Senin, 04 Maret 2013

PERMASALAHAN TRANSPORTASI DKI JAKARTA


PERMASALAHAN TRANSPORTASI
DKI JAKARTA




TUGAS
PERENCANAAN DAN PEMODELAN TRANSPORTASI





 






Oleh :
Ni Putu Emmy Oktariani
1291561024






JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGRAM PASCASARJANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2013



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia termasuk negara sedang berkembang, permasalahan yang ada di negara berkembang lebih kompleks dibandingkan dengan negara-negara maju, mulai dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, kesenjangan sosial, hingga kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang pembangunan itu sendiri. Diantara banyak permasalahan itu adalah permasalahan transportasi yang mencerminkan suatu kota. Permasalahan transportasi banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk. Kemacetan menjadi permasalahan sehari-hari di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Denpasar dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia dan merupakan kota terbesar di Asia Tenggara. Jakarta terdiri dari bermacam-macam suku etnik, budaya, bahasa dan agama. Meraka datang ke kota Jakarta untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Luas Jakarta banyak berkembang dari sekitar 180 km2 pada tahun 1960 dan 661,52 km2 pada tahun 2000. Sekarang Jakarta dengan kota lain sekitar Jakarta –Tanggerang, Bekasi, depok dan Bogor menjadi kota megapolitan yang dikenal Jabodetabek. Jabodetabek merupakan suatu region besar metropolitan yang mempunyai jumlah penduduk 10.187.595 jiwa pada tahun 2011 (Disdukcapil DKI Jakarta).
Pesatnya pertambahan jumlah penduduk DKI Jakarta semakin meningkatkan masalah mobilitas perkotaan. Tingginya jumlah penduduk berimplikasi terhadap pemanfaatan sumber daya kota yang terbatas. Ketidak seimbanagn antara infrastruktur publik yang tersedia dengan jumlah penduduk yang membutuhkannya menyebabkan kurangnya pelayanan kota termasuk di sektor transportasi. Kondisi ini menyebabkan tingginya jumlah kendaraan pribadi yang tidak seimbang dengan ketersediaan ruas jalan, sehingga permasalahan kemacetan lalu lintas semakin di perparah.
Jakarta merupakan pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Sudah banyak teori yang diterapkan untuk mengatasi permasalahan transportasi, namun tetap saja tidak memberikan solusi yang efektif. Bahkan, sampai ada gagasan memindahkan Ibu Kota Jakarta ke tempat lain. Hal ini sebagai akibat pembangunan di Indonesia yang terpusat di Jakarta atau di Pulau Jawa saja. Beberapa hal yang sulit dicari jalan keluar dalam mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta, antara lain, pertumbuhan kendaraan yang sangat tinggi, rendahnya disiplin pengguna jalan, buruknya perencanaan dan penataan kota, kondisi sarana kendaraan umum yang buruk, keamanan dan kenyamanan di jalanan (pengamen, penjaja, pengemis, dan lain-lain).
Penerapan sistem Retribusi Pengendalian Lalu Lintas di DKI Jakarta merupakan suatu langkah yang membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan harus di kendalikan dengan baik, untuk bisa mengatasi semua permasalahan yang timbul dalam proses penetapan kebijakan, perencanaan dan pembangunan yang membutuhkan sosialisasi yang mencakup sektor politisi, masyarakat dan pemerintah daerah itu sendiri. Berbagai permasalahan harus segera dipecahkan dan perlu sosialisasi yang benar-benar bisa merubah cara berpikir dan untuk itu perlu dilaksanakan oleh sosiolog yang memahami perubahan karakter masyarakat.
Permasalahan transportasi memang sudah sedemikian kompleksnya, semakin lama semakin banyak jalan yang mengalami kemacetan lalu lintas yang pada gilirannya akan mengakibatkan waktu perjalanan semakin lama. Permasalahan transportasi bukan dominasi dari sarana dan prasarana jalan saja, tetapi juga sebagai akibat dari alih fungsi tata guna lahan serta jumlah penduduk yang memiliki sistem aktivitas yang beragam. Permasalahan transportasi biasanya tumbuh lebih cepat dari upaya untuk melakukan pemecahan permasalahan transportasi sehingga mengakibatkan permasalahan menjadi bertambah parah dengan berjalannya waktu. Selain itu timbul dampak-dampak negatif dari permaslaahan lalu lintas yang berkaitan dengan lingkungan. Untuk bisa memecahkan permasalahan lalu lintas perlu diambil langkah-langkah yang berani atas dasar kajian dan langkah-langkah yang pernah dilakukan dikota-kota lain.

1.2  Rumusan Masalah
       Adapun rumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan latar belakang diatas adalah :
1.      Bagaimana permasalahan sistem transportasi di DKI Jakarta saat ini ?
2.      Bagaimana keterkaitan antara sistem transportasi makro terhadap permasalahan transportasi DKI Jakarta ?
3.      Bagaimana solusi serta realisasi yang telah dilakukan dalam memecahkan permasalahan sistem transportasi DKI Jakarta ?
4.      Apa dampak negatif serta solusi dari permasalahan transportasi DKI Jakarta?

1.3  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1.      Untuk mengetahui permasalahan sistem transportasi di DKI Jakarta saat ini.
2.      Untuk mengetahui keterkaitan antara sistem transportasi makro terhadap permasalahan transportasi DKI Jakarta.
3.      Untuk mengetahui solusi serta realisasi yang telah dilakukan dalam memecahkan permasalahan sistem transportasi DKI Jakarta.
4.      Untuk mengetahui dampak negatif serta solusi dari permasalahan transportasi DKI Jakarta.

1.4  Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan ini adalah :
1.      Sebagai tambahan informasi bagi mahasiswa mengenai permasalahan yang sedang dihadapi DKI Jakarta saat ini.
2.      Sebagai masukan bagi pemerintah dalam menemukan akar permasalahan transportasi sehingga dapat diperoleh solusi yang tepat dalam memecahkan permasalahan transportasi DKI Jakarta.
3.      Sebagai sumbangan fikiran bagi perencana untuk meningkatkan kinerja serta pemahaman mengenai permasalahan transportasi yang terjadi di DKI Jakarta.







BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Secara umum, transportasi dibedakan dalam beberpa jenis yaitu, transportasi udara, transportasi laut dan transportasi darat. Menurut Abbas Salim (1993), transportasi adalah kegiatan pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Dimana dalam transportasi terdapat dua unsur penting yaitu, pemindahan/pergerakan serta secara fisik tempat dari barang (komoditi) dan penumpang ke tempat lain. Dalam transportasi terdapat dua kategori penting :
1.      Pemindahan bahan-bahan dan hasil produksi dengan menggunakan alat angkut
2.      Mengangkut penumpang dari suatu tempat ke tempat lain.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rustian Kamaludin (1986), bahwa transportasi adalah mengangkut atau membawa sesuatu barang dari suatu tempat ke tempat lainnya atau dengan kata lain yaitu merupakan suatu pergerakan pemindahan barang–barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Selain itu menurut Rustian Kamaludin (1986), manfaat dari adanya transportasi dapat dibagi dalam dua bagian yaitu:
1.      Nilai guna tempat (Place Utility)
Yaitu kenaikan atau tambahan nilai ekonomi atau nilai guna dari suatu barang atau komoditi yang diciptakan dan mengangkutnya dari suatu tempat  ke tempat lainnya yang mempunyai nilai kegunaan yang lebih kecil, ke tempat atau daerah dimanabarang tersebut mempunyainilai kegunaan yang lebih besara yang biasanya diukur dengan uang (interens of money).
2.      Nilai guna waktu (Time Utility)
Yaitu kesanggupan dari barang untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan menyediakan barang-barang, tidak hanya dimana mereka membutuhkan, tetapi dimana mereka perlukan.



Moda transportasi terbagi atas tiga jenis moda, yaitu:
1.      Transportasi darat: kendaraan bermotor, kereta api, gerobak yang ditarik oleh hewan (kuda, sapi, kerbau), atau manusia. Moda transportasi darat dipilih berdasarkan faktor-faktor:
­  Jenis dan spesifikasi kendaraan
­  Jarak perjalanan
­  Tujuan perjalanan
­  Ketersediaan modal
­  Ukuran kota dan kerapatan permukiman
­  Faktor sosial-ekonomi
2.      Transportasi air (sungai, danau, laut): kapal, tongkang, perahu, rakit.
3.      Transportasi udara: pesawat terbang. Transportasi udara dapat menjangkau tempat tempat yang tidak dapat ditempuh dengan moda darat atau aut, di samping mampu bergerak lebih cepat dan mempunyai lintasan yang lurus, serta praktis bebas hambatan.
Transportasi diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, hal ini terlihat bahwa :
­  Adanya muatan yang diangkut.
­  Tersedianya kendaraan sebagai alat angkut.
­  Adanya jalan yang dapat dilalui oleh alat angkut tersebut.
Pemindahan barang dan manusia dengan angkutan adalah untuk bertujuan menaikkan atau menciptakan nilai ekonomi dari suatu barang, dengan demikian pengangkutan dilakukan karena nilai suatu barang lebih tinggi di tempat tujuan dari pada tempat asalnya.

2.1 Sejarah Transportasi DKI Jakarta
 Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar dan terpadat di Asia Tenggara. Kota yang dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa penduduknya dengan segala permasalahan dan kesemerawutannya. Kota dengan sejarah masa lalu yang kompleks dan kondisi sosial budaya yang sangat beragam tentu dengan sederet permasalahannya. Salah satu masalah yang cukup krusial dan penting adalah masalah transportasi kota. Selama ini Jakarta dikenal sebagai metropolitan terburuk dalam mengatur transportasi warganya yang mencapai 10 juta jiwa. Kemacetan selalu terjadi dimana-mana. Bahkan menurut situs ensiklopedia terkenal, Wikipedia, Jakarta memiliki lebih dari 100 titik rawan kemacetan yang tersebar merata diseluruh wilayah kota.
Fasilitas dan Infrastrukur transportasi yang kurang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kemacetan tersebut. Jakarta belum mempunyai sistem serta infrasturktur transportasi massal yang terpadu. Transportasi yang bisa melayani kebutuhan perpindahan warganya dengan cepat, aman, murah, nyaman dan massal. Disamping itu keberadaan kantong-kantong penduduk di kota-kota satelit Jakarta yang setiap harinya melakukan perjalanan menuju Jakarta ikut memperparah kondisi transportasi di kota Jakarta. Komuter yang berasal dari Depok, Tanggerang, Bogor serta Bekasi tersebut semakin menambah arus kendaraan di dalam kota Jakarta yang sudah sedemikian padat. Sebagai akibatnya, kemacetan yang parah tak terhindarkan di jalan-jalan utama menuju kota-kota tersebut.
Masalah transportasi Jakarta selanjutnya adalah tata ruang Jakarta yang sedemikan rumit dan kompleks. Tata ruang yang tidak mengindahkan tata guna lahan menyebakan semakin banyaknya transportasi atau perpindahan yang harus dilakukan warga ibu kota. Pada dasarnya, kebutuhan akan transportasi adalah kebutuhan sekunder manusia untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya. Baik itu berupa barang maupun orang. Tata ruang yang buruk juga bisa menjadi titik pangkal kemacetan. Seperti misalnya tempat keluar parkir dari sebuah pusat perbelanjaan terkenal yang membuat macet jalanan atau kawasan disekitarnya. Selain itu masalah transportasi yang sangat krusial adalah pertumbuhan kendaraan pribadi yang mencapai 11% per tahun. Angka yang cukup fantastis bagi Jakarta yang hanya mempunyai 5000 km jalan raya (sudah termasuk jalan-jalan kecil dan jalan tol). Bahkan jika semua kendaraan yang ada di kota Jakarta keluar pada saat yang bersamaan maka bisa dipastikan seluruh jalan yang ada di Jakarta akan ditutupi oleh kendaraan tersebut.
Untuk mencari solusi atas masalah transportasi Jakarta yang ada, disamping pendekatan pada kondisi saat ini juga diperlukan pendekatan sejarah transportasi kota. Kondisi transportasi Jakata yang terjadi saat ini merupakan akumulasi dari kebijakan-kebijakan transportasi di masa lampau. Sejarah transportasi kota Jakarta bermula dari sebuah pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan dari kerajaan Pajajaran. Sebelumnya merupakan milik kerajaan Tarumanegara yang dipakai untuk transportasi barang-barang dagangan dengan pedagang-pedagang dari India dan Cina. Sejak dahulu Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang cukup strategis dan ramai. Maka tidak heran sejak dahulu arus transportasi sudah sedemikian padat di pelabuhan ini. Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Oleh karena itu dibangunlah pelabuhan baru di daerah tanjung priok sekitar 15 km kearah timur dari pelabuhan sunda kalapa. Untuk memperlancar arus barang maka dibangun juga jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia-Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya seperti pada gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Trem berkuda

Dari sejarah diatas bisa diambil kesimpulan bahwa sejak dahulu kota Jakarta merupakan kota dengan arus perpindahan barang maupun orang yang cukup padat. Infrastruktur dasar perkotaannya pun merupakan infrastrukur transportasi seperti pelabuhan dan jalur kereta api.
Perkembangan tranportasi kota Jakarta pun memasuki babak baru ketika daerah-daerah pemukiman muncul didaerah sekitar pelabuhan. Mulailah muncul jalan-jalan penghubung di daerah sekitar pelabuhan. Hingga zaman sebelum kemerdekaan, Jakarta sudah berubah menjadi sebuah kota yang modern yang kala itu bernama Batavia. Pada saat itu, tahun 1943 sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ada angkutan massal yang disebut Zidosha Sokyoku (ZS) seperti pada gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2 Angkutan massal Zidosha Sokyoku (ZS)

