingga perlu adanya penyesuaian dengan nilai pertumbuhan inflasi. Nilai pertumbuhan inflasi yang digunakan yaitu dari awal rumus DLLAJ dikeluarkan Tahun 1999 – Tahun 2011 dimana survei ini dilakukan. Rumus perhitungan BOK akibat pertumbuhan inflasi sebagai berikut :
P        =  P0 ( 1 + i )n                …………………………………….     (2.16)
Keterangan :
P          = Nilai BOK setelah adanya inflasi
P0           = Nilai BOK awal
i           = Nilai rata-rata pertumbuhan inflasi
n          = Jumlah Tahun

2.4.4        Nilai Waktu Perjalanan
Nilai waktu adalah sejumlah uang yang disediakan seseorang untuk dikeluarkan (atau dihemat) untuk menghemat satu unit waktu perjalanan. Nilai waktu biasanya sebanding dengan pendapatan per kapita, merupakan perbandingan yang tetap konstan sepanjang waktu, relatif terhadap pengeluaran konsumen.

2.4.4.1  Alternatif Pendekatan
Metode pendapatan (income method) biasa diaplikasikan sebagai langkah praktis di negara-negara berkembang untuk menentukan tidak hanya sumber daya (resource value) tetapi juga nilai prilaku (behavioural value). Data menyangkut pendapatan di negara berkembang seringkali ditemukan bahwa kelas pendapatan tertinggi sangat sedikit dan kelas pendapatan rendah sangat banyak sehingga berada di luar ekonomi moneter. Sementara itu, data mengenai pola perjalanan individual sangat terbatas, begitu pula sumber-sumber penelitian, sehingga cukup sulit untuk dapat melakukan penelitian mengenai pendapatan dan nilai waktu.

2.4.4.2  Estimasi Nilai Waktu
Tidak ada nilai yang langsung dapat diterapkan untuk dapat mencerminkan kenyamanan pengguna  jalan, tetapi dapat dikatakan bahwa banyak pengguna jalan yang ingin mempersingkat waktu perjalanannya. Salah satu cara untuk mengkualifikasikan nilai ini adalah dengan menggambarkan nilai waktu sebagai opportunity cost yang dihasilkan akibat hilangnya kesempatan produktif karena adanya kebutuhan perjalanan (bisnis atau bukan bisnis).
Dalam menentukan nilai waktu seseorang, penting untuk mengidentifikasi tujuan dari perjalanan seseorang tersebut. Tujuan perjalanan dapat dibagi menjadi dua bagian  besar yaitu untuk tujuan bisnis dan tujuan non bisnis. Perjalanan bisnis tidak mengikutsertakan perjalanan pergi ke kantor atau pulang ke rumah yang tidak dilakukan pada jam-jam kerja yaitu yang tidak mengakibatkan kerugian produksi ekonomi.
Nilai waktu perjalanan untuk pemilik usaha dinilai 100 % dari pendapatan terhadap berbagai jenis kendaraan. Perjalanan dari rumah ketempat kerja dinilai 50% dari nilai pendapatan. Perjalanan dari dan ke tempat kerja menjadi bagian yang signifikan dari keseluruhan arus lalu lintas dan sebagai hal yang sangat penting dalam menentukan jam puncak. Perjalanan yang cukup panjang ketempat kerja akan melelahkan dan menurunkan produktivitas. Hambatan di perjalanan ke tempat kerja juga menyebabkan seseorang terlambat tiba di tempat kerja, sehingga akan mengurangi nilai penghematan waktu untuk perjalanan kerja yaitu :
Nilai penghematan waktu perjalanan = 50 % x pendapatan.
Sesuai dengan PTS-BUIP 1999, penghematan waktu untuk perjalanan kerja adalah 50% dari pendapatan. Dalam studi ini nilai waktu penumpang rata-rata adalah 50% dari pendapatan dan data PDRB menunjukkan pendapatan per kapita per satu orang penduduk dan tidak membedakan nilai waktu seseorang.
Pembagian jenis kendaraan berdasarkan moda menyebabkan diperlukannya nilai rata-rata jumlah penumpang per jenis kendaraan (Average Vehicle Occupancy). Pada Tabel 2.20 dapat dilihat jumlah penumpang per kendaraan dengan mengambil rujukan dari hasil survei Public Transport Study, Bali Urban Infrastructure Project (PTS-BUIP, 1999).

Tabel 2.20     Rata-rata jumlah penumpang dan pendapatan untuk tiap jenis kendaraan
Jenis Kendaraan
Rata-rata Penumpang (Average Occupancy)*
Rata-rata Pendapatan
(Rp/jam)
Sepeda motor
1,32
2.750
Mobil dan Taxi
2,04
3.910
Pickup, Truck (**)
1,05
2.550
Bus Kecil
3,51
2.550
Bus Besar
17,4
2.550
Rata-rata semua kendaraan
-
3.000
Sumber :  PTS-BUIP (1999)
(*)        Di luar crew
(**)      Upah rata-rata diasumsikan sama seperti penumpang bis

Pendekatan untuk perhitungan nilai waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendapatan per kapita dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Dimana data dari PDRB menunjukkan nilai pendapatan per kapita per satu orang penduduk. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah Jumlah Nilai Tambah Bruto yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah (BPS, 2011).
Yang dimaksud dengan Nilai Tambah adalah nilai produksi (Output) dikurangi biaya antara. Nilai tambah bruto disini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor seperti upah dan gaji, bunga, sewa tanah, dan keuntungan, penyusutan, dan pajak tidak langsung netto. Kegiatan ekonomi yang dimaksud mulai kegiatan pertanian, pertambangan, industri pengolahan, sampai dengan jasa-jasa. Jadi dengan menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor tadi, akan diperoleh PDRB. Adapun manfaat dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) meliputi :
a.       PDRB atas dasar harga berlaku nominal menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu wilayah. Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar.
b.      PDRB atas dasar harga yang berlaku menunjukkan pendapatan yang memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah.
c.       PDRB atas dasar harga konstan dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektor dari tahun ke tahun.
d.      PDRB pendapatan perkapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDRB per satu orang penduduk.
e.       PDRB atas dasar harga konstan guna untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi perkapita.
Berikut ini adalah PDRB per kapita Kota Denpasar atas dasar harga berlaku mulai sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 sesuai dengan Tabel 2.21.


Tabel 2.21  PDRB per kapita kota Denpasar
Tahun
PDRB Per Kapita (Rupiah)
2006
11.995.321,96
2007
13.410.213,82
2008
15.702.561,73
2009
17.709.730,25
2010
15.847.814,91
Sumber : BPS Kota Denpasar (2011)

2.4.4.3  Studi-studi Terdahulu Tentang Nilai Waktu Perjalanan
Beberapa studi tentang nilai waktu perjalanan yang telah dilakukan baik di Bali, Nasional maupun Internasional, hasilnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Studi Internasional (1965 — 1995)
Studi dan survei yang telah dilakukan mengenai nilai waktu perjalanan selama periode 30 tahun, menunjukkan bahwa penilaian individu mengenai perghematan waktu pada saat perjalanan kerja (ke dan dari tempat kerja) semakin meningkat prosentasenya terhadap upah seperti ditunjukkan pada Tabel 2.21. dapat dilihat bahwa sebelum tahun 1970, nilai waktu rata-rata adalah 30% dari upah, tahun 1971 - 1979 nilai waktu rata-ratanya adalah 40% dan setelah tahun 1980 nilai waktu rata-ratanya mencapai 56% dari upah.

Tabel 2.22   Nilai waktu perjalanan berdasarkan data internasional 1965 – 1995 (dipilih)
Studi/Penulis
Negara
Waktu
Nilai Waktu Perjalanan sebagai prosentase dari upah
Beesley
UK
1965
39%
Quarmby
UK
1967
23%
Stopher
UK
1968
27%
Oort
USA
1969
33%
Lee & Dalvi
UK
1971
35%
Wabe
UK
1972
43%
Hensher
Australia
1977
37%
Nelson
USA
1977
33%
Edmonds
Japan
1983
46%
Ministry of Transport
UK
1984
43%
Mau, et al
USA
1986
46%
Louis Berger
Panama
1995
56%
Sumber : International Studies (1965 – 1995)