Jangan membayangkan bentuk kendaraan yang bermesin, angkutan tersebut berupa sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi, bahkan ketika keadaan serba sulit karena perang sapi penariknya justru disembelih untuk dimakan. Selain itu sejak tahun 1910, Jakarta sudah mempunyai jaringan trem. Trem adalah kereta dalam kota yang digerakkan oleh mesin uap. Trem merupakan angkutan massal pertama yang ada di Jakarta. Ketika itu Jaringan trem di Jakarta sudah melayani arus perpindahan dari pelabuhan hingga kampung melayu.  Sampai saat ini peninggalan jejak trem di Jakarta masih bisa dilihat diantaranya di museum fatahillah serta di Jembatan bekas trem  yang milintas sungai Ciliwung di daerah Raden Saleh atau Dipo trem yang sekarang ditempati PPD sebagai dipo di daerah Salemba. Dapat disimpulkan ketika itu transportasi massal menjadi pilihan utama masyarakat untuk berpergian di dalam kota.
Kebijakan mulai beralih kepada penggunaan kendaraan pribadi sejak tahun 1960an ketika presiden Sukarno memerintahkan penghapusan trem dari Jakarta dengan alasan bahwa trem sudah tidak cocok lagi untuk kota sebesar jakarta. Sayangnya ketika trem dihapus, sebelumnya tidak diimbangi dengan jumlah bus. Ketika itu politik kita yang ‘progresif revolusioner’ berpihak ke Blok Timur yang sedang berkonfrontasi dengan Blok Barat yang dijuluki Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme). Tidak heran bus-bus yang beroperasi di jakarta berasal dari Eropa Timur, seperti merek Robur dan Ikarus. Akan tetapi, karena jumlahnya tidak banyak, opletlah yang mendominasi angkutan di Jakarta. Pada saat itu oplet (dari kata autolet) bodinya terbuat dari kayu yang dirakit di dalam negeri. Sedangkan mesinya dari mobil tahun 1940-an dan 1950-an, seperti merek Austin dan Moris Minor (Inggris) serta Fiat (Italia). Di Jakarta juga disebut ostin, mengacu nama Austin, yang sisa-sisanya kini dapat dihitung dengan jari.
Kemudian pada tahun 1970an terjadi peningkatan jumlah kendaraaan secara signifikan di Jakarta. Terjadilah revolusi transportasi yang melanda Jakarta. Masyarakat berlomba-lomba untuk memiliki kendaraaan pribadi. Seakan-akan belum menjadi orang kaya jika belum mempunyai mobil pribadi. Ditunjang oleh sistem pengkreditan yang luar biasa mudah, membuat masyarakat berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Pemerintah pun seakan mendukung program pembelian kendaraan pribadi ini. Jalan-jalan utama diperlebar, jalur-jalur ditambah, dan kebijakan-kebijakan lain yang semakin memanjakan penggunaan mobil pribadi. Akmumulasi akibat dari kebijakan ini adalah  keadaan Jakarta seperti sekarang. Dimana kapasitas jalan sudah tidak mampu lagi menampung arus kendaraan yang melintas diatasnya sementara pertumbuhan pemilikan kendaraan tetap saja tinggi.
Sebenarnya kebijakan transportasi Jakarta, dalam satu dasawarsa terakhir, sudah memasuki tahapan baru. Pemerintah mulai menyadari bahwa untuk kota seperti Jakarta, penggunaan transportasi yang bersifat massal lebih menguntungkan dibandingkan transportasi yang berbasis kendaraan pribadi. Hal ini bisa dilihat pada kebijakan-kebijakan transportasi Jakarta dalam satu dasawarsa terakhir ini yang mulai menunjukkan tren untuk mengurangi jumlah kendaran pribadi dan memperbaiki sistem angkutan umum di kota Jakarta.
Di masa Gubernur Surjadi Soedirdja, Kepala DLLAJ DKI Jakarta J. P. Sepang diperintahkan untuk memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan. Langkah ini meniru sistem di Singapura. Pemda DKI Jakarta di masa itu juga membuat jalur khusus bagi bus kota dengan cat warna kuning, termasuk membangun sejumlah halte bus dengan sarana telepon umum (Halte 2000). Namun, hal tersebut akhirnya juga diiringi dengan antrean kendaraan yang makin panjang di jalan-jalan raya dan bus kota yang tidak juga tertib dalam menaik-turunkan penumpang. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta saat itu juga mempraktekkan sistem pengaturan lampu lalu-lintas kawasan (Area Traffic Control System-ATSC) pada 110 persimpangan yang bisa disaksikan setiap sore melalui tayangan Metro TV. Tapi sistem adopsi Jerman itu tidak efektif untuk mengatasi persoalan transportasi di Jakarta, sistem ini kalah oleh hujan lebat yang turun dan berhasil mematikan lampu lalu lintas secara tiba-tiba.
Terakhir, di akhir masa kepemimpinan Sutiyoso, wajah Ibukota dihiasi dengan bus Trans Jakarta (busway) yang menjadi tulang punggung konsep sistem transportasi makro atau massal. Dengan 7 koridor efektif dan 329 armada bus, busway justru menjadi masalah baru. Beberapa catatan yang menyebabkan masalah dapat dengan mudah diidentifikasi, seperti pembangunan koridor di bahu jalan umum tanpa penambahan luas, panjang dan jaringan jalan, serta jumlah armada yang hanya mampu menyerap 210.000 penumpang per hari (berbanding 8,96 juta penduduk) dengan tingkat kepadatan yang tinggi (berdesakan), apalagi dengan kebijakan Fauzi Bowo yang memperbolehkan kendaraan lain melintasi jalur busway. Busway yang diklaim sebagai sarana transportasi massal-cepat itupun semakin minim sanjungan. Terbukti, hasil riset tim Japan International Cooperation Agency (JICA) menyatakan bahwa perpindahan pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna busway hanya mencapai 14%. Di sisi lain, Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) mentargetkan mampu menjual sekiar 420 ribu unit kendaraan setahunnya. Ini berarti masyarakat Ibukota tidak memiliki apresiasi yang baik terhadap busway sebagai tawaran para pengurus Ibukota (Pemprov DKI Jakarta).
Melihat dari sejarahnya pun, pola transportasi yang paling tepat untuk diterapkan di kota seperti Jakarta adalah transportasi yang bersiafat massal, yang mampu mengmindahkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang relatif singkat, cepat, dan aman. Namun, hal ini tidak disadari oleh pengambil kebijakan ibukota di masa lampau. Peran pemerintah saat ini muali kembali ke arah kebjikan yang sesuai. Tren yang berkembang akhir-akhir ini adalah pengembangan sistem transportasi massal yang terpadu di DKI Jakarta. Hal ini sudah dimulai sejak diluncurkannya program Busway oleh gubernur Sutiyoso beberapa tahun yang lalu.
Sesungguhnya pembangunan infrasturktur transportasi tidak dapat dilakukan dalam setahun dua tahun. Perlu kebijakan yang berkesinambungan agar masalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Pembangunan mass rapid transit (MRT) beserta sistem yang mendukungnya adalah solusi jangka panjang yang harus terus diupayakan. Jakarta dalam hal ini sudah memiliki master plan untuk mengintegrasikan sistem busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik, sebagai MRT andalannya dimasa yang akan datang. Dengan berbagai kekurangannya, program busway dan kereta listrik telah menjadi pelopor MRT yang harus terus didukung dan diperjuangkan.
Disamping itu, dalam tanggungjawabnya melayani kebutuhan publik Ibukota Negara. Dalam keseriusan membangun sistem transportasi masal, pengelola transportasi Ibukota juga harus menguasai teknologi transportasi. Konsekuensinya adalah pengembangan industri transportasi yang mandiri. Untuk pengembangan sistem transportasi jangka panjang, hal ini akan lebih efisien daripada terus menerus melakukan impor teknologi dan pemeliharaannya yang sangat mahal.
Namun, tersedianya sarana transportasi massal tidak bisa berdiri sendiri dalam menjamin efek yang diharapkan. Dibutuhkan strategi untuk mengarahkan pilihan masyarakat menggunakan sarana transportasi massal. Strategi ini akan berusaha melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi, sehingga sistem transportasi massal dapat berjalan efektif. Secara garis besar, aplikasi kebijakan insentif-disinsentifikasi pajak kendaraan dan kuota kepemilikan adalah strategi yang tegas bagi para pengguna kendaraan pribadi. Selain dapat memaksimalkan penggunaan sarana transportasi massal oleh sebanyak-banyaknya penduduk, dana yang terkumpul dari strategi ini juga dapat dialokasikan untuk terus membangun sistem transportasi massal yang telah diproyeksikan.
Ada beberapa kebijakan terkait insentif-disinsentifikasi pajak kendaraan adalah “Congestion Charging” atau pajak kemacetan adalah pengenaan pajak pada kendaraan yang melewati wilayah-wilayah tertentu di dalam sebuah kota, dengan klasifikasi jenis kendaraan tertentu dan pada waktu tertentu. London, Trondheim, Durham dan beberapa kota lainnya di Eropa menggunakan strategi ini. Pembayaran pajak dapat dilakukan melalui account khusus atau tempat lainnya. Kendaraan yang melewati zona tersebut dimonitor oleh kamera khusus yang merekam plat mobil yang lewat. Semua uang yang terkumpul dari congestion charging diinvestasikan untuk membangun fasilitas sistem transportasi kota.
Kemudian juga ada strategi penerapan peraturan pembatasan usia kendaraan dan kelaikan operasional kendaraan bermotor. Dengan begitu, pertumbuhan jumlah kendaraan dalam kurun waktu tertentu dapat dikontrol. Cara ini juga bisa diparalelkan dengan pembebanan pajak tinggi kepada para pemilik kendaraan lebih dari satu. Strategi selanjutnya adalah sistem kuota (Vehicles Quota System-VQS). Dengan sistem kuota maka tingkat pertumbuhan kendaraan dapat ditekan sekecil mungkin. Di Singapura, cara ini mampu menekan pertumbuhan kendaraan sebesar 3% per tahun. Selain itu dapat diberlakukan pola Mobil Liburan (Weekend Car-WEC). Mobil-mobil ini dibatasi penggunaannya hanya pada akhir pekan atau di luar jam sibuk (peak hours). Kompensasinya, setiap pemilik kendaraan WEC akan memperoleh potongan biaya tambahan pendaftaran kendaraan atau potongan biaya pajak.
Strategi tersebut merupakan pilihan bagi pengelola Ibukota untuk mengatasi masalah transportasi. Di samping itu, dalam mengambil keputusan kebijkan transportasi, analisis yang tidak boleh dilupakan adalah analisi permintaan terhadap transportasi itu sendiri. Bisa saja Jakarta sudah mempunyai MRT dan sistem transportasi yang terpadu. Busway, monorel, Kereta Listrik serta sistem shelter yang memadai, akan tetapi permintaan akan transportasi tetap saja besar. MRT tetap saja penuh dan tidak nyaman, Jakarta tetap macet karena masih banyak kendaraan-kenadraan pribadi yang tidak mampu diakomodir oleh sistem MRT. Masyarakat masih tetap saja mengeluh bahwa persoalan transportasi belum selesai sehingga pengurangan permintaan transportasi adalah sesuatu yang harus kita upayakan.
Salah satu caranya adalah dengan memeratakan pertumbuhan ekonomi di Jakarta ke daerah sekitarnya. Sehingga orang tidak perlu berbondong-bondong mendatangi Jakarta hanya untuk mencari sesuap nasi. Alternatif lainnya adalah dengan membuat kawasan-kawasan terpadu di Jakarta. Dimana, tempat-tempat seperti pasar,  tempat rekreasi, rumah sakit di satukan dalam satu kawasan yang dekat dengan warga sehingga untuk mencapai tampat itu masyarakat tidak perlu melakukan perjalanan jauh.

2.2 Sistem Transportasi Makro
Untuk mendapatkan pemecahan masalah terbaik, di lakukan pendekatan sistem. Sistem adalah gabungan beberapa komponen atau obyek yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, dimana perubahan pada suatu komponen sistem akan menyebabkan perubahan pada komponen yang lainnya. (Tamin, 2000). Sistem transportasi secara menyeluruh (makro) dapat di bagi menjadi beberapa sistem yang lebih kecil (mikro), yang masing – masing saling terkait dan saling mempengaruhi (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Sistem Transpormasi Makro

Sistem transpormasi dapat di bagi menjadi 4 yaitu :
1. Sistem kegiatan
Sistem kegiatan adalah tata guna lahan yang mempunyai jenis kegiatan tertentu yang akan membangkitkan pergerakan dan menarik pergerakan lalu lintas dalam proses pemenuhan kebutuhan. Sistem tersebut merupakan pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan.

2. Sistem jaringan
Perjalanan yang di timbulkan oleh suatu tata guna lahan tidak selalu bergerak langsung menuju tujuan akhir. Perjalannan ini harus melalui lintas perjalanan untuk mencapai tujuan dari suatu perjalanan tersebut. Oleh karena itu di perlukan sarana transportasi yang meliputi moda transportasi dan media (prasarana) tempat moda tersebut bergerak. Prasarana yang di perlukan ini yang di sebut sistem jaringan yang meliputi jalan raya, kereta api, terminal bus, bandara dan pebuhan laut.

3. Sistem pergerakan
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan pergerakan. Pergerakan tersebut bisa merupakan pergerakan manusia maupun barang dalam bentuk pergerakan pejalan kaki maupun kendaraan. Sistem pergerakan yang aman, cepat, murah dan handal sesuai lingkungannya dapat tercipta jika pergerakan tersebut di atur oleh sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas yang baik. Sistem ini memegang peranan yang penting dalam menampung pergerakan sehingga tercipta pergerakan yang lancar yang akhirnya mempengaruhi sistem kegiatan dan sistem jaringan yang ada dalam bentuk mobilitas dan aksesibilitas.

4. Sistem kelembagaan
Sistem ini meliputi individu, lembaga dan instansi pemerintah atau swasta yang terlibat dalam setiap sistem mikro tersebut, untuk menjamin terwujudnya suatu pergerakan yang aman, nyaman, murah, lancar dan sesuai dengan lingkungan. Sistem kelembagaan yang berkaitan dalam masalah transportasi antara lain :
­  Sistem kegiatan : Bappeda, Bappenas, pemda
­  Sistem Jaringan : Dephub ( darat, laut, dan udara ) dan bina marga
­  Sistem Pergerakan : Polantas

2.3 Sistem Tata Guna Lahan dan Transportasi dalam Pembangunan yang Berkelanjutan
Terdapat kecenderungan bahwa berkembangnya suatu kota bersamaan pula dengan berkembangnya masalah transportasi yang terjadi, sehingga masalah ini akan selalu membayangi perkembangan suatu wilayah perkotaan. Permasalahan ini bukan saja menyangkut pada kenyamanan sistem transportasi yang terganggu (kepadatan, kemacetan, keterlambatan serta parkir), namun juga dapat meningkatkan pencemaran lingkungan melalui meningkatnya gas buang dari kendaraan bermotor serta merupakan suatu bentuk pemborosan energi yang sia-sia. Jadi dapat dilhat, bahwa permasalahan transportasi ini merupakan suatu permasalahan kompleks yang melibatkan banyak aspek, pihak dan sistem yang terkait sehingga dalam pemecahan permasalahan tersebut memerlukan suatu pemecahan yang comprehensive dan terpadu yang melibatkan semua unsur dan aktor dalam pembangunan kota.
Transportasi selalu dikaitan dengan tujuan dari kegiatan perpindahan yaitu sistem kegiatan yang dipengaruhi oleh tata guna lahan, misalnya pusat kegiatan yang terpisah memerlukan perjalanan dari rumah ke tempat kerja, ke pasar, ke tempat rekreasi atau untuk mengangkut barang dari lokasi industri ke pelabuhan, toko, dan sebagainya. Makin jauh lokasi satu dengan lokasi lain, maka semakin panjang pula trasportasi yang harus dilakukan. Sebaliknya, makin dekat lokasi satu kegiatan dengan kegiatan lain, makin pendek pula transportasi yang harus dilakukan. Pendekatan terhadap sistem kegiatan ini sebenarnya sangat banyak macam dan faktornya, namun yang lebih terkait pada aspek pola tata guna lahan dalam suatu kota. Dengan konsep di atas, maka transportasi penduduk dapat diperpendek melalui suatu penataan tata guna lahan yang memungkinkan percampuran, sehingga masyarakat tidak harus melakukan perjalanan jarak jauh untuk berbagai maksud dan tujuan seperti bekerja, belajar, belanja, rekreasi, dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan dengan pembangunan unit permukiman yang tidak saja dilengkapi dengan berbagai fasilitas sosial seperti pendidikan, perbelanjaan, kesehatan, rekreasi dan sebagainya, tetapi juga berdekatan dengan lokasi tempat kerja (lokasi perkantoran, industri, dan lain-lain). Konsep ini akan memberikan suatu bentuk unit-unit permukiman yang mandiri.
Dalam skala kota, unit-unit mandiri tersebut akan menimbulkan kota dengan pusat majemuk. Kota dengan pusat-pusat yang majemuk ini memungkinkan pengurangan perjalanan jarak jauh, dimana penghuni unit mandiri telah tercukupi dengan fasilitas sosial ekonomi dalam jarak jangkauan yang dekat. Kota-kota dengan multi pusat tersebut juga memungkinkan pelayanan angkutan umum serta pelayanan umum lainnya lebih efisien. Konsep-konsep ini sebenarnya telah diterapkan dalam perencanaan kota-kota di Indonesia yang tertuang dalam bentuk RTRW, RUTRK, RDTRK, RTRK dan lainlain, mulai dari tingkat SWP,BWK, Blok, sub blok, sampai hirarki pelayanan yang lebih kecil. Perencanaan ini telah memperhatikan hirarki pelayanan umum yang tentunya dengan memperhatikan faktor kegiatan pergerakan penduduknya secara minimal pula.
Untuk meninjau sistem kegiatan yang ada dalan suatu kota seperti Jakarta, maka harus ditinjau dalam skala yang lebih luas, dalam hal ini Jabotabek. Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia memiliki luas mencapai 651 km2 dengan penduduk 8,2 juta, serta Jabotabek dengan luas wilayah 6.812 km2 dan penduduk 17,1 juta jiwa. Pada tahun 2015, jumlah penduduk diperkirakan mencapai 12,1 juta jiwa untuk Jakarta dan 32 juta untuk wilayah Jabotabek (lihat tabel 2.1).

Tabel 2.1 Penduduk wilayah Jabotabek
Sumber : BPPT-GTZ, JMTSS (1993)

Dengan melihat pada beberapa data di atas, maka peran kota-kota di luar Jakarta sangat menentukan kondisi transportasi di Jakarta karena akan adanya arus yang sangat besar dari wilayah-wilayah itu ke pusat kota Jakarta pada tahun 2015. Pusat kota (Central Bussines District) akan menjadi tempat yang tidak nyaman lagi untuk tempat tinggal karena faktor mahal, bising dan lain-lain, sehingga banyak penduduk yang tinggal luar kota (sub urban) dan menjadi commuter.
Konsep lain yang cukup menarik dalam kaitan dengan sistem kegiatan ini adalah mix use planning dalam penggunaan lahan seperti konsep superblock, redevelopment, urban renewal dan lain-lain. Konsep pembangunan yang terpadu antara hunian, tempat bekerja, fasilitas kebutuhan skala lokal ini bila dapat diterapkan dengan baik juga akan mampu mengurangi jumlah pergerakan penduduk, karena untuk kegiatan-kegiatan dalam skala kebutuhan lokal akan dapat di penuhi di lokasi setempat.

2.4 Konsep Perencanaan Transportasi
Terdapat beberapa konsep perencanaan transportasi yang telah berkembang sampai dengan saat ini. Konsep yang paling populer adalah model perencanaan transportasi empat tahap. Model perencanaan ini merupakan gabungan dari beberapa seri submodel yang masing-masing harus dilakkan secara terpisah dan berurutan (Tamin, 2000). Beberapa konsep yang digunakan dalam perencanaan transportasi yaitu :
1.      Aksesibilitas
Aksesibilitas yaitu suatu ukuran kemudahan atau kesempatan untuk melakukan perjalanan
Gambar 2.4 Aksesibilitas dari zona i ke zona d

2.      Bangkitan Perjalanan
Bangkitan Perjalanan (Trip Generation) yaitu bagaimana perjalanan dapat dibangkitkan oleh tata guna lahan. Bangkitan Perjalanan (Trip Generation) menghasilkan lalu lintas yang masuk di suatu zona ( Trip Attraction ) dan lalu lintas yang meninggalkan suatu zona (Trip Production)
Gambar 2.5 Bangkitan perjalanan
2.      Distribusi Perjalanan (Trip Distribution) yaitu bagaimana perjalanan tersebut
didistribusikan dari satu zona ke zona yang lain.
Gambar 2.6 Distribusi perjalanan

3.      Pemilihan Moda Transportasi (Moda choice) yaitu menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi untuk satu tujuan perjalanan tertentu.
Gambar 2.7 Pemilihan moda transportasi

4.      Pemilihan Rute (Trip Assignment) yaitu menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan rute antara zona tujuan. Hal ini diperuntukan khusus untuk kendaraan pribadi.
Gambar 2.8 Pemilihan rute
5.      Arus lalu lintas pada jaringan jalan
Gambar 2.9 Arus lalu lintas pada jaringan jalan

Konsep kedua sampai dengan konsep kelima merupakan bagian utama dari keenam konsep yang harus dilakukan berurutan. Urutan tersebut bervariasi. Beberapa alternative variasi adalah yaitu :
Gambar 2.10 Alternatif variasi perjalanan lalu lintas

Keterangan :
G      :  Bangkitan perjalanan
D      :  Distribusi perjalanan
MS   :  Pemilihan Moda
A      :  Pemilihan Rute

Analisis pemilihan moda dapat dilakukan pada tahap yang berbeda – beda dalam proses perencanaan dan pemodelan transportasi. Hal ini diilustrasikan dalam Gambar 2.8. Pendekatan model pemilihan moda yang sangat bervariasi, tergantung pada tujuan perencanaan transportasi. Tipe pertama mengatakan bahwa proses pemilihan moda dilakukan pada tahap menghitung bangkitan perjalanan. Tipe kedua mempertimbangkan proses pemilihan moda yang terjadi setelah bangkitan perjalanan dan sebelum distribusi perjalanan. Tipe ketiga mempertimbangkan proses pemilihan moda yang terjadi bersamaan dengan distribusi perjalanan. Tipe keempat mempertimbangkan proses pemilihan moda yang terjadi dipengaruhi oleh karakteristik zona tujuandan perubahan kebijakan angkutan umum dan parkir. Dalam tipe keempat ini pemilihan moda dilakukan setelah distribusi perjalanan. Alternatif ini berbeda-beda tergantung letak tahap (step) pemilihan moda. Urutan yang paling sering digunakan adalah tipe IV.






BAB IV
PEMBAHASAN

4.1  Permasalahan Sistem Transportasi DKI Jakarta Saat Ini
Kemacetan di daerah ibu kota telah menjadi penyakit kronis sejak awal tahun 1990-an, dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai solusi ditawarkan, namun tidak satupun berjalan efektif untuk mengatasinya, karena solusi yang ditawarkan (misal: jalur 3-in-1, jalur khusus bus, perbaikan jalan, dan pembangunan jalan tol) cenderung terpilah-pilah (parsial), tidak sistematis, dan tidak kontinu. Departemen Pekerjaan Umum (PU) sebagai pembina urusan jalan merupakan salah satu pihak yang menjadi sasaran complain masyarakat yang bertubi-tubi tentang persoalan kemacetan tersebut. Fakta ini dapat dipahami mengingat saat ini 90% angkutan penumpang maupun barang bertumpu pada jaringan jalan yang ada.Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan sejauh ini merupakan harapan terbesar masyarakat ibu kota, daerah sekitarnya, bahkan nasional, untuk mendukung kegiatan sosial ekonominya.
Kemacetan digambarkan secara teoritik, oleh arus yang tidak stabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan lalu lintas di pusat-pusat perkotaan. Kemacetan yang parah sebagaimana terjadi di Jakarta dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi, yakni sisi supply (penyediaan) dan sisi demand (kebutuhan). Anatomi kemacetan diperlihatkan secara skematik pada Gambar 4.1 berikut
:
Gambar 4.1 Kemacetan pada aglomerasi Jakarta ditinjau dari sisi supplay dan deman

Sebagian dari faktor-faktor penyebab tersebut (box warna kuning) berada dalam lingkup tugas, tanggung jawab, dan kompetensi Departemen Pekerjaan Umum, yang meliputi peningkatan laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) di Jabodetabek adalah 1% per tahun, tidak sebanding dengan laju pertambahan kendaraan yang mencapai 11% per tahun. Volume yang tidak sebanding antara jumlah kendaraan dan panjang jalan menyebabkan kemacetan yang parah pada jam-jam puncak. Upaya peningkatan kapasitas jalan (khususnya jalan tol dan simpang susun) terkendala oleh proses pembebasan lahan yang berjalan lambat dan keterbatasan dana yang tersedia. Terlebih bahwa Departemen PU harus menutup setiap tahunnya biaya eksternalitas dari kerusakan jalan yang disebabkan oleh pembebanan berlebihan (over loading), serta kualitas rencana tata ruang yang belum memadai dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lemah (ketidakmampuan menghadang kekuatan pasar) menyebabkan instrumen penataan ruang menjadi tidak efektif.

4.1.1 Jaringan Jalan yang Tidak Memadai

Jaringan jalan merupakan rangkaian ruas-ruas jalan yang dihubungkan dengan simpul-simpul. Simpul-simpul merepresentasikan pertemuan antar ruas-ruas jalan yang ada. Jaringan jalan mempunyai peranan penting dalam pengembangan wilayah dan melayani aktifitas kawasan. Masih banyak ditemukan jalan dengan kualitas geometrik yang tidak memenuhi persyaratan, keadaan ini mendorong tingginya angka kecelakaan serta berbagai permasalahan lainnya. Permasalahan yang terkait geometik antara lain meliputi:

1.  Jaringan jalan untuk kendaraan
Jaringan jalan terutama di kawasan perkotaan yang tidak memiliki konsep jaringan yang memadai yang mengakibatkan pilihan rute menuju suatu kawasan terbatas sehingga beban jalan-jalan tertentu menjadi sedemikian padatnya. Hal ini diperparah dengan jumlah kendaraan yang sangat tinggi, sebagai contoh panjang jalan untuk setiap kendaraan di Jakarta hanya mencapai 1,17 m, sehingga apabila kendaraan disusun tidak akan mencukupi panjang jalan yang ada DKI Jakarta, dan kalau menggunakan kriteria lainnya yaitu panjang jalan per kapita hanya 0,88 m, angka yang kecil kalau dibandingkan dengan kota-kota lain didunia (kota-kota di Eropa berkisar 2,5 m/kapita dan kota-kota Amerika Utara berkisar 5 m/kapita).
Perlintasan sebidang menambah kemacetan pada kawasan Jabodetabek. Berdasarkan identifikasi, pada saat ini terdapat 46 kawasan di kawasan ini dengan total 100 titik simpang rawan macet di Jakarta, dimana 8 (delapan) kawasan di antaranya memiliki lebih dari 4 (empat) titik simpang rawan (Kawasan Ancol/Gunung Sahari, Jatibaru/Tanah Abang, Kalimalang, Mampang/Buncit, Pasar Minggu, Pondok Indah, Pulo Gadung, dan Tambora). Tingkat keparahan pada 8 (delapan) kawasan ini dua kali lipat lebih tinggi dari kawasan-kawasan lainnya.

2. Jaringan jalan bagi pejalan kaki
Fasilitas pejalan kaki umumnya tidak mendapat perhatian yang cukup oleh pemerintah daerah, dan kalaupun fasilitas pejalan kaki tersedia tidak didukung dengan standar desain yang baik sehingga tidak bisa digunakan oleh pngguna yang berkebutuhan khusus baik yang menggunakan kursi roda maupun penderita yang buta. Keadaan ini diperparah lagi oleh pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar ataupun digunakan untuk kendaraan parkir. Permasalahan lain yang terkait dengan pejalan kaki adalah kurangnya fasilitas penyeberangan yang dikendalikan didaerah pusat kota, ataupun ketidak patuhan pemakai kendaraan bermotor untuk tidak memberikan perioritas terhadap pejalan kaki.

3. Tata Ruang yang tidak terkendali

Permasalahan lainnya yang besar adalah tata ruang yang tidak terkendali sehingga mengakibatkan berbagai permasalahan, diantaranya jalan yang tidak teratur terutama dikawasan pemukiman dan terkadang didaerah yang kumuh gang-gang yang ada sedemikian sempitnya sehingga bila terjadi kebakaran sulit untuk dimasuki mobil pemadam kebakaran.

                                                                                             

4.1.2 Pertumbuhan Kendaraan yang Sangat Tinggi

Jumlah kendaraan yang tidak sesuai dengan kapasitas jalan sering dijadikan kambing hitam penyebab kemacetan di Jakarta. Seperti pada Gambar 4.2 berikut terlihat kemacetan di Jakarta sudah luar biasa parahnya.
Selama 2012, 13 juta kendaraan sesaki Jakarta
Gambar. 4.2 Kendaraan yang memadati ruas jalan Jakarta
Berbagai cara pun dilakukan pemerintah dalam upaya mengurangi kepadatan volume kendaraan. Namun, tidak ada perubahan yang signifikan dari sejumlah solusi yang telah diterapkan. Penyebabnya adalah jumlah kendaraan yang dipasarkan di Jakarta tidak bisa dibendung. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya, jumlah penjualan mobil di Jakarta memang mengalami peningkatan sebanyak 11% dibandingkan tahun 2011. Di kuartal I tahun 2011, mobil yang terjual di Jakarta mencapai 225.739 unit. Sedangkan untuk tahun 2012, di kuartal pertama sudah mencapai 249.589 unit. Dengan jumlah penjualan yang meningkat tersebut, otomatis kendaraan-kendaraan baru itu semakin membanjiri dan memperparah kemacetan Jakarta.
Sejak Januari sampai April 2012 ini, kendaraan yang membebani jalanan Jakarta sudah mencapai 13.346.802. Dengan perincian, motor 9.861.451 unit, mobil 2.541.351 unit, mobil beban 581.290 unit, dan bus 363.710 unit. Secara keseluruhan, Indonesia kini menjadi negara ketiga yang paling banyak menggunakan kendaraan bermotor setelah Amerika dan China. Di tahun 2011, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 107.226.572 unit. Dengan rincian, mobil sebanyak 20.158.595 unit dan sepeda motor 87.067.796 unit.
Pertumbuhan pemilikan kendaraan pribadi yang sangat tinggi antara 8 sampai 13 persen setahun yang pada gilirannya digunakan di jalan sehingga beban jaringan jalan menjadi semakin berat. Angka pemilikan kendaraan yang tinggi ini akan mengakibatkan permasalahan parkir yang cukup serius dengan seringnya melakukan pelanggaran parkir.

4.1.3 Tidak Memadainya Pelayanan Angkutan Umum

Amburadulnya pelayanan angkutan umum menjadi salah satu penyebab kemacetan Jakarta. Kondisi kendaraan yang tidak laik jalan seperti yang terlihat pada Gambar 4.3  berdampak pada berkurangnya minat masyarakat untuk menggunakan angkutan umum.
Gambar 4.3 Kondisi angkutan umum

Ketika akan naik angkutan, penumpang harus berlari dan berpeluh keringat. Saat sudah naik pun harus bermandi keringat di antara para penumpang yang penuh sesak. Tak jarang penumpang harus bergantungan di pintu kendaraan, yang sangat berisiko terhadap keselamatan jiwa. Mereka yang diburu oleh waktu mau tidak mau harus berlari mengejar angkutan umum yang tak jarang menyambut mereka dengan asap knalpot yang langsung menghantam wajah.
Selain harus berlari dan berdesak-desakan untuk bisa berangkat ke tempat tujuan, ketidaknyamanan lain yang harus dirasakan penumpang angkutan umum adalah persoalan kondisi fisik angkutan yang sangat tidak layak. Mulai dari bodi kendaraan yang berkarat dan keropos, atap kendaraan yang berlubang, kaca jendela yang tidak lengkap, dan ban kendaraan yang tipis. Kondisi fisik kendaraan seperti itu salah satunya dapat terlihat hampir di setiap jalan di Kota Jakarta. Salah satunya terlihat di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Kondisi serupa pun terjadi pada angkutan umum berjenis minibus, seperti Kopaja dan Metromini. Selain bodi yang penuh tambalan, beberapa kaca jendela tampak tidak terpasang. Belum lagi coretan pada bagian dinding dan atap yang mengganggu kenyamanan. Ban cadangan berukuran besar yang diletakkan di bagian belakang pun sedikit menggangu penumpang yang duduk di bangku belakang.
Dari data yang diperoleh, di Jakarta saat ini terdapat sedikitnya 22.776 angkutan umum jenis bus besar, sedang dan bus kecil dinilai telah berusia uzur. Bahkan 16.460 bus diantaranya telah reyot. Jumlah tersebut merupakan hasil kalkulasi yang dikeluarkan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI dan Organda DKI.
Melihat kenyataan ini tidaklah heran jika upaya Pemprov DKI untuk mengubah pola masyarakat untuk beralih ke angkutan umum dapat terbilang sia-sia. Karena tidak didukung dengan sarana yang memadai. Kepulan asap knalpot, dan bodi kendaraan yang berkarat menjadi ciri khas angkutan kota di Jakarta. Kondisi ini diperparah dengan perilaku pengemudi yang ugal-ugalan.
Angkutan umum yang tidak memadai mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi. Permasalahan pelayanan angkutan umum yang dihadapi pemerintah daerah adalah:
*       Pada trayek-trayek tertentu jumlah bus yang melayani angkutan tidak mencukupi, khususnya pada saat permintaan puncak, tapi pada trayek lainnya terkadang sangat melebihi kebutuhan sehingga pada gilirannya untuk mempertahankan operasi operator menterlantarkan kualitas pelayanan.
*       Ukuran kendaraan tidak sesuai dengan permintaan yang ada, di banyak kota pelayanan angkutan pada koridor utama dengan permintaan yang tinggi dilayani dengan angkutan umum ukuran kecil/angkot yang kapasitas angkutnya hanya pada kisaran 10 orang.
*       Kualitas angkutan yang sangat tidak memadai
*       Jadwal yang tidak teratur
*       Fasilitis perhentian yang tidak memadai, atap bocor, tidak dilengkapi dengan informasi jaringan angkutan umum yang melewati perhentian tersebut, tidak dilengkapi dengan jadwal.

4.1.4 Pelanggaran Ketentuan Lalu Lintas

Pelanggaran ketentuan lalu lintas yang dilakukan masyarakat kian tambah memprihatikan dari tahun ke tahun yang pada gilirannya akan mengakibatkan peningkatan kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal ataupun luka-luka yang tidak sedikit. Disamping itu ketidak tertiban juga akan mengganggu kelancaran lalu lintas yang akan menurukan kecepatan perjalanan. Untuk meningkatkan ketertiban masyarakat perlu dipelajari dan dipetakan kembali profil pelanggaran yang dilakukan masyarakat termasuk juga pelanggaran yang dilakukan oleh petugas. Pengamatan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat:
1.      Tingginya pelanggaran terhadap batas kecepatan yang seolah-olah tidak ada batasan kecepatan yang diberlakukan hal ini terutama menjadi masalah pada jalan yang lalu lintas sedang sepi.
2.      Tingginya pelanggaran pada persimpangan yang dikendalikan lampu lalu lintas khususnya didaerah pingiran kota. Pelanggaran terutama tinggi dilakukan oleh pengendara sepeda motor, pengemudi angkutan umum khususnya angkot. Pelanggaran lain yang juga terjadi bahwa pengemudi tetap masuk persimpangan pada saat lampu sudah berubah menjadi merah dan kadang bila lalu lintas didepannya macet pengemudi akan menghambat lalu lintas yang mendapatkan lampu hijau dan akhirnya persimpangan akan terkunci.
3.      Tidak berjalannya aturan penggunaan persimpangan perioritas atau bundaran lalu lintas, pelanggaran ini pada gilirannya mengakibatkan persimpangan terkunci. Memang pengertian masyarakat tentang hak menggunakan persimpangan masih sangat rendah terutama pada persimpangan yang dilengkapi dengan rambu beri kesempatan ataupun rambu stop.
4.      Pelanggaran jalur yang dilakukan oleh pengguna jalan dengan berjalan menggunakan jalur lawan pada jalan-jalan yang dipisah dengan median ataupun jalan satu arah. Pelanggaran ini terutama dilakukan oleh pengguna sepeda motor.
5.      Pelanggaran terhadap penggunaan jalan, khususnya dijalur khusus bus yang lebih dikenal sebagai busway.
6.      Pelanggaran tertib penggunaan perangkat keselamatan seperti helm dan sabuk keselamatan yang cenderung masih tinggi terutama di kawasan pinggiran kota.




4.1.5 Kecelakaan Lalu Lintas

Angka kecelakaan di Indonesia cenderung cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asean. Berbagai langkah perlu dilakukan untuk bisa mengendalikan angka kecelakaan tersebut. Faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan adalah:

1.      Faktor manusia

Faktor manusia merupakan penyebab kecelakaan yang paling besar, bisa mencapai 85 persen dari seluruh kejadian kecelakaan. Seperti pada Gambar 4.4 berikut, merupakan kecelakaan bus yang keluar dari bada jalan disebabkan oleh pengemudi yang mengantuk.
Gambar 4.4 Kecelakaan lalu lintas

Hampir seluruh kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangan tentang lalu lintas dan angkutan. Faktor manusia berupa keahlian yang tidak memadai dalam menjalankan kendaraan, kesalahan menginterprestasikan aturan, pengemudi sedang mabuk atau mengantuk, atau terkadang sengaja melakukan pelanggaran karena ingin lebih cepat sampai di tujuan dengan mengemudikan kendaraan lebih cepat dari ketentuan atau sengaja melanggar lampu lalu lintas dan berbagai penyebab lainnya.

2.      Faktor Kendaraan

Faktor kendaraan diantaranya yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya. Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan teknologi yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan. Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan diperlukan, disamping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor secara reguler.

3.      Faktor jalan

Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, kemiringan permukaan jalan (super elevasi jalan), pagar pengaman di daerah pegunungan, tidak adanya median jalan, jarak pandang dan kondisi permukaan jalan, tidak memadainya bahu jalan fasilitas pejalan kaki yang sering diabaikan atau tidak tersedia. Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda motor.

 

4.      Faktor cuaca

Faktor Cuaca seperti hari hujan juga mempengaruhi cara kerja kendaraan seperti jarak pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama di daerah pegunungan


4.2  Keterkaitan Sistem Transportasi Makro terhadap Permasalahan Transportasi DKI Jakarta
Permasalahan transportasi terjadi sebagai interaksi antara bagian-bagian sistem transportasi makro yaitu sistem kegiatan, sistem jaringan transportasi, sistem pergerakan lalu lintas serta sistem kelembagaan. Sistem transportasi makro yang terdiri atas beberapa sistem transportasi mikro ini saling terkait dan saling mempengaruhi seperti terlihat pada Gambar 4.5 berikut.
Gambar 4.5 Sistem transportasi makro

Pergerakan lalu lintas timbul karena adanya proses pemenuhan kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi pada suatu tempat sehingga membutuhkan pergerakan ke tempat lain. Setiap tata guna lahan atau sistem kegiatan mempunyai jenis kegiatan tertentu yang akan membangkitkan pergerakan dan akan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan kebutuhan. Pola kegiatan tata guna lahan terdiri dari sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Pada pola kegiatan ini terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh orang dapat dibedakan dalam dua macam kegiatan pokok, yaitu:
a.       Kegiatan usaha, yang merupakan kegiatan harian (daily activity), dan dibagi dalam kegiatan dasar (basic activity) dan kegiatan jasa (services activity)
b.      Kegiatan sosial, yang merupakan kegiatan berkala (periodic activity). Dalam pergerakan perjalanan dari asal (origin) ke tujuan (destination) terdapat aliran barang (flow of goods) dan aliran jasa (flow of services). Aliran barang umumnya mencakup wilayah (regional), sedangkan aliran jasa lebih banyak berlangsung di dalam kota.
Kegiatan yang timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari.
Pergerakan yang berupa pergerakan manusia atau barang membutuhkan moda transportasi (sarana) dan media transportasi (prasarana) tempat moda transportasi tersebut bergerak. Prasarana transportasi yang dibutuhkan merupakan sistem jaringan yang meliputi sistem jaringan jalan, kereta api, terminal bus, bandara dan pelabuhan laut. Sistem Sarana dan Prasarana ini berkaitan dengan pola jaringan (nertwork system) yang terbagi dalam:
­  pola konsentrik (menuju ke satu titik)
­  pola radial (menyebar)
­  pola linier (contoh: Ribbon Development)
­  pola grid/kotak (grid iron)
Perkembangan sub sistem ini bisa cepat, sedang, lambat, atau stagnan (tetap, tidak berubah), tergantung pada kecepatan pertumbuhan (rate of growth) dan tingkat pengembangan (level of development) dari daerah yang bersangkutan (antara lain kawasan tertinggal, kawasan yang cepat bertumbuh, dan sebagainya).
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan menghasilkan pergerakan manusia atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan atau pejalan kaki.  Sistem Pergerakan terbagi dalam skala nasional, regional dan lokal. Pada skala nasional diatur dalam kebijakan Sistranas (Sistem Transportasi Nasional) dengan Rencana Induk Perhubungan sebagai masterplan. Di dalam Sistranas sebagai kebijakan umum, terdapat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pada skala regional diatur dalam Sistem dan Strategi Transportasi Regional, dan Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan. Selanjutnya skala lokal diatur menurut Sistem dan Strategi Transportasi Perkotaan (Urban Transportation Policy). Sasaran Sub Sistem Pergerakan adalah cepat (fast), murah (cheap), aman/selamat (safe), nyaman (comfort), lancar, handal (reliable), tepat guna (efektif), berdaya guna (efisien), terpadu (integrated), menyeluruh (holistic), menerus (continue), berkelanjutan (sustainable), dan berkesinambungan, sedangkan proses dari Sub Sistem Pergerakan dapat dikategorikan dalam sangat pesat, cepat, sedang, lambat, terisolasi (ini melahirkan angkutan-angkutan perintis).
Dalam usaha untuk menjamin terwujudnya sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah, handal, dan sesuai dengan lingkunganya maka dalam sistem transportasi makro terdapat sistem transportasi mikro terdapat sistem tambahan yang disebut sistem kelembagaan yang meliputi individu, kelempok, lembaga dan instansi pemerintah serta swasta yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap sistem mikro tersebut. Di DKI Jakarta, sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi secara umum sebagai berikut :
­  Sistem kegiatan yaitu Badan perencanaan dan pembangunan nasional (Bappenas), Bappeda tingkat I dan II, Pemerintah daerah
­  Sistem jaringan yaitu Depatemen Perhubungan (darat, laut dan udara), Bina marga.
­  Sistem pergerakan yaitu Dinas lalu lintas dan angkutan jalan (DLLAJ), Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda), Polisi lalu lintas serta masyarakat
Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan sistem penegakan hukum yang baik. Sehingga, secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah, swasta dan masyarakat berperan dalam mengatasi masalah sistem transportasi ini, terutama masalah kemacetan.
Perkembangan kota Jakarta cenderung mekar ke segala arah. Ada ketidakcocokan geografis antara lokasi rumah tinggal dan lokasi kerja. Rumah tinggal yang terjangkau semakin jauh dari pusat-pusat kegiatan di kota sehingga penduduk dihadapkan pada perjalanan kerja yang cukup panjang. Jumlah perjalanan di Jabodetabek saat ini mendekati 30 juta perjalanan per hari. Dengan jumlah perjalanan sedemikian besar, kecepatan kendaraan rata-rata di Jabodetabek hanya sekitar 34,5 km per jam. Setiap hari lebih daripada 600.000 kendaraan dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) berjalan ke pusat kota Jakarta dengan pola perjalanan yang konsentrik radial atau menuju ke tengah kota. Bila dibandingkan dengan data tahun 1985, peningkatan jumlah perjalanan dari Bodetabek ke Jakarta ini naik sekitar 10 kali lipat pada tahun 2012. Di lain pihak, jumlah kendaraan di Jakarta dan sekitarnya sudah mencapai sekitar 5 juta dengan pertumbuhan sekitar 1.035 motor dan 269 mobil per bulan.
Dengan kecenderungan saat ini, apabila angkutan umum tidak dibenahi, akan semakin banyak penduduk melakukan perjalanannya dengan kendaraan pribadi, baik mobil ataupun sepeda motor. Kondisi Jakarta ini akan menuju macet total paling lama 10 tahun mendatang, suatu kondisi di mana sistem transportasi yang ada sudah tidak mampu lagi untuk mengalirkan lalulintas. Contoh situasi ini kita hadapi apabila Jakarta mengalami hujan lebat dan terjadi macet di mana-mana dengan sistem yang mengunci antara satu perempatan dan perempatan lainnya. Dengan posisi saling mengunci, lalulintas akan sulit bergerak dan semua kendaraan akan berhenti total.

4.3  Solusi Permasalahan Transportasi DKI Jakarta
Penanggulangan kemacetan di DKI Jakarta tidak dapat dilaksanakan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang hanya bertumpu pada memperbesar panjang jalan semata. Penelitian Anthony Downs (1994) dan kompilasi dari berbagai studi yang dilakukan oleh Profesor Mark Hansen (2000) dari Universitas Kalifornia Berkeley, memperlihatkan bahwa penambahan jalan baru di tengah kota justru berpotensi membangkitkan lalu lintas yang lebih besar dan mengakibatkan kemacetan. Kunci mengurai kemacetan adalah menerapkan konsep aksesibilitas yaitu memberikan akses ke tujuan yang diinginkan, sedapat mungkin dengan meminimalkan perjalanan yang harus dilakukan. Inti dari konsep aksesibilitas adalah, pertama, mengurangi perjalanan yang tidak perlu dengan mendekatkan lokasi tempat bekerja, permukiman, belanja, atau rekreasi. Kedua, sedapat mungkin perjalanan itu dilakukan dengan angkutan umum guna mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya.
Profesor Robert Cervero, dalam bukunya The Transit Metropolis, memperlihatkan bahwa kota-kota yang berkembang dengan baik umumnya berangkat dari pengembangan tata kota yang terintegrasi dengan sistem transportasi. Pengembangan kota akan mengikuti arah jalur-jalur dari sistem angkutan umum massal yang dibangun. Pola pembangunan kota berbasis transportasi yang disebut dengan Transit Oriented Development (TOD) ini, terjadi antara lain di kota-kota Stockholm, Kopenhagen, Tokyo, dan Curitiba. TOD dapat dikategorikan sebagai salah satu konsep urban planning, seperti Intelligent Urbanism atau Smart Growth, yang menekankan pentingnya untuk mengembangkan kota yang efisien dalam pemanfaatan lahan. Konsep TOD sendiri menekankan pentingnya kedekatan antara sarana transportasi (stasiun dan terminal) dengan kegiatan perkotaan campuran (jasa komersial/retail, residensial dan perkantoran) dengan densitas tinggi (compact). Radius pelayanan perkotaan 0,4 sampai 0,8 km dari stasiun/terminal yang memungkinkan terjadinya sirkulasi pedestrian dan sepeda. Penggunaan transportasi publik lebih diutamakan didalam kota dengan menyediakan sarana-sarana perhentian sementara (transit).
DKI Jakarta memang sangat terlambat dalam menata sistem angkutan umum massalnya. Sebelumnya, barometer kemacetan di Asia Tenggara adalah Bangkok dan Manila. Sekarang ini, kedua kota tersebut telah memiliki sistem angkutan umum massal seperti subway dan light rail train, yang secara konsisten terus dikembangkan untuk mengantisipasi kebutuhan lalu lintas. Belajar dari pengalaman kedua kota ini, sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk membenahi transportasi perkotaan di DKI Jakarta. Contoh lainnya yaitu kota Bogota di Kolombia yang begitu ruwetnya, masih dapat dibenahi dan kini memiliki salah satu sistem transportasi rujukan yang berkelas di dunia. Untuk itu harus ada langkah awal dan langkah-langkah yang konsisten dalam memperbaiki sistem transportasi DKI Jakarta. Langkah ini membutuhkan kepemimpinan dan partisipasi masyarakat yang sangat kuat.
DKI Jakarta sebenarnya telah begitu banyak melakukan studi tentang transportasi. Dokumen terakhir yang sering diacu adalah Pola Transportasi Makro Jakarta dan juga Studi Integrated Transport Master Plan (SITRAMP) Jabodetabek. Pada akhirnya, suatu perencanaan hanya akan bermakna kalau bisa kita implementasikan. Ini berarti rencana pembenahan angkutan umum di DKI juga pada akhirnya akan menyentuh aspek institusi di mana regulator, penyedia jasa, dan para konsumen akan terlibat. Kota Jakarta tidak dapat sendirian karena pola pergerakan transportasi Jakarta sebagian besar justru berasal dan bermuara di Bodetabek. Pengalaman SITRAMP JABODETABEK memperlihatkan bahwa masterplan transportasi regional tidak bisa diimplementasikan karena tidak adanya komitmen dari masing-masing pemerintah daerah untuk melaksanakan sistem transportasi regional. Satu perjalanan di Jabodetabek tidak bisa dibatasi dengan batas-batas administratif. Untuk itu, harus ada kesepakatan bersama dari semua pemerintah daerah, dan setiap pemerintah daerah yang terlibat perlu melepaskan ego masing-masing, agar dapat mewujudkan satu sistem transportasi regional yang efisien.

4.3.1 Kebijakan Pola Transportasi Makro DKI Jakarta
Dalam rangka mengatasi permasalahan transportasi, oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah diantisipasi dengan penetapan Pola Transportasi Makro melalui Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 103 Tahun 2007, seperti terlihat pada Gambar 4.6 berikut.
Gambar 4.6 Strategi pola transportasi makro DKI Jakarta

Dalam Surat keputusan tersebut ditegaskan bahwa arah pengembangan sistem transportasi pada Propinsi DKI Jakarta adalah :
1.      Meningkatkan aksesibilitas di seluruh wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sekitarnya dan menata ulang moda transportasi secara terpadu.
2.      Memasyarakatkan sistem angkutan umum massal.
3.      Menggalakkan penggunaan angkutan umum dan kereta api.
4.      Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan.
5.      Menambah jaringan Jalan Primer, Bus Rapit Transit (BRT)/Bus Priority, Light Rail Transit (LRT) dan Mass Rapid Transit (MRT)
6.      Meningkatkan jaringan jalan non tol dan membangun jalan baru.

Langkah yang akan diambil oleh pemerintah tersebut merupakan suatu solusi nyata untuk mengatasi permasalahan transportasi kota. Pola ini memungkinkan terjadi interkoneksi antara transportasi darat, laut, dan udara. Pola transportasi makro (PTM) akan mengintegrasikan empat sistem transportasi umum, yaitu: 1. Bus Rapit Transit (antara lain bus way), 2. Light Rail Transit, 3. Mass Rapid Transit:, dan 4. ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan). Pola Transportasi Makro (PTM) ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan penyediaan jasa transportasi yang terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman, dan efisien. Sesuai dengan konsep Megapolitan Jakarta, pola transportasi makro ini harus terkoneksi antara Jakarta dengan kota-kota penyangga di sekitar Jakarta. Koneksitas moda transportasi ini harus merupakan sistem yang tertata rapi. Dengan sistem yang tertata rapi, maka nanti akan muncul fenomena baru, yaitu kecenderungan untuk menggunakan transportasi publik.

4.3.2 Pengembangan Angkutan Umum Massal
Pengembangan angkutan umum massal bertujuan untuk meningkatkan penggunaan angkutan massal dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

4.3.2.1 Mass Rapid Transit/Subway dan Kereta Api
 MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi dan kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorail. MRT yang digunakan dalam bentuk subway pada prinsipnya memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta api. Namun, konstruksi teknisnya terdapat perbedaan karena subway terletak di bawah tanah (underground) tetapi stasiun-stasiunnya langsung terhubung ke lokasi pusat kegiatan. Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan perangkutan di DKI Jakarta. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya mengangkut penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai situasi. Dengan mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena penggunaan kendaraan pribadi dapat diminimalisasi.
Rencana Pemerintah DKI Jakarta membangun Mass Rapid Transit (MRT) sebagai salah satu moda transportasi massal untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota Jakarta terus bergulir. Proyek angkutan massal ini akan dikerjakan selama hampir lima tahun, dimulai tahun 2012 hingga Oktober 2016.
subway
Gambar 4.7 Pembangunan subway

Pada Gambar 4.7 terlihat pembangunan subway tidak sepenuhnya berada di bawah tanah. Di dalam konsep perencanaan MRT akan ada enam stasiun bawah tanah yang terdapat di Masjid Al Azhar, Ratu Plaza, Bendungan Hilir, Setia Budi, Dukuh Atas, dan Bundaran HI. Serta tujuh stasiun elevated di Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, H. Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja. Total biaya sekitar Rp 8,8 trilyun dan berasal dari pinjaman lunak pemerintah Jepang.
Proyek MRT akan dimulai dengan pembangunan jalur sepanjang 14,5 km dari Terminal Lebak Bulus hingga Stasiun Dukuh Atas. Pembangunan jalur pertama ini akan menjadi awal sejarah pengembangan jaringan terpadu dari sistem MRT yang merupakan bagian dari sistem transportasi massal DKI Jakarta pada masa yang akan datang. MRT Jakarta merupakan konsep transportasi massal tercepat dan tercanggih yang mampu mengangkut penumpang sekitar 340-400 ribu penumpang.
Serangkaian sosialisasi kepada publik tentang jalur MRT Jakarta telah dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan, antara lain Sosialisasi Pembebasan Lahan koridor MRT Lebak Bulus - POM Bensin Jalan Fatmawati, Cilandak Barat dan Lebak Bulus, Sosialisasi Amdal pembangunan MRT Jakarta koridor Dukuh Atas - Bundaran HI, serta Sosialisasi Pembebasan Tanah proyek MRT Jakarta jalur Lebak Bulus - Bundaran HI.

4.3.2.2 Light Rail Transit/Monorail
Light Rail Transit yang seianjutnya disingkat LRT adalah angkutan umum massal cepat dengan menggunakan kereta ringan. Kereta api ringan adalah salah satu sistem kereta api penumpang yang beroperasi dikawasan perkotaan yang konstruksinya ringan dan bisa berjalan bersama lalu lintas lain. Kereta api monorel Jakarta seperti pada Gambar 4.8 merupakan sebuah sistem Mass Transit dengan kereta rel tunggal (monorel) dengan jalur elevated, yang kini dalam pembangunan di Jakarta, Indonesia.
Gambar 4.8 Rencana monorail Jakarta

Projek ini dihadang oleh kesulitan finansial dan pergantian teknologi yang berganti-ganti. Awalnya pada tahun 2003 diberikan kepada perusahaan Malaysia MTrans, pembangun Monorel KL, konstruksi dimulai pada Juni 2004 tetapi ditunda hanya setelah berjalan beberapa minggu. MoU MTrans dibatalkan, dengan projek diberikan kepada konsorsium utama Singapura Omnico, yang mengusulkan menggunakan teknologi maglev oleh perusahaan Korea Selatan ROTEM. Pada Juli 2005, projek ini berganti tangan lagi dengan MoU baru diberikan kepada sebuah konsorsium perusahaan Indonesia PT Bukaka Teknik Utama, PT INKA, dan Siemens Indonesia. Omnico menentang ini, dan jadwal akhir pada tahun 2007 sepertinya tidak mungkin terjadi. Namun pada Oktober 2005 konstruksi terus berlangsung, dengan anggapan bahwa fondasi dasar pile dan pilar dapat digunakan oleh konsorsium dan teknologi yang memperoleh tender.
Setelah terhenti beberapa tahun, pada awal 2013 pemerintah DKI Jakarta akhirnya memastikan kelanjutan proyek monorel di DKI Jakarta. Proyek ini digarap oleh PT Jakarta Monorail. Rute yang digarap oleh PT Jakarta Monorail terdiri atas dua jalur, yaitu jalur hijau dan jalur biru. Jalur hijau terdiri dari Kampung Melayu-Tebet-Kuningan-Casablanca-Tanah Abang-Roxy-Taman Anggrek (Jakarta Barat) dengan extension ke timur dari Pondok Kelapa-Sentral Timur Jakarta dan ke Barat dari Puri Indah. Sementara jalur biru dimulai dari Kuningan-Kuningan Sentral-Gatot Subroto-Senayan-Asia Afrika-Pejompongan-Karet-Dukuh Atas-kembali ke Kuningan.
Untuk proyek kali ini, PT Jakarta Monorail menggandeng pihak Hadji Kalla Group. Nantinya, Hadji Kalla Grup akan memiliki saham dominan dalam konsorsium baru dengan Jakarta Monorail. Konsorsium baru tersebut menurutnya, akan membantu soal pendanaan dan kontruksi. Sementara untuk armada kereta, PT Jakarta Monorail akan menggunakan monorel buatan Jepang

4.3.2.3 Bus Rapid Transit/Busway
Di tengah-tengah semakin ruwetnya sistem transportasi dengan tumpang tindihnya trayek dan tidak adanya kontrol terhadap kualitas layanan, Pemerintah Provinsi Jakarta mencoba meluncurkan busway Trans Jakarta sebagai tulang punggung sistem angkutan umum massal perkotaan seperti terlihat pada gambar 4.9 berikut.
Gambar 4.9 Busway Transjakarta

Transjakarta atau umum disebut busway adalah sebuah sistem transportasi bus cepat atau Bus Rapid Transit (BRT) di Jakarta, Indonesia. Sistem ini dimodelkan berdasarkan sistem Trans Milenio yang sukses di Bogota, Kolombia. Perencanaan busway telah dimulai sejak tahun 1997 oleh konsultan dari Inggris. Pada waktu itu direncanakan bus berjalan berlawanan dengan arus lalu-lintas (contra flow) supaya jalur tidak diserobot kendaraan lain, namun dibatalkan dengan pertimbangan keselamatan lalu-lintas.
Bus Transjakarta memulai operasinya pada 15 Januari 2004 dengan tujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat, nyaman, namun terjangkau bagi warga Jakarta, sekaligus upaya mengurangi jumlah pemakaian kendaraan bermotor di Jakarta. Untuk mencapai hal tersebut, bus ini diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya dan lajur tersebut tidak boleh dilewati kendaraan lainnya (termasuk bus umum selain Transjakarta). Agar terjangkau oleh masyarakat, maka harga tiket disubsidi oleh pemerintah daerah.
Pada saat awal beroperasi, Transjakarta mengalami banyak masalah, salah satunya adalah ketika atap salah satu busnya menghantam terowongan rel kereta api. Selain itu, banyak dari bus-bus tersebut yang mengalami kerusakan, baik pintu, tombol pemberitahuan lokasi halte, hingga lampu yang lepas. Selama 2 pekan pertama, dari 15 Januari 2004 hingga 30 Januari 2004, bus Transjakarta memberikan pelayanan secara gratis. Kesempatan itu digunakan untuk sosialisasi, di mana warga Jakarta untuk pertama kalinya mengenal sistem transportasi yang baru. Lalu, mulai 1 Februari 2004, bus Transjakarta mulai beroperasi secara komersial.
Kondisi saat ini, belum optimalnya pelayanan busway ke daerah permukiman menjadi penyebab busway kurang dilirik oleh masyarakat umum. Masyarakat didaerah permukiman lebih memilih menggunakan kendaraan bermotor daripada harus naik kendaraan umum yang berujung harus transit di halte busway terdekat. Angka kecelakaan bus Trans Jakarta semakin meningkat setiap bulannya. Sudah sangat lumrah bagi masyarakat Jakarta melihat kendaraan-kendaraan yang menyerobot jalur busway disaat jalur normal sedang padat (macet), masyarakat yang menyeberang jalan sembarangan pun menjadi pemicu kecelakaan. Dengan dalih jembatan penyeberangan yang terlalu jauh, mereka melintasi pembatas jalan. Tercatat sepanjang tahun 2010, 461 kasus kecelakaan terjadi di jalur bus Transjakarta (koridor I sampai VIII). Dari sejumlah kecelakaan tersebut, peristiwa yang paling banyak terjadi adalah menabrak kendaraan pribadi yang masuk di jalur bus Transjakarta yang mencapai 145 kasus. Korban meninggal sepanjang tahun 2010 mencapai 14 orang, luka berat 22 orang, dan luka ringan 104 orang. Selain itu, tingkat kriminalitas yang terjadi didalam busway juga cukup tinggi pada saat terjadi antrian yang padat terutama pada saat jam pergi dan pulang kerja dimana jumlah penumpang busway meningkat sekitar 50% dari biasanya.Kesempatan terbuka lebar bagi para pelaku kriminal karena situasi yang berdesak desakan pada saat mengantri. Antrian yang luar biasa juga dipicu oleh jumlah armada busway yang dinilai masih kurang.





4.3.3 Pembatasan Lalu Lintas
Padatnya arus lalu lintas yang tidak seimbang dengan kapasitas jalan memerlukan tindakan lebih lanjut, salah satunya dengan pembatasan lalu lintas. Pembatasan lalu lintas bertujuan mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi.

4.3.3.1 Pembatasan Penggunaan Kendaraan Bermotor
Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor melalui kebijakan pelat nomor ganjil-genap mulai 2013 sedang disiapkan secara matang, termasuk memastikan kesiapan sarana pendukung sehingga masyarakat tidak dirugikan karena ketentuan tersebut. Silih berganti gubernur Jakarta tidak ada yang mampu mengatasi kemacetan lalu lintas. Bahkan kemacetan semakin parah saja namun Gubernur Jokowi mau mengurainya. Salah satunya dengan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor berdasarkan pelat nomor ganjil - genap. Banyak pihak mendukung ide yang sedang direncanakan dengan pihak-pihak terkait dan rencananya diberlakukan mulai Maret 2013 ini.

4.3.3.2 Road Pricing/ERP
Sistem Electronic Road Pricing (ERP) merupakan sistem pungutan kemacetan menggunakan kartu elektronik seperti terlihat pada Gambar 4.10 berikut.
Gambar 4.10 Sistem Electronic Road Pricing

Penerapan sistem jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) ini disebut-sebut akan menggantikan sistem 3-in-1 yang hampir selama 15 tahun ini diterapkan di ruas Jalan Jenderal Sudirman. Sistem ini membebankan sejumlah biaya kepada pemilik kendaraan yang melewati suatu jalur tertentu sebab kendaraan tersebut berpotensi menyebabkan kemacetan pada waktu tertentu. Penggunaan sistem ini pernah dilontarkan oleh mantan Gubernur Sutiyoso pada November 2006, dan sekarang menjadi sebuah wacana yang akan diimplementasikan. Sistem ini sangat cocok untuk diberlakukan di Jakarta dan telah sejalan dengan kebijakan transportasi makro di DKI Jakarta melalui peraturan daerah tentang pembatasan kawasan lalu lintas. Melalui sistem ini, diharapkan dapat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, dan penduduk beralih menggunakan kendaraan umum. Jumlah kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 98% pengguna jalan, sedangkan kendaraan umum hanya mengisi dua persen sisanya. Dengan kondisi ini, pembatasan kendaraan pribadi dapat terlaksana jika bersamaan dengan ketersediaan sarana transportasi publik (kendaraan umum) yang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya.
 Pemerintah provinsi DKI Jakarta saat ini masih terus mengkaji untuk mematangkan sistem tersebut. Pemerintah provinsi saat ini lebih fokus pada pembenahan alat transportasi massal. Menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama, saat ini sistem ERP masih dalam pembahasan oleh Dinas Perhubungan untuk diterapkan. Berdasarkan program gubernur DKI terdahulu, Fauzi Bowo, sistem jalan berbayar ini akan diberlakukan tahun 2013. Lokasi pemberlakukan ERP meliputi, seluruh ruas jalan 3 in 1 ditambah dengan Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Cara pembayaran ERP nantinya akan menggunakan sistem voucher. Setiap kendaraan, akan dilengkapi dengan On Board Unit (OBU). Alat ini kemudian terkoneksi dengan alat sensor ERP di setiap gerbangnya. Di dalam UBO terdapat kartu berisikan voucher yang berisi saldo deposit setiap kendaraan.

4.3.3.3 Pengendalian Parkir
Pengendalian parkir dilakukan untuk mendorong penggunaan sumber daya parkir secara lebih efisien serta digunakan juga sebagai alat untuk membatasi arus kendaraan ke suatu kawasan yang perlu dibatasi lalu lintasnya. Mulai Oktober 2012 tarif parkir di luar badan jalan di Jakarta sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 120 Tahun 2012 mengalami kenaikan signifikan. Kenaikan tersebut berlaku di setiap pusat perbelanjaan, hotel, perkantoran, apartemen dan lokasi fasilitas umum seperti pasar, tempat rekreasi, rumah sakit, dan lain-lain. Rinciannya untuk kendaraan jenis sedan, jeep, minibus, pickup dan sejenisnya yang terparkir di pusat perbelanjaan dan hotel akan berlaku tarif Rp 3000 sampai Rp 5000 per jam. Sedangkan untuk setiap jam berikutnya berlaku tarif Rp 2000 sampai Rp 4000. Kemudian untuk bus, truck dan sejenisnya berlaku Rp 6000 hingga Rp 7000 per jam nya dan Rp 3000 untuk setiap jam berikutnya. Lalu sepeda motor berlaku Rp 1000 sampai Rp 2000 perjamnya. Tarif parkir di atas juga berlaku untuk fasilitas parkir di wilayah perkantoran dan apartemen.
Selanjutnya, untuk fasilitas parkir di tempat umum seperti pasar, tempat rekreasi, rumah sakit dan lain-lain akan berlaku tarif Rp 2000 sampai Rp 3000. Tarif ini diterapkan bagi kendaraan golongan sedan, jeep, minibus, picup dan sejenisnya untuk jam pertama. Untuk jam berikutnya berlaku tarif Rp 2000 per jamnya. Untuk bus, truck, dan sejenisnya berlaku tarif Rp 3000 pada jam pertama dan Rp 3000 untuk setiap jam berikutnya. Sedang motor berlaku tarif Rp 1000 per jamnya.

4.3.3.4 Fasilitas Park and Ride
Parkir dan menumpang atau dalam bahasa Inggris Park and ride adalah kegiatan parkir kendaraan pribadi di tempat parkir dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus atau kereta api. Banyak ditemukan di stasiun kereta api di pinggir kota ataupun stasiun/shelter busway di pinggir kota. Manfaat pengembangan fasilitas parkir dan menumpang antara lain adalah:
­  Membantu mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat-pusat kegiatan,
­  Mendorong masyarakat untuk meningkatkan penggunaan angkutan umum,
­  Mengurangi konsumsi bahan bakar dan emisi gas rumah kaca karena angkutan umum menghasilkan emisi gas rumah kaca per penumpang km yang lebih rendah ketimbang menggunakan kendaraan pribadi,
­  Mengurangi kebutuhan ruang parkir dipusat kota.

Park and ride dibuat untuk masyarakat yang tinggal di luar Jakarta atau pinggiran Jakarta tetapi bekerja di pusat kota. Masyarakat diharapkan memarkirkan kendaraan di tempat-tempat yang telah disediakan lalu melanjutkan perjalanan dengan armada bus Trans Jakarta. Fasilitas park and ride sebagai penunjang transportasi massal di Ibu Kota belum optimal. Dari empat park and ride yang disediakan baru di Ragunan yang sudah berfungsi dengan baik. Tiga lokasi park and ride lainnya, di Kampung Rambutan, Kalideres, dan Lebak Bulus, belum maksimal.
Tarif park and ride untuk moda transportasi bus Transjakarta akan ditetapkan sebesar Rp 8000 untuk pengendara mobil dan Rp 5000 untuk sepeda motor. Besaran tarif tidak akan progresif demi mengundang minta warga menggunakan Transjakarta atau busway. Tarif ini sudah termasuk tiket Transjakarta sebesar Rp.3500, dengan tarif tersebut masyarakat bisa menitipkan kendaraannya selama 24 jam.

4.3.4 Peningkatan Kapasitas Jaringan
Peningkatan kapasitas jaringan bertujuan untuk melancarkan arus kendaraan dengan mengurangi hambatan laju kendaraan.

4.3.4.1 Intelligent Transport System (ITS)
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Dinas Perhubungan DKI Jakarta meluncurkan sistem pemantau kondisi lalu lintas di ibu kota. Sistem ini dinamakan Intelligent Transport System (ITS). Dilihat dari cara kerjanya, sistem ini hampir menyerupai sistem kerja Traffic Management Center (TMC) milik Polda Metro Jaya. Untuk tahap awal sistem ini baru dikembangkan untuk Bus Tracking System (BTS), Area Traffic Control System (ATCS) dan Traffic Information System (TIS). Tujuan pengadaan sistem ini untuk mengintegrasikan pengguna jalan dengan sistem transportasi dan kendaraan melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Tidak hanya sekadar memonitoring, sistem ini diharapkan melakukan langkah-langkah antisipatif dan reaktif terhadap kondisi lalu lintas di lapangan. Dengan adanya sistem ini dapat memberikan kepastian kepada pengguna jalan untuk mendapatkan informasi yang baik dan lengkap dari jaringan transportasi dan kondisi lalu lintas secara real time. Termasuk, membantu kemudahan pengoperasian headway, frekuensi dan memberikan jadwal informasi di halte maupun terminal. Operator sistem ITS ini berada di Gedung Dinas Teknis Jl Abdul Muis. Operator ini akan memberikan responnya dan tindak lanjut dari permasalahn lalu lintas yang terpantau ke ruang operator. Sistem kerja BTS berbeda dengan ATCS. Jika BTS, operator yang mengendalikan pramudi Trans Jakarta. Sedangkan ATCS, operator mengendalikan traffic light yang semuanya dikontrol melalui control room.

4.3.4.2 Pelebaran Jalan / Flyover / Underpass
Pada dasarnya, pelebaran jalan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas jalan yakni memperbesar arus lalu lintas. Pelebaran jalan saja tidak akan mengurangi kemacetan sebab jika jalan sudah dilebarkan maka arus lalu lintas juga akan ikut bertambah. Pengguna jalan akan beralih menggunakan jalan tersebut yang dianggap lebih lancar, sehingga penumpukan pun terjadi kembali. Semestinya dilebarkan secara menyeluruh pada titik-titik yang memiliki traffic tinggi. Banyaknya persimpangan jalan seperti pertigaan atau perempatan dalam jalur jalan di Jakarta membuat sejumlah ruas mengalami kemacetan parah. Untuk meminimalisir kemacetan di persimpangan dan meminimalisir kecelakaan di lintasan Kereta Api (KA) serta mengurai kemacetan saat kereta api melintas, Pemprov DKI Jakarta berencana membangun 12 underpass dan flyover di pintu perlintasan. Bahkan ke depan tidak akan ada lagi perlintasan sebidang, sehingga tidak mengganggu arus lalu lintas di ibu kota.
Sejauh ini, sudah 14 underpass dan 58 flyover yang dimiliki Jakarta. Dinas Pekerjaan Umum (DPU) DKI Jakarta membuat fly over dan underpass demi mendukung rencana PT KAI yang bertujuan untuk mendukung rencana program PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang akan melakukan peningkatan kualitas pelayanan kereta api. PT KAI akan meningkatkan headway (jarak tempuh) kereta menjadi lima menit.

4.3.4.3 Pengembangan Jaringan Jalan
Pengembangan jaringan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan. Pada tataran sistem transportasi makro pengembangan jaringan jalan diarahkan kepada peningkatan kapasitas operasional jaringan jalan yang terstruktur. Pengembangan yang dimaksud adalah pemisahan dan pendistribusian demand pergerakan lalu lintas. Lalu lintas kendaraan jarak jauh yang masuk dari daerah penyangga ibu kota semaksimal mungkin dipisahkan dengan lalu lintas lokal wilayah.
Pengembangan jaringan jalan sekaligus juga menyediakan pemenuhan angkutan massal berbasis bus (bus rapid transit) jarak jauh. Pada konteks ini, pembangunan jalan layang nontol ruas Blok M – Antasari dan ruas Kampung Melayu-Tanah Abang diupayakan dalam kerangka meningkatkan kapasitas ruas jalan dengan sasaran memisahkan lalu lintas kendaraan jarak jauh dengan lalu lintas lokal. Kemudian penyelesaian tol Jakarta Outer Ring Road seksi West 2 dan seksi Akses Pelabuhan Tanjung Priok merupakan hal yang perlu segera dituntaskan. Pengembangan jaringan jalan baru diutamakan juga untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di Sentra Primer Timur dan Sentra Primer Barat serta kawasan ekonomi khusus Marunda, Cilincing. Pada tataran transportasi mikro penyempurnaan jaringan jalan di arahkan kepada upaya memastikan jaringan jalan semaksimal mungkin mampu melayani pergerakan lalu lintas yang nyaman dan aman.

4.3.4.4 Pedestrianisasi
Pedestrianisasi kota merupakan suatu usaha dalam perancangan suatu kota dimana dalam perancangannya mengutamakan kepentingan pedestrian/pejalan kaki. Pedestrianisasi didefinisikan sebagai sebuah metode untuk merubah kawasan seperti jalan secara eksklusif untuk penggunaan pedestrian. Dan tujuan dari pedestrianisasi adalah untuk memberikan lingkungan pedestrian yang baik yaitu, udara yang bersih, tidak bising, dan koridor yang aman.
Fasilitas pejalan kaki (pedestrian) atau trotoar dibuat untuk keamanan dan kenyaman pejalan kaki dari benturan kendaraan di jalan. Desain tempat pejalan kaki didasarkan kepadatan lalu lintas pejalan kaki, seperti lebar, batas tinggi yang aman. Masalahnya pada daerah-daerah yang padat dalam kota, banyak trotoar beralih fungsi yaitu dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti pedagang kaki lima, tempat parkir sepeda motor dan mobil, atau kegiatan lain yang bisa mengganggu keamanan dan keselamatan pejalan kaki. Akibatnya pejalan kaki berjalan di jalan raya, yang sewaktu-waktu bisa terancam keselamtannya. Pedestrian yang salah peruntukan dan fungsinya akan mempersempit lebar jalan dan akhirnya menambah kemacetan jalan raya.
Rencana Pemprov DKI Jakarta melakukan pedestrianisasi (penataan
trotoar) di sepanjang Jalan di Jakarta akan dilakukan dengan serius oleh Pemerintah Provinsi Jakarta. Menurut Joko Widodo, Gubernur DKI, pedestrian di sejumlah tempat akan mengadopsi Orchard Road di Singapura. Saat ini pemerintah telah menetapkan uji coba penataan kembali pedestrian atau trotoar pejalan kaki di empat lokasi, yaitu pedestrian di Jl Cikini, Jl Kebon Sirih-Ridwan Sais, Jl Gajah Mada-Hayam Wuruk, dan Jl Sabang agar menjadi ruang publik dan pedestrian yang bermartabat. Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta sedang menyusun perencanaan pembangunan penataan keempat pedestrian tersebut. Diprediksikan anggaran penataan pedestrian tersebut mencapai Rp18,75 miliar.

4.4  Dampak Negatif Permasalahan Transportasi
Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) sebagaimana didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (World Commission on Environment and Development 1987), telah diterima secara luas di banyak negara di dunia. Namun demikian transportasi dengan memakai kendaraan bermotor merupakan pengguna terbesar dari sumberdaya alam yang tidak terbaharukan (nonrenewable resources), terutama minyak bumi, disamping menghasilkan gas buang yang berbahaya (bagi kesehatan manusia) dan tidak dapat dikurangi/dihilangkan. Transportasi juga merupakan penyumbang terbesar dalam pencemaran udara, khususnya di perkotaan.
Pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia juga memicu terjadinya peningkatan polusi, namun hal seperti ini tampaknya menjadi rumit ketika melihat faktor produksi dalam pertumbuhan kendaraan bermotor. Jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor mendeskripsikan suatu pengrusakan lingkungan terbukti tidak terbatas hanya melihat faktor-faktor pengguna transportasi saja. Namun dapat melihat lebih luas bagaimana tindakan-tindakan tersebut dapat terjadi sehingga mengakibatkan dampak bahaya. Namun, seiring dengan pentingnya sarana transportasi sebagai penunjang kegiatan ekonomi, transportasi menciptakan banyak problema lingkungan yang cukup sulit ditemukan solusinya.

4.4.1        Dampak Transportasi Bagi Lingkungan (Udara)
Perencanaan sistem transportasi yang kurang matang, bisa menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya kemacetan dan tingginya kadar polutan udara akibat berbagai pencemaran dari asap kendaraan bermotor. Polutan (bahan pencemar) yang ada di udara, seperti gas buangan CO (karbon monoksida) lambat laun telah mempengaruhi komposisi udara normal di atmosfer. Kualitas udara perkotaan sangat menurun akibat tingginya aktivitas transportasi. Dampak yang timbul meliputi meningkatnya konsentrasi pencemar konservatif yang meliputi karbon monoksida (CO), Oksida sulfur (SOx), Oksida nitrogen (NOx), Hidrokarbon (HC), Timbal (Pb), Ozon perkotaan (O3), Partikulat (debu). Dampak yang dirasakan akibat menurunnya kualitas udara perkotaan adalah adanya pemanasan global akibat perubahan iklim, hujan asam, efek rumah kaca serta kerusakan lapisan ozon.
Dampak dari pemanasan global adalah mencainya es di kutub, perubahan iklim regional dan global, serta perubahan siklus hidup flora dan fauna. Selain itu juga akan terjadi peningkatan badai atmosferik, bertambahnya populasi dan jenis organisme penyebab penyakit dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, perubahan pola curah hujan, dan perubahan ekosistem hutan, daratan serta ekosistem lainnya. Hujan asam merupakan perubahan pH air hujan yang biasanya 5,6 karena adanya CO2 di atmosfer. Pencemaran udara seperti SO2 dan NO2 bereaksi dengan air hujan membentuk asam dan menurunkan pH air hujan. Dampak dari hujan asam ini yaitu mempengaruhi kualitas air tanah dan air permukaan serta bersifat korosif sehingga merusak material dan bangunan. Efek rumah kaca disebabkan oleh keberadaan CO2, CFC, metana, ozon, dan N2O di lapisan troposfer yang menyerap radiasi panas matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi. Akibatnya panas terperangkap dalam lapisan troposfer dan menimbulkan fenomena pemanasan global. Lapisan ozon yang berada di stratosfer (ketinggian 20-35 km) merupakan pelindung alami bumi yang berfungsi memfilter radiasi ultraviolet B dari matahari. Pembentukan dan penguraian molekul-molekul ozon (O3) terjadi secara alami di stratosfer. Emisi CFC yang mencapai stratosfer dan bersifat sangat stabil menyebabkan laju penguraian molekul-molekul ozon lebih cepat dari pembentukan, sehingga terbentuk lubang-lubang pada lapisan ozon.
Transportasi sebagai sarana dan fasilitas yang diciptakan oleh teknologi masa kini ternyata menambah permasalahan dalam pencemaran udara. Pada masa sekarang ini, pencemaran udara di Indonesia 70%nya diakibatkan oleh emisi kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber pencemaran udara yang utama di daerah perkotaan. Emisi yang paling signifikan dari kendaraan bermotor ke atmosfer berdasarkan massa adalah gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O) yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang berlangsung sempurna. Pembakaran yang sempurna dapat dicapai dengan tersedianya suplai udara yang berlebih. Namun, kondisi pembakaran yang sempurna dalam mesin kendaraan jarang terjadi. Sebagian kecil dari bahan bakar dioksidasi menjadi karbon monoksida (CO). Sebagian hidrokarbon (HC) juga diemisikan dalam bentuk uap dan partikel karbon dari butiran-butiran sisa pembakaran bahan bakar.
Kondisi emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin, sehingga langkah-langkah untuk mengurangi emisi gas buang harus mengkombinasikan teknologi pengendalian dengan konservasi energi dan teknik-teknik pencegahan pencemaran. Pengalaman dari negara-negara maju menunjukkan bahwa emisi zat-zat pencemar udara dari sumber transportasi dapat dikurangi secara substansial dengan penerapan teknologi kendaraan seperti katalis (three-way catalyst) dan juga pengendalian manajemen lalu lintas setempat. Namun, untuk kondisi Indonesia, dengan pertumbuhan perkotaan yang cepat yang meningkatkan kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor di daerah perkotaan perlu terus dilakukan upaya mengurangi emisi kendaraan bermotor.

4.4.2        Dampak Transportasi Bagi Lingkungan (Air)
Secara tidak langsung, kegiatan transportasi akan memberikan dampak terhadap lingkungan air terutama melalui air buangan dari jalan raya. Air yang terbuang dari jalan raya, terutama terbawa oleh air hujan, akan mengandung bocoran bahan bakar dan juga larutan dari pencemar udara yang tercampur dengan air tersebut.
Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Apabila air telah tercemar maka kehidupan manusia terganggu. Ini merupakan bencana besar. Hampir semua mahluk hidup dimuka bumi ini memerlukan air. Apabila air sudah tercemar, maka dapat menyebabkan kerugian bagi umat manusia. Air yang sudah tercemar oleh limbah industri, rumah tangga dan lain-lain tidak dapat dipergunakan, karena sudah tercemar. Apabila digunakan dapat menimbulkan berbagai penyakit menular. Pencemaran air dapat dihindari apabila masing-masing pihak mau menjaga. Didalam kegiatan industri dan teknologi air yang telah digunakan (air limbah industri) tidak boleh langsung dibuang ke lingkungan karna dapat menyebabkan pencemaran. Jadi, harus diproses daur ulang baru dikembalikan ke lingkungan.

4.4.3        Kebisingan
Bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki, atau tenaga getaran yang tidak terkendali. Umumnya ada tiga sumber kebisingan :
a. Kebisingan lalu lintas/transportasi
b. Kebisingan pekerjaan atau industri
c. Kebisingan penduduk/permukiman
Semua kebisingan tersebut dapat menghasilkan kerusakan fisik dan psikologis. Kebisingan lalu lintas adalah konstan dan menyebar luas, karena itu menimbulkan masalah-masalah yang lebih serius. Pada umumnya kecepatan kendaraan yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat kebisingan yang lebih tinggi pula, dan permukaan jalan yang makin kasar juga akan menghasilkan kebisingan yang makin tinggi. Bunyi yang paling keras ditimbulkan di daerah persimpangan (intersection area) dengan adanya kendaraan yang berhenti atau mengerem, serta kendaraan yang mulai berjalan.

4.4.4        Dampak Transportasi Bagi Lingkungan (Kesehatan Masyarakat)
Dampak terhadap kesehatan merupakan dampak lanjutan dari dampak terhadap lingkungan udara. Tingginya kadar timbal dalam udara perkotaan telah mengakibatkan tingginya kadar timbal dalam darah dimana senyawa CO dapat menimbulkan reaksi pada hemoglobin (Hb) dalam darah.
Karakteristik biologik yang paling penting dari CO adalah kemampuannya untuk berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengakut oksigen keseluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihaemoglobin (HbCO) yang 200 kali lebih stabil dibandingkan oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Dampat keracunan CO sangat berbahaya bagi orang yang telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah periferal yang parah. Dampak dari CO bervasiasi tergantung dari status kesehatan seseorang. Pengaruh CO kadar tinggi terhadap sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskular telah banyak diketahui. jelas bahwa CO mampu untuk mengganggu transpor oksigen ke seluruh tubuh yang dapat berakibat serius pada seseorang yang telah menderita sakit jantung atau paru-paru. Substansi pencemar yang terdapat di udara dapat masuk ke dalam tubuh melalui sistem pernapasan. Dari paru-paru, zat pencemar diserap oleh sistem peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Dampak kesehatan yang paling umum dijumpai adalah ISNA (infeksi saluran napas atas), termasuk di antaranya, asma, bronkitis, dan gangguan pernapasan lainnya. Beberapa zat pencemar dikategorikan sebagai toksik dan karsinogenik.



4.4.5        Dampak Terhadap Nilai Waktu
Tujuan dasar dari perencanaan transportasi adalah merencanakan jumlah serta lokasi kebutuhan akan transportasi (misalnya menentukan total pergerakan, baik untuk angkutan umum maupun angkutan pribadi) pada masa mendatang ataupun pada tahun rencana yang akan digunakan untuk berbagai kebijakan investasi perencanaan transportasi (Tamin, 2000). Untuk mengantisipasi kondisi transportasi jalan kota melalui penyediaan sarana dan prasarana angkutan yang memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang, maka diperlukan analisis ekonomi yang bertujuan untuk menilai manfaat yang dapat diperoleh, diantaranya penghematan atas waktu tempuh (time saving). Nilai waktu perjalanan didefinisikan sebagai sejumlah uang yang bersedia dikeluarkan oleh seseorang untuk menghemat waktu perjalanan atau sejumlah uang yang disiapkan untuk dibelanjakan atau dikeluarkan oleh seseorang dengan maksud untuk menghemat atau untuk mendapatkan satu unit nilai waktu perjalanan. Teori nilai waktu muncul disebabkan oleh adanya hipotesis tentang individu memilih atau membagi waktunya untuk berbagai kegiatan dan bagaimana pilihan atau pembagian waktu tersebut berkaitan dengan suatu keputusan (Hensher, 1989).
Kondisi permasalahan transportasi di Jakarta kini berdampak terhadap nilai waktu. Bagi individu yang melakukan perjalanan dengan tujuan kerja, nilai waktu yang dilewatkan mungkin akan mempunyai perbedaan yang berarti dibandingkan bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan maksud berwisata atau sekedar mengunjungi teman atau keluarga. Sistem transportasi yang buruk di sebagian besar wilayah Jakarta telah menimbulkan kemacetan sangat parah. Kerugian akibat macet dari perhitungan kemacetan menyebabkan waktu yang terbuang percuma (nilai waktu). Biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan.
Berdasarkan data Yayasan Pelangi, kemacetan lalu lintas berkepanjangan di Jakarta menyebabkan pemborosan senilai Rp 8,3 triliun per tahun. Data yang sama diungkapkan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bambang Susantono, mengacu pada kajian Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004). Perhitungan itu mencakup tiga aspek sebagai konsekuensi kemacetan, yakni pemborosan BBM akibat biaya operasional kendaraan senilai Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu yang terbuang Rp 2,5 tri- liun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara sebesar Rp 2,8 triliun. Angka kerugian akan terus meningkat secara gradual seiring kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di Jakarta. Tingginya penggunaan kendaraan bermotor menjadi pemicu utama permasalahan kemacetan di DKI Jakarta.

4.4.6        Solusi Untuk Menanggulangi Dampak Negatif dari Permasalahan Transportasi
Perencanaan sistem transportasi harus disertai dengan pengadaan prasarana yang sesuai dan memenuhi persyaratan dan kriteria transportasi antara lain volume lalu lintas, kecepatan rata-rata, aliran puncak, keamanan pengguna jalan. Selain itu harus juga memenuhi persyaratan lingkungan yang meliputi jenis permukaan, pengamanan penghuni sepanjang jalan, kebisingan, pencemaran udara, penghijauan, dan penerangan. Dalam mencapai sistem transportasi yang ramah lingkungan dan hemat energi, persyaratan spesifikasi dasar prasarana jalan yang digunakan sangat menentukan. Permukaan jalan halus, misalnya, akan mengurangi emisi pencemaran debu akibat gesekan ban dengan jalan. Jalur hijau sepanjang jalan raya akan mereduksi tingkat kebisingan lingkungan pemukiman yang ada di sekitar dan sepanjang jalan, dan juga akan mengurangi emisi pencemar udara keluar batas jalan yang memiliki kecepatan tinggi. Dalam konteks ini, untuk mencapai sistem transportasi darat yang terbebas dari dampak terhadap lingkungan, ada beberapa hal yang perlu dijalankan, di antaranya;
a.       Rekayasa lalu lintas.
Rekayasa lalu lintas khususnya menentukan jalannya sistem transportasi yang direncanakan. Penghematan energi dan reduksi emisi pencemar dapat dioptimalkan secara terpadu dalam perencanaan jalur, kecepatan rata-rata, jarak tempuh per kendaraan per tujuan (vehicle mile trip dan passenger mile trip), dan seterusnya. Pola berkendara (driving pattern/cycle) pada dasarnya dapat direncanakan melalui rekayasa lalu lintas. Dalam perencanaan, pertimbangan utama diterapkan adalah bahwa aliran lalu lintas berjalan dengan selancar mungkin, dan dengan waktu tempuh yang sekecil mungkin, seperti yang dapat di uji dengan model asal-tujuan (origin-destination). Dengan meminimumkan waktu tempuh dari setiap titik asal ke titik tujuannya masing-masing akan dapat dicapai efisiensi bahan bakar yang maksimum, dan reduksi pencemar udara yang lebih besar.

b.       Pengendalian pada sumber (mesin kendaraan).
Jenis kendaraan yang digunakan sebagai alat transportasi merupakan bagian di dalam sistem transportasi yang akan memberikan dampak bagi lingkungan fisik dan biologi akibat emisi pencemaran udara dan kebisingan. Kedua jenis pencemaran ini sangat ditentukan oleh jenis dan kinerja mesin penggerak yang digunakan. Perubahan-perubahan yang dilakukan dalam rencana mesin, meliputi pemasangan (katup) PCV palse sistem karburasi, sistem pemantikan yang memungkinkan pembakaran lebih sempurna, sirkulasi uap bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi emisi tangki BBM, dan after burner untuk menurunkan emisi. Sedangkan teknologi retrofit disyaratkan dengan pemasangan alat Retrofit Catalitic Converter untuk mereduksi emisi HC dan NOX dan debu (TSP). Teknologi ini membawa implikasi yang besar terhadap sistem BBM, karena tetra ethyl lead (TEL) tidak dapat lagi ditambahkan dalam BBM.

c.       Energi transportasi.
Besarnya intensitas emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor selain ditentukan oleh jenis dan karakteristik mesin, juga sangat ditentukan oleh jenis BBM yang digunakan. Seperti halnya penggunaan LPG, akan memungkinkan pembakaran sempurna dan efisiensi energi yang tinggi. Selain itu dalam rangka upaya pengendalian emisi gas buang, bila peralatan retrofit digunakan, diperlukan syarat bahan bakar, khusus yaitu bebas timbal.

Upaya yang telah dilakukan di DKI Jakarta adalah dengan penerapan program car free day. Hasil pengukuran terakhir kualitas udara DKI Jakarta pada maret 2010 menunjukkan bahwa penurunan tingkat pencemaran udara terjadi secara signifikan. Hasil pengukuran terakhir menunjukkan, kadar debu di DKI Jakarta berkurang sampai 71 persen. Itu menunjukkan bahwa program car free day yang telah dilaksanakan berjalan efektif dan telah memberikan dampak positif. Selain itu, tiap bulannya Pemerintah provinsi DKI Jakarta menggelar pula Jakarta Great Clean dengan cara melakukan penutupan jalan-jalan atau kawasan-kawasan tertentu di Jakarta selama 6 jam, antara lain jalan Sudirman-Thamrin, kawasan Kota Tua, Rasuna Said, Boulevard Artha Gading, dan jalan Letjen Suprapto.


BAB V
PENUTUP

5.1  Simpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diperoleh suatu simpulan sebagai berikut:
1.      Jakarta adalah sebuah kota dengan penduduknya yang terdiri dari berbagai sektor dengan jumlah yang padat. Untuk melayani semua kegiatan, Jakarta harus memiliki sistem kualitas transportasi yang dapat melayani seluruh penduduk Jakarta. Permasalahan sistem transportasi Jakarta saat ini terletak pada besarnya volume kendaraan yang tidak sesuai dengan kapasitas ruas jalan. Selain itu, jaringan jalan yang tidak memadai, pertumbuhan kendaraan yang sangat tinggi, tidak memadainya pelayanan angkutan umum, pelanggaran ketentuan lalu lintas serta kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat.
2.      Permasalahan sistem transportasi Jakarta tidak hanya terletak pada sarana dan prasarana transportasi, tetapi merupakan interaksi antara bagian-bagian sistem transportasi makro yaitu sistem kegiatan, sistem jaringan transportasi, sistem pergerakan lalu lintas, serta sistem kelembagaan.yang saling mempengaruhi. Setiap sistem kegiatan akan menimbulkan pergerakan dan membutuhkan sistem jaringan sebagai sarana serta prasarannya apabila tidak dilakukan pengaturan dengan baik akan menimbulkan permasalahan lalu lintas. Dalam usaha untuk menjamin terwujudnya sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah, handal, dan sesuai dengan lingkunganya maka diperlukan peranan sistem kelembagaan.
3.      Dalam pembenahan sistem transportasi diperlukan penerapan pola transportasi makro, antara lain dengan pengembangan angkutan umum massal, pembatasan lalu lintas serta peningkatan kapasitas jaringan. Prinsipnya adalah meningkatkan aksesibilitas, memasyarakatkan angkutan umum massal serta mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Dengan demikian jelas diperlukan adanya kebijakan pemerintah untuk membenahi sistem transportasi DKI Jakarta. Kebijakan ini lebih dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan angkutan umum yang layak dan dikelola dengan baik. Pengembanagan busway Transjakarta merupakan solusi sarana angkutan umum yang telah dilakukan. Serta saat ini telah dilakukan perencanaan dan pembangunan monorel serta subway sebagai solusi pembenahan angkutan massal DKI Jakarta.
4.      Permasalahan transportasi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan udara yang berupa polusi asap kendaraan, terhadap lingkungan air melalui air buangan dari jalan raya, dampak kebisisngan suara yang ditimbulkan oleh suara mesin kendaraan, dampak bagi kesehatan manusia serta dampak kemacetan terhadap nilai waktu yang mencapai 8,3 triliun per tahun.

5.2  Saran
Berdasarkan simpulan yang didapat dari hasil penelitian diatas, maka penulis mencoba memberikan saran. Adapun saran-saran tersebut antara lain :
1.         Dalam pemilihan sistem serta layanan transportasi yang utama diperlukan adalah integrasi. Angkutan umum perkotaan harus terintegrasi dan memberikan opsi berkendaraan bagi warga di perkotaan. Pemerintah sebagai pembina sistem harus mampu menempatkan diri dan sebagai pengendali layanan yang dibutuhkan masyarakat. Simulasi dan pemodelan sebaiknya dilakukan, sehingga pemerintah dapat memetakan bagaimana pergerakan barang dan manusia terjadi di suatu kota.
2.         Perlu dilakukan pengendalian jumlah penduduk serta pengawasan pertumbuhan guna lahan baru yang tidak sesuai dengan RTRW kota Jakarta.
3.         Perencanaan sistem transportasi harus disertai dengan pengadaan prasarana yang memadai dan memenuhi persyaratan dan kriteria transportasi yang baik.
4.         Masalah transportasi dalam kaitannya dengan lingkungan memerlukan usaha untuk mengatasinya secara terencana dan terpadu. Perencanaan sistem transportasi haruslah menjadi prioritas dalam upaya menanggulangi hal tersebut, terutama dalam menekan dampak negatif bagi lingkungan. Dampak sektor transportasi terhadap lingkungan perlu dikendalikan dengan melihat semua aspek yang ada di dalam sistem transportasi, mulai dari perencanaan sistem transportasi, model transportasi, sarana, pola aliran lalu lintas, jenis mesin kendaraan dan bahan bakar yang digunakan.