2.      Feasibility Study on Road Network Improvement in Bali (1995)
Dalam laporan akhir Feasibility Study on Road Network Improvement in Bali (Korea International Cooperation Agency, 1995), konsultan menghitung rata-rata upah di Bali adalah Rp. 858 per jam. Dengan menggunakan asumsi tingkat pendapatan yang berbeda antara pemilik dan yang bukan pemilik kendaraan serta proporsi perjalanan bisnis maka nilai waktu perjalanan per kendaraan per jam seperti pada Tabel 2.22. Selain perjalanan bisnis, seperti perjalanan rekreasi dihitung 25% dari upah dan terdapat penerapan perbedaan antara pemilik dan yang bukan pemilik kendaraan.

Tabel 2.23    Nilai waktu perjalanan studi feasibility study on road network improvement in Bali (1995)
Jenis Kendaraan
Nilai Waktu (Rp/Jam)
Sepeda Motor
Rp.      713
Mobil
Rp.   3.566
Bis
Rp.   6.240
Sumber: Nasional & Local Studies (1995-1997)

3.      Preparation of Urban Road Infrastructure Improvements in Denpasar (1997)
Berdasarkan data statistik mengenai pendapatan berbagai jenis pekerjaan per kabupaten, didapatkan bahwa rata-rata pendapatan di Denpasar dan Badung adalah 25% lebih besar dari kabupaten-kabupaten lain di Bali. Juga diperoleh bahwa nilai waktu perjalanan bisnis adalah 65% lebih besar dari rata-rata perjalanan lainnya. Nilai ekonomi dari waktu perjalanan bisnis didapatkan Rp.3.270 per jam dan berdasarkan hasil studi tersebut juga diperoleh nilai waktu perjalanan untuk berbagai jenis kendaraan seperti pada Tabel 2.23.

Tabel 2.24      Nilai waktu perjalanan preparation of urban road infrastructure improvements in Denpasar (1997)
Jenis Kendaraan
Nilai Waktu (Rp/Jam)
Sepeda Motor
Rp.       497
Bis Mobil
Rp.    2.547
Bis
Rp.    1.156
Sumber: Nasional & Local Studies (1995-1997)

4.      Public Transport  Study BUIP (PTS-BUIP), 1999
Dalam studi ini nilai waktu perjalanan untuk pemilik usaha dinilai 100% dari pendapatan terhadap berbagai jenis kendaraan. Perjalanan dari rumah ke tempat kerja dinilai 50% dari tingkat pendapatan. Dalam studi ini dapat diketahui perjalanan dari dan ke tempat kerja menjadi bagian yang signifikan dari keseluruhan arus lalu lintas dan sebagai hal yang sangat penting dalam menentukan arus jam puncak. Sejauh ini belum ada metode yang tepat untuk menghitung nilai hambatan perjalanan dari dan ke tempat kerja di Indonesia. Perjalanan yang cukup panjang ke tempat kerja akan melelahkan dan menurunkan produktifitas. Hambatan di perjalanan ke tempat kerja juga menyebabkan seseorang terlambat tiba di tempat kerja, sehingga mengurangi waktu kerja efektif. Penghematan waktu untuk perjalanan kerja adalah 50% dari upah. Nilai waktu perjalanan berdasarkan perkiraan pendapatan per jenis kendaraan dapat dilihat pada Tabel 2.24.

Tabel 2.25  Nilai waktu perjalanan berdasarkan perkiraan pendapatan per jenis kendaraan
Batas Pendapatan
(Rp. 000)
Median
(Rp. 000)
Bis
Sepeda Motor
Mobil
< 199
170
3,7%
3,7%
0,8%
200 – 299
250
11,9%
9,8%
5,6%
300 – 499
400
18,9%
18,8%
9,7%
500 – 749
625
24,4%
19,9%
14,3%
750 – 999
875
14,7%
16,0
15,0%
1.000 – 1.999
1.500
21,9%
29,9%
36,1%
> 2.000
2.500
4,5%
5,0%
18,4%
Jumlah sampel perjalanan
402
5.730
1.768
Rata-rata (Rp./RT/bulan)
833,3
898,1
1.276,9
Rata-rata (Rp./Pekerja)
420,8
453,6
644,9
Pekerja (Rp./jam)
2.550
2.70
3.910
Sumber : Pem. Prop. Bali DLLAJ (1999)

Catatan :    RT = Rumah Tangga
                  Rata-rata anggota keluarga rumah tangga yang bekerja = 1,98
                  Rata-rata jam kerja per bulan = 160 jam

      Nilai ekonomi untuk waktu perjalanan penumpang adalah seperti pada Tabel 2.24, dengan salah satu asumsi perjalanan bukan untuk kerja tidak mempunyai nilai ekonomi sedangkan asumsi yang satu lagi perjalanan yang bukan untuk kerja dinilai 30% dari rata-rata upah.

Tabel 2.26    Nilai ekonomi waktu perjalanan berdasarkan jenis kendaraan hasil studi PTS-BUIP (1999)
Jenis Kendaraan
Asumsi perjalanan non kerja tidak ada nilai
Asumsi perjalanan non kerja nilainya 30% x upah
Rp/pnp/jam
Rp/pnp/jam
Rp/pnp/jam
Rp/pnp/jam
Sepeda Motor
595
780
1.132
1.490
Mobil & Taxi
992
2.020
1.491
3.040
Pick up
852
840
1.313
1.300
Bis Kecil
476
1.670
1.045
3.670
Bis Besar
850
14.790
1.300
22.620
Sumber : Pem. Prop. Bali, DLLAJ (1999)

2.4.5        Perumusan Perhitungan Biaya Perjalanan
Tundaan lalu lintas adalah gangguan-gangguan lalu lintas yang menjadi hambatan perjalanan sehingga dapat memperbesar waktu tempuh. Setelah dijelaskan komponen-komponen dari perumusan perhitungan biaya perjalanan maka selanjutnya diuraikan bentuk perumusannya.
            Bentuk perhitungan diatas dapat dirumuskan sebagai berikut (Tamin dan Nahdalina, 1998) :
            D  =  ΣQ x t x (BOK + NW) ................................................. (2.17)
Keterangan :
            D         =  Selisih biaya perjalanan dengan dan tanpa terjadinya tundaan. Selisih biaya ini didasarkan jenis moda, ruas jalan, arah pergerakan dan waktu kemacetan (Rp).
            ΣQ       =  Volume lalu lintas pada jam puncak (kendaraan/jam)
            t        =  Selisih waktu tempuh antara kondisi dengan dan tanpa tundaan lalu lintas (jam).
            BOK   =  Biaya Operasi Kendaraan (Rp/jam).
            NW     =  Nilai waktu perjalanan (Rp/jam).
            Dalam studi ini tambahan waktu perjalanan terjadi sebagai akibat dari volume lalu lintas yang terjadi melebihi kapasitas jalan (terjadi tundaan lalu lintas).
            Oleh karena itu studi ini bersifat menilai dampak dari adanya tundaan terhadap sirkulasi lalu lintas dalam bentuk biaya (rupiah). Adapun yang menjadi penekanan dalam perhitungan adalah perubahan waktu tempuh dan aspek moneter yaitu biaya operasi kendaraan dan nilai waktu perjalanan. Sedangkan untuk melihat jumlah kendaraan yang terkena pengaruh kemacetan lalu lintas, dihitung dari volume kendaraan pada saat terjadi tundaan (macet). Waktu tempuh yang dimaksud disini merupakan total waktu yang diperlukan untuk melakukan pergerakan sepanjang ruas jalan yang dituju (segmen jalan).
            Sehubungan dengan itu untuk melihat biaya dari tundaan yang terjadi, dilakukan perhitungan selisih biaya perjalanan antara volume lalu lintas pada waktu puncak dengan kecepatan tempuh pada kondisi adanya tundaan dengan kondisi kecepatan arus bebas.
            Dengan demikian persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut :
            D = ΣQ x ((t1 x (BOK1 + NW1)) – (t0 x (BOK0 + NW0))) ............... (2.18)

Keterangan :
Indeks 1 menunjukkan kondisi setelah adanya tundaan lalu lintas (eksisting).
Indeks 0 menunjukkan kondisi kecepatan arus bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar