BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1 Permasalahan Sistem Transportasi DKI
Jakarta Saat Ini
Kemacetan di daerah ibu kota telah menjadi penyakit kronis
sejak awal tahun 1990-an, dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan.
Berbagai solusi ditawarkan, namun tidak satupun berjalan efektif untuk
mengatasinya, karena solusi yang ditawarkan (misal: jalur 3-in-1, jalur khusus
bus, perbaikan jalan, dan pembangunan jalan tol) cenderung terpilah-pilah
(parsial), tidak sistematis, dan tidak kontinu. Departemen Pekerjaan Umum (PU)
sebagai pembina urusan jalan merupakan salah satu pihak yang menjadi sasaran complain masyarakat yang bertubi-tubi
tentang persoalan kemacetan tersebut. Fakta ini dapat dipahami mengingat saat
ini 90% angkutan penumpang maupun barang bertumpu pada jaringan jalan yang
ada.Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan sejauh ini merupakan harapan terbesar
masyarakat ibu kota, daerah sekitarnya, bahkan nasional, untuk mendukung
kegiatan sosial ekonominya.
Kemacetan digambarkan secara teoritik, oleh arus yang tidak
stabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang
panjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau
pada persimpangan lalu lintas di pusat-pusat perkotaan. Kemacetan yang parah
sebagaimana terjadi di Jakarta dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi, yakni sisi
supply (penyediaan) dan sisi demand (kebutuhan). Anatomi kemacetan
diperlihatkan secara skematik pada Gambar 4.1 berikut
:
Gambar
4.1 Kemacetan pada aglomerasi Jakarta ditinjau dari sisi supplay dan deman
Sebagian dari faktor-faktor penyebab tersebut (box warna kuning)
berada dalam lingkup tugas, tanggung jawab, dan kompetensi Departemen Pekerjaan
Umum, yang meliputi peningkatan laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) di
Jabodetabek adalah 1% per tahun, tidak sebanding dengan laju pertambahan
kendaraan yang mencapai 11% per tahun. Volume yang tidak sebanding antara
jumlah kendaraan dan panjang jalan menyebabkan kemacetan yang parah pada
jam-jam puncak. Upaya peningkatan kapasitas jalan (khususnya jalan tol dan
simpang susun) terkendala oleh proses pembebasan lahan yang berjalan lambat dan
keterbatasan dana yang tersedia. Terlebih bahwa Departemen PU harus menutup
setiap tahunnya biaya eksternalitas dari kerusakan jalan yang disebabkan oleh
pembebanan berlebihan (over loading),
serta kualitas rencana tata ruang yang belum memadai dan pengendalian
pemanfaatan ruang yang lemah (ketidakmampuan menghadang kekuatan pasar)
menyebabkan instrumen penataan ruang menjadi tidak efektif.
4.1.1 Jaringan Jalan
yang Tidak Memadai
Jaringan jalan merupakan rangkaian ruas-ruas jalan yang
dihubungkan dengan simpul-simpul. Simpul-simpul merepresentasikan pertemuan
antar ruas-ruas jalan yang ada. Jaringan jalan mempunyai peranan penting dalam
pengembangan wilayah dan melayani aktifitas kawasan. Masih banyak ditemukan
jalan dengan kualitas geometrik yang tidak memenuhi persyaratan, keadaan ini
mendorong tingginya angka kecelakaan serta berbagai permasalahan lainnya.
Permasalahan yang terkait geometik antara lain meliputi:
1. Jaringan jalan untuk kendaraan
Jaringan jalan terutama di kawasan perkotaan yang tidak
memiliki konsep jaringan yang memadai yang mengakibatkan pilihan rute menuju
suatu kawasan terbatas sehingga beban jalan-jalan tertentu menjadi sedemikian
padatnya. Hal ini diperparah dengan jumlah kendaraan yang sangat tinggi, sebagai
contoh panjang jalan untuk setiap kendaraan di Jakarta hanya mencapai 1,17 m,
sehingga apabila kendaraan disusun tidak akan mencukupi panjang jalan yang ada
DKI Jakarta, dan kalau menggunakan kriteria lainnya yaitu panjang jalan per
kapita hanya 0,88 m, angka yang kecil kalau dibandingkan dengan kota-kota lain
didunia (kota-kota di Eropa berkisar 2,5 m/kapita dan kota-kota Amerika Utara
berkisar 5 m/kapita).
Perlintasan sebidang menambah kemacetan pada kawasan
Jabodetabek. Berdasarkan identifikasi, pada saat ini terdapat 46 kawasan di
kawasan ini dengan total 100 titik simpang rawan macet di Jakarta, dimana 8
(delapan) kawasan di antaranya memiliki lebih dari 4 (empat) titik simpang
rawan (Kawasan Ancol/Gunung Sahari, Jatibaru/Tanah Abang, Kalimalang, Mampang/Buncit,
Pasar Minggu, Pondok Indah, Pulo Gadung, dan Tambora). Tingkat keparahan pada 8
(delapan) kawasan ini dua kali lipat lebih tinggi dari kawasan-kawasan lainnya.
2.
Jaringan jalan bagi pejalan kaki
Fasilitas pejalan kaki umumnya tidak mendapat perhatian yang
cukup oleh pemerintah daerah, dan kalaupun fasilitas pejalan kaki tersedia
tidak didukung dengan standar desain yang baik sehingga tidak bisa digunakan
oleh pngguna yang berkebutuhan khusus baik yang menggunakan kursi roda maupun penderita
yang buta. Keadaan ini diperparah lagi oleh pedagang kaki lima yang berjualan
di trotoar ataupun digunakan untuk kendaraan parkir. Permasalahan lain yang
terkait dengan pejalan kaki adalah kurangnya fasilitas penyeberangan yang
dikendalikan didaerah pusat kota, ataupun ketidak patuhan pemakai kendaraan
bermotor untuk tidak memberikan perioritas terhadap pejalan kaki.
3. Tata Ruang yang tidak terkendali
Permasalahan lainnya yang besar adalah tata ruang yang tidak
terkendali sehingga mengakibatkan berbagai permasalahan, diantaranya jalan yang
tidak teratur terutama dikawasan pemukiman dan terkadang didaerah yang kumuh
gang-gang yang ada sedemikian sempitnya sehingga bila terjadi kebakaran sulit
untuk dimasuki mobil pemadam kebakaran.
4.1.2 Pertumbuhan Kendaraan
yang Sangat Tinggi
Jumlah kendaraan yang tidak sesuai dengan kapasitas jalan
sering dijadikan kambing hitam penyebab kemacetan di Jakarta. Seperti pada
Gambar 4.2 berikut terlihat kemacetan di Jakarta sudah luar biasa parahnya.
Gambar. 4.2 Kendaraan yang memadati ruas jalan Jakarta
Berbagai
cara pun dilakukan pemerintah dalam upaya mengurangi kepadatan volume
kendaraan. Namun, tidak ada perubahan yang signifikan dari sejumlah solusi yang
telah diterapkan. Penyebabnya adalah jumlah kendaraan yang dipasarkan di
Jakarta tidak bisa dibendung. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas
(Ditlantas) Polda Metro Jaya, jumlah penjualan mobil di Jakarta memang
mengalami peningkatan sebanyak 11% dibandingkan tahun 2011. Di kuartal I tahun
2011, mobil yang terjual di Jakarta mencapai 225.739 unit. Sedangkan untuk
tahun 2012, di kuartal pertama sudah mencapai 249.589 unit. Dengan jumlah
penjualan yang meningkat tersebut, otomatis kendaraan-kendaraan baru itu
semakin membanjiri dan memperparah kemacetan Jakarta.
Sejak Januari sampai April 2012 ini, kendaraan yang membebani
jalanan Jakarta sudah mencapai 13.346.802. Dengan perincian, motor 9.861.451
unit, mobil 2.541.351 unit, mobil beban 581.290 unit, dan bus 363.710 unit.
Secara keseluruhan, Indonesia kini menjadi negara ketiga yang paling banyak
menggunakan kendaraan bermotor setelah Amerika dan China. Di tahun 2011, jumlah
kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 107.226.572 unit. Dengan rincian,
mobil sebanyak 20.158.595 unit dan sepeda motor 87.067.796 unit.
Pertumbuhan pemilikan kendaraan pribadi yang sangat tinggi
antara 8 sampai 13 persen setahun yang pada gilirannya digunakan di jalan
sehingga beban jaringan jalan menjadi semakin berat. Angka pemilikan kendaraan
yang tinggi ini akan mengakibatkan permasalahan parkir yang cukup serius dengan
seringnya melakukan pelanggaran parkir.
4.1.3 Tidak Memadainya
Pelayanan Angkutan Umum
Amburadulnya pelayanan angkutan umum menjadi salah satu
penyebab kemacetan Jakarta. Kondisi kendaraan yang tidak laik jalan seperti
yang terlihat pada Gambar 4.3 berdampak
pada berkurangnya minat masyarakat untuk menggunakan angkutan umum.
Gambar 4.3 Kondisi angkutan umum
Ketika
akan naik angkutan, penumpang harus berlari dan berpeluh keringat. Saat sudah
naik pun harus bermandi keringat di antara para penumpang yang penuh sesak. Tak
jarang penumpang harus bergantungan di pintu kendaraan, yang sangat berisiko
terhadap keselamatan jiwa. Mereka yang diburu oleh waktu mau tidak mau harus
berlari mengejar angkutan umum yang tak jarang menyambut mereka dengan asap
knalpot yang langsung menghantam wajah.
Selain harus berlari dan berdesak-desakan untuk bisa
berangkat ke tempat tujuan, ketidaknyamanan lain yang harus dirasakan penumpang
angkutan umum adalah persoalan kondisi fisik angkutan yang sangat tidak layak.
Mulai dari bodi kendaraan yang berkarat dan keropos, atap kendaraan yang
berlubang, kaca jendela yang tidak lengkap, dan ban kendaraan yang tipis.
Kondisi fisik kendaraan seperti itu salah satunya dapat terlihat hampir di
setiap jalan di Kota Jakarta. Salah satunya terlihat di Terminal Kampung
Melayu, Jakarta Timur. Kondisi serupa pun terjadi pada angkutan umum berjenis
minibus, seperti Kopaja dan Metromini. Selain bodi yang penuh tambalan,
beberapa kaca jendela tampak tidak terpasang. Belum lagi coretan pada bagian
dinding dan atap yang mengganggu kenyamanan. Ban cadangan berukuran besar yang
diletakkan di bagian belakang pun sedikit menggangu penumpang yang duduk di
bangku belakang.
Dari data yang diperoleh, di Jakarta saat ini terdapat sedikitnya
22.776 angkutan umum jenis bus besar, sedang dan bus kecil dinilai telah
berusia uzur. Bahkan 16.460 bus diantaranya telah reyot. Jumlah tersebut
merupakan hasil kalkulasi yang dikeluarkan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI dan
Organda DKI.
Melihat kenyataan ini tidaklah heran jika upaya Pemprov DKI
untuk mengubah pola masyarakat untuk beralih ke angkutan umum dapat terbilang
sia-sia. Karena tidak didukung dengan sarana yang memadai. Kepulan asap
knalpot, dan bodi kendaraan yang berkarat menjadi ciri khas angkutan kota di
Jakarta. Kondisi ini diperparah dengan perilaku pengemudi yang ugal-ugalan.
Angkutan umum yang tidak memadai mendorong masyarakat untuk
menggunakan kendaraan pribadi. Permasalahan pelayanan angkutan umum yang
dihadapi pemerintah daerah adalah:
Pada trayek-trayek tertentu jumlah bus
yang melayani angkutan tidak mencukupi, khususnya pada saat permintaan puncak,
tapi pada trayek lainnya terkadang sangat melebihi kebutuhan sehingga pada
gilirannya untuk mempertahankan operasi operator menterlantarkan kualitas
pelayanan.
Ukuran kendaraan tidak sesuai dengan
permintaan yang ada, di banyak kota pelayanan angkutan pada koridor utama
dengan permintaan yang tinggi dilayani dengan angkutan umum ukuran kecil/angkot
yang kapasitas angkutnya hanya pada kisaran 10 orang.
Kualitas angkutan yang sangat tidak
memadai
Jadwal yang tidak teratur
Fasilitis perhentian yang tidak memadai,
atap bocor, tidak dilengkapi dengan informasi jaringan angkutan umum yang
melewati perhentian tersebut, tidak dilengkapi dengan jadwal.
4.1.4 Pelanggaran Ketentuan Lalu Lintas
Pelanggaran ketentuan lalu lintas yang dilakukan masyarakat
kian tambah memprihatikan dari tahun ke tahun yang pada gilirannya akan
mengakibatkan peningkatan kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal
ataupun luka-luka yang tidak sedikit. Disamping itu ketidak tertiban juga akan
mengganggu kelancaran lalu lintas yang akan menurukan kecepatan perjalanan.
Untuk meningkatkan ketertiban masyarakat perlu dipelajari dan dipetakan kembali
profil pelanggaran yang dilakukan masyarakat termasuk juga pelanggaran yang
dilakukan oleh petugas. Pengamatan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
masyarakat:
1. Tingginya
pelanggaran terhadap batas kecepatan yang seolah-olah tidak ada batasan
kecepatan yang diberlakukan hal ini terutama menjadi masalah pada jalan yang
lalu lintas sedang sepi.
2. Tingginya
pelanggaran pada persimpangan yang dikendalikan lampu lalu lintas khususnya
didaerah pingiran kota. Pelanggaran terutama tinggi dilakukan oleh pengendara
sepeda motor, pengemudi angkutan umum khususnya angkot. Pelanggaran lain yang
juga terjadi bahwa pengemudi tetap masuk persimpangan pada saat lampu sudah
berubah menjadi merah dan kadang bila lalu lintas didepannya macet pengemudi
akan menghambat lalu lintas yang mendapatkan lampu hijau dan akhirnya
persimpangan akan terkunci.
3. Tidak
berjalannya aturan penggunaan persimpangan perioritas atau bundaran lalu
lintas, pelanggaran ini pada gilirannya mengakibatkan persimpangan terkunci.
Memang pengertian masyarakat tentang hak menggunakan persimpangan masih sangat
rendah terutama pada persimpangan yang dilengkapi dengan rambu beri kesempatan
ataupun rambu stop.
4. Pelanggaran
jalur yang dilakukan oleh pengguna jalan dengan berjalan menggunakan jalur
lawan pada jalan-jalan yang dipisah dengan median ataupun jalan satu arah.
Pelanggaran ini terutama dilakukan oleh pengguna sepeda motor.
5. Pelanggaran
terhadap penggunaan jalan, khususnya dijalur khusus bus yang lebih dikenal
sebagai busway.
6. Pelanggaran
tertib penggunaan perangkat keselamatan seperti helm dan sabuk keselamatan yang
cenderung masih tinggi terutama di kawasan pinggiran kota.
4.1.5 Kecelakaan Lalu Lintas
Angka kecelakaan di Indonesia cenderung cukup tinggi bila
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asean. Berbagai langkah perlu
dilakukan untuk bisa mengendalikan angka kecelakaan tersebut. Faktor yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan adalah:
1. Faktor manusia
Faktor manusia merupakan penyebab kecelakaan yang paling
besar, bisa mencapai 85 persen dari seluruh kejadian kecelakaan. Seperti pada
Gambar 4.4 berikut, merupakan kecelakaan bus yang keluar dari bada jalan
disebabkan oleh pengemudi yang mengantuk.
Gambar 4.4 Kecelakaan lalu lintas
Hampir seluruh kejadian kecelakaan didahului dengan
pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangan tentang lalu lintas dan
angkutan. Faktor manusia berupa keahlian yang tidak memadai dalam menjalankan
kendaraan, kesalahan menginterprestasikan aturan, pengemudi sedang mabuk atau
mengantuk, atau terkadang sengaja melakukan pelanggaran karena ingin lebih
cepat sampai di tujuan dengan mengemudikan kendaraan lebih cepat dari ketentuan
atau sengaja melanggar lampu lalu lintas dan berbagai penyebab lainnya.
2. Faktor Kendaraan
Faktor kendaraan diantaranya yang paling sering terjadi
adalah ban pecah, rem tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam
yang mengakibatkan bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti
dan berbagai penyebab lainnya. Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait
dengan teknologi yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan.
Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan diperlukan,
disamping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor
secara reguler.
3. Faktor jalan
Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan,
geometrik jalan, kemiringan permukaan jalan (super elevasi jalan), pagar
pengaman di daerah pegunungan, tidak adanya median jalan, jarak pandang dan
kondisi permukaan jalan, tidak memadainya bahu jalan fasilitas pejalan kaki
yang sering diabaikan atau tidak tersedia. Jalan yang rusak/berlobang sangat
membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda motor.
4. Faktor cuaca
Faktor Cuaca seperti hari hujan juga mempengaruhi cara kerja
kendaraan seperti jarak pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih
licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca tidak bisa bekerja
secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi lebih
pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama di daerah
pegunungan
4.2 Keterkaitan Sistem Transportasi
Makro terhadap Permasalahan Transportasi DKI Jakarta
Permasalahan
transportasi terjadi sebagai interaksi antara bagian-bagian sistem transportasi
makro yaitu sistem kegiatan, sistem jaringan transportasi, sistem pergerakan
lalu lintas serta sistem kelembagaan. Sistem transportasi makro yang terdiri
atas beberapa sistem transportasi mikro ini saling terkait dan saling
mempengaruhi seperti terlihat pada Gambar 4.5 berikut.
Gambar
4.5 Sistem transportasi makro
Pergerakan lalu lintas
timbul karena adanya proses pemenuhan kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi pada
suatu tempat sehingga membutuhkan pergerakan ke tempat lain. Setiap tata guna
lahan atau sistem kegiatan mempunyai jenis kegiatan tertentu yang akan membangkitkan pergerakan dan akan menarik pergerakan
dalam proses pemenuhan kebutuhan. Pola kegiatan tata guna lahan terdiri dari
sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Pada pola
kegiatan ini terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh orang dapat
dibedakan dalam dua macam kegiatan pokok, yaitu:
a.
Kegiatan usaha, yang merupakan kegiatan
harian (daily activity), dan dibagi dalam kegiatan dasar (basic
activity) dan kegiatan jasa (services activity)
b.
Kegiatan sosial, yang merupakan kegiatan
berkala (periodic activity). Dalam pergerakan perjalanan dari asal (origin)
ke tujuan (destination) terdapat aliran barang (flow of goods) dan
aliran jasa (flow of services). Aliran barang umumnya mencakup wilayah (regional),
sedangkan aliran jasa lebih banyak berlangsung di dalam kota.
Kegiatan yang
timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan
yang perlu dilakukan setiap hari.
Pergerakan yang berupa
pergerakan manusia atau barang membutuhkan moda transportasi (sarana) dan media
transportasi (prasarana) tempat moda transportasi tersebut bergerak. Prasarana
transportasi yang dibutuhkan merupakan sistem jaringan yang meliputi sistem
jaringan jalan, kereta api, terminal bus, bandara dan pelabuhan laut. Sistem
Sarana dan Prasarana ini berkaitan dengan pola jaringan (nertwork
system) yang terbagi dalam:
pola konsentrik (menuju ke satu titik)
pola radial (menyebar)
pola linier (contoh: Ribbon
Development)
pola grid/kotak (grid iron)
Perkembangan
sub sistem ini bisa cepat, sedang, lambat, atau stagnan (tetap, tidak
berubah), tergantung pada kecepatan pertumbuhan (rate of growth) dan
tingkat pengembangan (level of development) dari daerah yang
bersangkutan (antara lain kawasan tertinggal, kawasan yang cepat bertumbuh, dan
sebagainya).
Interaksi antara sistem
kegiatan dan sistem jaringan menghasilkan pergerakan manusia atau barang dalam
bentuk pergerakan kendaraan atau pejalan kaki. Sistem Pergerakan terbagi
dalam skala nasional, regional dan lokal. Pada skala nasional diatur dalam
kebijakan Sistranas (Sistem Transportasi Nasional) dengan Rencana Induk
Perhubungan sebagai masterplan. Di dalam Sistranas sebagai kebijakan
umum, terdapat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pada skala regional diatur
dalam Sistem dan Strategi Transportasi Regional, dan Rencana Umum Jaringan
Transportasi Jalan. Selanjutnya skala lokal diatur menurut Sistem dan Strategi
Transportasi Perkotaan (Urban Transportation Policy). Sasaran Sub Sistem
Pergerakan adalah cepat (fast), murah (cheap), aman/selamat (safe),
nyaman (comfort), lancar, handal (reliable), tepat guna (efektif),
berdaya guna (efisien), terpadu (integrated), menyeluruh (holistic),
menerus (continue), berkelanjutan (sustainable), dan
berkesinambungan, sedangkan proses dari Sub Sistem Pergerakan dapat dikategorikan
dalam sangat pesat, cepat, sedang, lambat, terisolasi (ini melahirkan
angkutan-angkutan perintis).
Dalam usaha untuk menjamin terwujudnya sistem
pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah, handal, dan sesuai dengan
lingkunganya maka dalam sistem transportasi makro terdapat sistem transportasi
mikro terdapat sistem tambahan yang disebut sistem kelembagaan yang meliputi
individu, kelempok, lembaga dan instansi pemerintah serta swasta yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap sistem mikro tersebut. Di
DKI Jakarta, sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi
secara umum sebagai berikut :
Sistem
kegiatan yaitu Badan perencanaan dan pembangunan nasional (Bappenas), Bappeda
tingkat I dan II, Pemerintah daerah
Sistem
jaringan yaitu Depatemen Perhubungan (darat, laut dan udara), Bina marga.
Sistem
pergerakan yaitu Dinas lalu lintas dan angkutan jalan (DLLAJ), Organisasi
Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda), Polisi lalu lintas
serta masyarakat
Kebijakan
yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui peraturan yang
secara tidak langsung juga memerlukan sistem penegakan hukum yang baik.
Sehingga, secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah, swasta dan masyarakat
berperan dalam mengatasi masalah sistem transportasi ini, terutama masalah
kemacetan.
Perkembangan kota Jakarta cenderung mekar ke segala arah. Ada
ketidakcocokan geografis antara lokasi rumah tinggal dan lokasi kerja. Rumah
tinggal yang terjangkau semakin jauh dari pusat-pusat kegiatan di kota sehingga
penduduk dihadapkan pada perjalanan kerja yang cukup panjang. Jumlah perjalanan
di Jabodetabek saat ini mendekati 30 juta perjalanan per hari. Dengan jumlah
perjalanan sedemikian besar, kecepatan kendaraan rata-rata di Jabodetabek hanya
sekitar 34,5 km per jam. Setiap hari lebih daripada 600.000 kendaraan dari
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) berjalan ke pusat kota Jakarta
dengan pola perjalanan yang konsentrik radial atau menuju ke tengah kota. Bila
dibandingkan dengan data tahun 1985, peningkatan jumlah perjalanan dari
Bodetabek ke Jakarta ini naik sekitar 10 kali lipat pada tahun 2012. Di lain
pihak, jumlah kendaraan di Jakarta dan sekitarnya sudah mencapai sekitar 5 juta
dengan pertumbuhan sekitar 1.035 motor dan 269 mobil per bulan.
Dengan kecenderungan saat ini, apabila angkutan umum tidak
dibenahi, akan semakin banyak penduduk melakukan perjalanannya dengan kendaraan
pribadi, baik mobil ataupun sepeda motor. Kondisi Jakarta ini akan menuju macet
total paling lama 10 tahun mendatang, suatu kondisi di mana sistem transportasi
yang ada sudah tidak mampu lagi untuk mengalirkan lalulintas. Contoh situasi
ini kita hadapi apabila Jakarta mengalami hujan lebat dan terjadi macet di
mana-mana dengan sistem yang mengunci antara satu perempatan dan perempatan
lainnya. Dengan posisi saling mengunci, lalulintas akan sulit bergerak dan
semua kendaraan akan berhenti total.
4.3 Solusi Permasalahan Transportasi DKI
Jakarta
Penanggulangan
kemacetan di DKI Jakarta tidak dapat dilaksanakan dengan menerapkan
kebijakan-kebijakan yang hanya bertumpu pada memperbesar panjang jalan semata.
Penelitian Anthony Downs (1994) dan kompilasi dari berbagai studi yang
dilakukan oleh Profesor Mark Hansen (2000) dari Universitas Kalifornia
Berkeley, memperlihatkan bahwa penambahan jalan baru di tengah kota justru
berpotensi membangkitkan lalu lintas yang lebih besar dan mengakibatkan
kemacetan. Kunci mengurai kemacetan adalah menerapkan konsep aksesibilitas
yaitu memberikan akses ke tujuan yang diinginkan, sedapat mungkin dengan
meminimalkan perjalanan yang harus dilakukan. Inti dari konsep aksesibilitas
adalah, pertama, mengurangi perjalanan yang tidak perlu dengan mendekatkan
lokasi tempat bekerja, permukiman, belanja, atau rekreasi. Kedua, sedapat
mungkin perjalanan itu dilakukan dengan angkutan umum guna mengurangi jumlah
kendaraan di jalan raya.
Profesor Robert
Cervero, dalam bukunya The Transit Metropolis, memperlihatkan bahwa kota-kota
yang berkembang dengan baik umumnya berangkat dari pengembangan tata kota yang
terintegrasi dengan sistem transportasi. Pengembangan kota akan mengikuti arah
jalur-jalur dari sistem angkutan umum massal yang dibangun. Pola pembangunan
kota berbasis transportasi yang disebut dengan Transit Oriented Development
(TOD) ini, terjadi antara lain di kota-kota Stockholm, Kopenhagen, Tokyo, dan
Curitiba. TOD dapat dikategorikan sebagai salah satu konsep urban planning,
seperti Intelligent Urbanism atau Smart Growth, yang menekankan pentingnya
untuk mengembangkan kota yang efisien dalam pemanfaatan lahan. Konsep TOD
sendiri menekankan pentingnya kedekatan antara sarana transportasi (stasiun dan
terminal) dengan kegiatan perkotaan campuran (jasa komersial/retail,
residensial dan perkantoran) dengan densitas tinggi (compact). Radius pelayanan
perkotaan 0,4 sampai 0,8 km dari stasiun/terminal yang memungkinkan terjadinya
sirkulasi pedestrian dan sepeda. Penggunaan transportasi publik lebih
diutamakan didalam kota dengan menyediakan sarana-sarana perhentian sementara
(transit).
DKI Jakarta memang
sangat terlambat dalam menata sistem angkutan umum massalnya. Sebelumnya,
barometer kemacetan di Asia Tenggara adalah Bangkok dan Manila. Sekarang ini,
kedua kota tersebut telah memiliki sistem angkutan umum massal seperti subway
dan light rail train, yang secara konsisten terus dikembangkan untuk
mengantisipasi kebutuhan lalu lintas. Belajar dari pengalaman kedua kota ini,
sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk membenahi transportasi perkotaan di DKI
Jakarta. Contoh lainnya yaitu kota Bogota di Kolombia yang begitu ruwetnya,
masih dapat dibenahi dan kini memiliki salah satu sistem transportasi rujukan
yang berkelas di dunia. Untuk itu harus ada langkah awal dan langkah-langkah
yang konsisten dalam memperbaiki sistem transportasi DKI Jakarta. Langkah ini
membutuhkan kepemimpinan dan partisipasi masyarakat yang sangat kuat.
DKI Jakarta sebenarnya telah begitu banyak melakukan studi
tentang transportasi. Dokumen terakhir yang sering diacu adalah Pola
Transportasi Makro Jakarta dan juga Studi Integrated Transport Master Plan
(SITRAMP) Jabodetabek. Pada akhirnya, suatu perencanaan hanya akan bermakna
kalau bisa kita implementasikan. Ini berarti rencana pembenahan angkutan umum
di DKI juga pada akhirnya akan menyentuh aspek institusi di mana regulator, penyedia
jasa, dan para konsumen akan terlibat. Kota Jakarta tidak dapat sendirian
karena pola pergerakan transportasi Jakarta sebagian besar justru berasal dan
bermuara di Bodetabek. Pengalaman SITRAMP JABODETABEK memperlihatkan bahwa
masterplan transportasi regional tidak bisa diimplementasikan karena tidak
adanya komitmen dari masing-masing pemerintah daerah untuk melaksanakan sistem
transportasi regional. Satu perjalanan di Jabodetabek tidak bisa dibatasi
dengan batas-batas administratif. Untuk itu, harus ada kesepakatan bersama dari
semua pemerintah daerah, dan setiap pemerintah daerah yang terlibat perlu
melepaskan ego masing-masing, agar dapat mewujudkan satu sistem transportasi
regional yang efisien.
4.3.1 Kebijakan Pola Transportasi Makro DKI
Jakarta
Dalam rangka
mengatasi permasalahan transportasi, oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah
diantisipasi dengan penetapan Pola Transportasi Makro melalui Keputusan
Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 103 Tahun 2007, seperti terlihat pada
Gambar 4.6 berikut.
Gambar 4.6 Strategi pola transportasi makro DKI Jakarta
Dalam Surat
keputusan tersebut ditegaskan bahwa arah pengembangan sistem transportasi pada
Propinsi DKI Jakarta adalah :
1. Meningkatkan aksesibilitas di seluruh wilayah Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sekitarnya dan menata ulang moda transportasi
secara terpadu.
2. Memasyarakatkan sistem angkutan umum massal.
3. Menggalakkan penggunaan angkutan umum dan kereta api.
4. Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan.
5.
Menambah jaringan Jalan Primer, Bus
Rapit Transit (BRT)/Bus Priority, Light Rail Transit (LRT) dan Mass Rapid
Transit (MRT)
6.
Meningkatkan
jaringan jalan non tol dan membangun jalan baru.
Langkah yang akan diambil oleh pemerintah tersebut merupakan suatu solusi
nyata untuk mengatasi permasalahan transportasi kota. Pola ini memungkinkan
terjadi interkoneksi antara transportasi darat, laut, dan udara. Pola
transportasi makro (PTM) akan mengintegrasikan empat sistem
transportasi umum, yaitu: 1. Bus Rapit
Transit (antara lain bus way), 2. Light Rail Transit, 3. Mass
Rapid Transit:, dan 4. ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan).
Pola Transportasi Makro (PTM) ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan
penyediaan jasa transportasi yang terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman, dan
efisien. Sesuai dengan konsep Megapolitan Jakarta, pola transportasi makro ini
harus terkoneksi antara Jakarta dengan kota-kota penyangga di sekitar Jakarta.
Koneksitas moda transportasi ini harus merupakan sistem yang tertata rapi.
Dengan sistem yang tertata rapi, maka nanti akan muncul fenomena baru, yaitu
kecenderungan untuk menggunakan transportasi publik.
4.3.2 Pengembangan Angkutan Umum Massal
Pengembangan angkutan umum massal bertujuan untuk meningkatkan
penggunaan angkutan massal dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
4.3.2.1
Mass Rapid Transit/Subway dan Kereta Api
MRT (mass rapid
transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang mampu
mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi dan
kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat
dikelompokkan menjadi beberapa jenis, antara lain: bus (buslane/busway),
subway, tram, dan monorail. MRT yang digunakan dalam bentuk subway pada prinsipnya
memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta api. Namun, konstruksi teknisnya
terdapat perbedaan karena subway terletak di bawah tanah (underground)
tetapi stasiun-stasiunnya langsung terhubung ke lokasi pusat kegiatan.
Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan
perangkutan di DKI Jakarta. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya mengangkut
penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai
situasi. Dengan mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena
penggunaan kendaraan pribadi dapat diminimalisasi.
Rencana Pemerintah DKI Jakarta membangun Mass Rapid Transit (MRT) sebagai salah satu moda
transportasi massal untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota Jakarta terus
bergulir. Proyek angkutan massal ini akan dikerjakan selama hampir lima tahun,
dimulai tahun 2012 hingga Oktober 2016.
Gambar 4.7 Pembangunan subway
Pada
Gambar 4.7 terlihat pembangunan subway
tidak sepenuhnya berada di bawah tanah. Di dalam konsep perencanaan MRT akan
ada enam stasiun bawah tanah yang terdapat di Masjid Al Azhar, Ratu Plaza,
Bendungan Hilir, Setia Budi, Dukuh Atas, dan Bundaran HI. Serta tujuh stasiun
elevated di Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, H. Nawi, Blok A, Blok M, dan
Sisingamangaraja. Total biaya sekitar Rp 8,8 trilyun dan berasal dari pinjaman
lunak pemerintah Jepang.
Proyek MRT akan dimulai
dengan pembangunan jalur sepanjang 14,5 km dari Terminal Lebak Bulus hingga
Stasiun Dukuh Atas. Pembangunan jalur pertama ini akan menjadi awal sejarah
pengembangan jaringan terpadu dari sistem MRT yang merupakan bagian dari sistem
transportasi massal DKI Jakarta pada masa yang akan datang. MRT Jakarta
merupakan konsep transportasi massal tercepat dan tercanggih yang mampu
mengangkut penumpang sekitar 340-400 ribu penumpang.
Serangkaian sosialisasi
kepada publik tentang jalur MRT Jakarta telah dilaksanakan secara menyeluruh
dan berkesinambungan, antara lain Sosialisasi Pembebasan Lahan koridor MRT
Lebak Bulus - POM Bensin Jalan Fatmawati, Cilandak Barat dan Lebak Bulus,
Sosialisasi Amdal pembangunan MRT Jakarta koridor Dukuh Atas - Bundaran HI,
serta Sosialisasi Pembebasan Tanah proyek MRT Jakarta jalur Lebak Bulus -
Bundaran HI.
4.3.2.2
Light Rail Transit/Monorail
Light
Rail Transit yang seianjutnya disingkat LRT adalah
angkutan umum massal cepat dengan menggunakan kereta ringan. Kereta api ringan
adalah salah satu sistem kereta api penumpang yang beroperasi dikawasan
perkotaan yang konstruksinya ringan dan bisa berjalan bersama lalu lintas
lain. Kereta api monorel Jakarta seperti pada Gambar 4.8 merupakan sebuah
sistem Mass Transit dengan kereta rel tunggal (monorel) dengan
jalur elevated, yang kini dalam pembangunan di Jakarta, Indonesia.
Gambar 4.8 Rencana monorail Jakarta
Projek ini dihadang
oleh kesulitan finansial dan pergantian teknologi yang berganti-ganti.
Awalnya pada tahun 2003
diberikan kepada perusahaan Malaysia MTrans, pembangun Monorel KL,
konstruksi dimulai pada Juni 2004 tetapi ditunda hanya setelah berjalan beberapa minggu. MoU MTrans dibatalkan,
dengan projek diberikan kepada konsorsium utama Singapura Omnico, yang mengusulkan
menggunakan teknologi maglev oleh perusahaan Korea
Selatan ROTEM.
Pada Juli 2005,
projek ini berganti tangan lagi dengan MoU baru diberikan kepada sebuah
konsorsium perusahaan Indonesia PT Bukaka Teknik Utama,
PT INKA, dan Siemens
Indonesia. Omnico menentang ini, dan jadwal akhir pada tahun 2007 sepertinya
tidak mungkin terjadi. Namun pada Oktober 2005 konstruksi terus berlangsung, dengan anggapan bahwa fondasi
dasar pile dan pilar dapat digunakan oleh konsorsium dan teknologi yang
memperoleh tender.
Setelah terhenti
beberapa tahun, pada awal 2013 pemerintah DKI Jakarta akhirnya
memastikan kelanjutan proyek monorel di DKI Jakarta. Proyek ini digarap oleh PT Jakarta Monorail.
Rute yang digarap oleh PT Jakarta Monorail
terdiri atas dua jalur, yaitu jalur hijau dan jalur biru. Jalur hijau terdiri
dari Kampung Melayu-Tebet-Kuningan-Casablanca-Tanah Abang-Roxy-Taman Anggrek (Jakarta
Barat) dengan extension ke timur dari Pondok Kelapa-Sentral Timur Jakarta dan
ke Barat dari Puri Indah. Sementara jalur biru dimulai dari Kuningan-Kuningan
Sentral-Gatot Subroto-Senayan-Asia Afrika-Pejompongan-Karet-Dukuh Atas-kembali
ke Kuningan.
Untuk proyek kali ini, PT Jakarta Monorail
menggandeng pihak Hadji Kalla Group. Nantinya, Hadji Kalla Grup akan memiliki
saham dominan dalam konsorsium baru dengan Jakarta Monorail. Konsorsium baru
tersebut menurutnya, akan membantu soal pendanaan dan kontruksi. Sementara
untuk armada kereta, PT Jakarta Monorail
akan menggunakan monorel
buatan Jepang
Di tengah-tengah semakin ruwetnya sistem transportasi dengan
tumpang tindihnya trayek dan tidak adanya kontrol terhadap kualitas layanan,
Pemerintah Provinsi Jakarta mencoba meluncurkan busway Trans Jakarta sebagai tulang punggung sistem angkutan umum
massal perkotaan seperti terlihat pada gambar 4.9 berikut.
Gambar 4.9 Busway
Transjakarta
Transjakarta atau umum disebut busway adalah sebuah sistem transportasi
bus cepat atau Bus Rapid Transit (BRT) di Jakarta, Indonesia.
Sistem ini dimodelkan berdasarkan sistem Trans
Milenio yang sukses di Bogota, Kolombia. Perencanaan busway
telah dimulai sejak tahun
1997 oleh konsultan
dari Inggris.
Pada waktu itu direncanakan bus berjalan berlawanan dengan arus lalu-lintas (contra flow) supaya jalur tidak
diserobot kendaraan lain, namun dibatalkan dengan pertimbangan keselamatan
lalu-lintas.
Bus Transjakarta memulai operasinya
pada 15 Januari 2004 dengan tujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat,
nyaman, namun terjangkau bagi warga Jakarta, sekaligus upaya mengurangi jumlah
pemakaian kendaraan bermotor di Jakarta. Untuk mencapai hal tersebut, bus ini
diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya dan
lajur tersebut tidak boleh dilewati kendaraan lainnya (termasuk bus umum selain
Transjakarta). Agar terjangkau oleh masyarakat, maka harga tiket disubsidi oleh
pemerintah daerah.
Pada saat awal beroperasi,
Transjakarta mengalami banyak masalah, salah satunya adalah ketika atap salah
satu busnya menghantam terowongan rel kereta api. Selain itu, banyak dari
bus-bus tersebut yang mengalami kerusakan, baik pintu, tombol pemberitahuan
lokasi halte, hingga lampu yang lepas. Selama 2 pekan pertama, dari 15 Januari
2004 hingga 30 Januari 2004, bus Transjakarta memberikan pelayanan secara
gratis. Kesempatan itu digunakan untuk sosialisasi, di mana warga Jakarta untuk
pertama kalinya mengenal sistem transportasi yang baru. Lalu, mulai 1 Februari
2004, bus Transjakarta mulai beroperasi secara komersial.
Kondisi saat ini, belum optimalnya
pelayanan busway ke daerah permukiman
menjadi penyebab busway kurang
dilirik oleh masyarakat umum. Masyarakat didaerah permukiman lebih memilih
menggunakan kendaraan bermotor daripada harus naik kendaraan umum yang berujung
harus transit di halte busway
terdekat. Angka kecelakaan bus Trans Jakarta semakin meningkat setiap bulannya.
Sudah sangat lumrah bagi masyarakat Jakarta melihat kendaraan-kendaraan yang
menyerobot jalur busway disaat jalur
normal sedang padat (macet), masyarakat yang menyeberang jalan sembarangan pun
menjadi pemicu kecelakaan. Dengan dalih jembatan penyeberangan yang terlalu
jauh, mereka melintasi pembatas jalan. Tercatat sepanjang tahun 2010, 461 kasus
kecelakaan terjadi di jalur bus Transjakarta (koridor I sampai VIII). Dari
sejumlah kecelakaan tersebut, peristiwa yang paling banyak terjadi adalah
menabrak kendaraan pribadi yang masuk di jalur bus Transjakarta yang mencapai
145 kasus. Korban meninggal sepanjang tahun 2010 mencapai 14 orang, luka berat
22 orang, dan luka ringan 104 orang. Selain itu, tingkat kriminalitas yang
terjadi didalam busway juga cukup
tinggi pada saat terjadi antrian yang padat terutama pada saat jam pergi dan
pulang kerja dimana jumlah penumpang busway
meningkat sekitar 50% dari biasanya.Kesempatan terbuka lebar bagi para pelaku
kriminal karena situasi yang berdesak desakan pada saat mengantri. Antrian yang
luar biasa juga dipicu oleh jumlah armada busway
yang dinilai masih kurang.
4.3.3 Pembatasan Lalu Lintas
Padatnya arus lalu lintas yang tidak seimbang dengan
kapasitas jalan memerlukan tindakan lebih lanjut, salah satunya dengan
pembatasan lalu lintas. Pembatasan lalu lintas bertujuan mengurangi jumlah
penggunaan kendaraan pribadi.
4.3.3.1
Pembatasan Penggunaan Kendaraan Bermotor
Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan pembatasan
penggunaan kendaraan bermotor melalui kebijakan pelat nomor ganjil-genap mulai
2013 sedang disiapkan secara matang, termasuk memastikan kesiapan sarana
pendukung sehingga masyarakat tidak dirugikan karena ketentuan tersebut. Silih
berganti gubernur Jakarta tidak ada yang mampu mengatasi kemacetan lalu lintas.
Bahkan kemacetan semakin parah saja namun Gubernur Jokowi mau mengurainya.
Salah satunya dengan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor berdasarkan pelat
nomor ganjil - genap. Banyak pihak mendukung ide yang sedang direncanakan
dengan pihak-pihak terkait dan rencananya diberlakukan mulai Maret 2013 ini.
4.3.3.2
Road Pricing/ERP
Sistem Electronic Road Pricing (ERP) merupakan sistem
pungutan kemacetan menggunakan kartu elektronik seperti terlihat pada Gambar 4.10
berikut.
Gambar
4.10 Sistem Electronic Road Pricing
Penerapan sistem jalan berbayar atau
Electronic Road Pricing (ERP) ini disebut-sebut akan menggantikan sistem 3-in-1
yang hampir selama 15 tahun ini diterapkan di ruas Jalan Jenderal Sudirman. Sistem ini membebankan sejumlah
biaya kepada pemilik kendaraan yang melewati suatu jalur tertentu sebab
kendaraan tersebut berpotensi menyebabkan kemacetan pada waktu tertentu.
Penggunaan sistem ini pernah dilontarkan oleh mantan Gubernur Sutiyoso pada
November 2006, dan sekarang menjadi sebuah wacana yang akan diimplementasikan.
Sistem ini sangat cocok untuk diberlakukan di Jakarta dan telah sejalan dengan
kebijakan transportasi makro di DKI Jakarta melalui peraturan daerah tentang
pembatasan kawasan lalu lintas. Melalui sistem ini, diharapkan dapat mengurangi
pemakaian kendaraan pribadi, dan penduduk beralih menggunakan kendaraan umum.
Jumlah kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 98% pengguna jalan, sedangkan
kendaraan umum hanya mengisi dua persen sisanya. Dengan kondisi ini, pembatasan
kendaraan pribadi dapat terlaksana jika bersamaan dengan ketersediaan sarana
transportasi publik (kendaraan umum) yang memadai, baik jumlah maupun
kualitasnya.
Pemerintah provinsi DKI Jakarta saat ini masih terus
mengkaji untuk mematangkan sistem tersebut. Pemerintah provinsi
saat ini lebih fokus pada pembenahan alat transportasi massal. Menurut Wakil Gubernur
DKI Jakarta Basuki T Purnama, saat ini sistem ERP masih dalam pembahasan oleh
Dinas Perhubungan untuk diterapkan. Berdasarkan program gubernur DKI terdahulu,
Fauzi Bowo, sistem jalan berbayar ini akan diberlakukan tahun 2013. Lokasi
pemberlakukan ERP meliputi, seluruh ruas jalan 3 in 1 ditambah dengan Jalan HR
Rasuna Said, Jakarta Selatan. Cara pembayaran ERP nantinya akan menggunakan
sistem voucher. Setiap kendaraan, akan dilengkapi dengan On Board Unit
(OBU). Alat ini kemudian terkoneksi dengan alat sensor ERP di setiap
gerbangnya. Di dalam UBO terdapat kartu berisikan voucher yang berisi saldo
deposit setiap kendaraan.
4.3.3.3
Pengendalian Parkir
Pengendalian parkir dilakukan untuk mendorong penggunaan
sumber daya parkir secara lebih efisien serta digunakan juga sebagai alat untuk
membatasi arus kendaraan ke suatu kawasan yang perlu dibatasi lalu lintasnya.
Mulai Oktober 2012 tarif parkir di luar badan jalan di Jakarta sesuai dengan
Peraturan Gubernur Nomor 120 Tahun 2012 mengalami kenaikan signifikan. Kenaikan
tersebut berlaku di setiap pusat perbelanjaan, hotel, perkantoran, apartemen
dan lokasi fasilitas umum seperti pasar, tempat rekreasi, rumah sakit, dan
lain-lain. Rinciannya untuk kendaraan jenis sedan, jeep, minibus, pickup dan
sejenisnya yang terparkir di pusat perbelanjaan dan hotel akan berlaku tarif Rp
3000 sampai Rp 5000 per jam. Sedangkan untuk setiap jam berikutnya berlaku
tarif Rp 2000 sampai Rp 4000. Kemudian untuk bus, truck dan sejenisnya berlaku
Rp 6000 hingga Rp 7000 per jam nya dan Rp 3000 untuk setiap jam berikutnya.
Lalu sepeda motor berlaku Rp 1000 sampai Rp 2000 perjamnya. Tarif parkir di
atas juga berlaku untuk fasilitas parkir di wilayah perkantoran dan apartemen.
Selanjutnya, untuk fasilitas parkir di tempat umum seperti
pasar, tempat rekreasi, rumah sakit dan lain-lain akan berlaku tarif Rp 2000
sampai Rp 3000. Tarif ini diterapkan bagi kendaraan golongan sedan, jeep,
minibus, picup dan sejenisnya untuk jam pertama. Untuk jam berikutnya berlaku
tarif Rp 2000 per jamnya. Untuk bus, truck, dan sejenisnya berlaku tarif Rp
3000 pada jam pertama dan Rp 3000 untuk setiap jam berikutnya. Sedang motor
berlaku tarif Rp 1000 per jamnya.
4.3.3.4
Fasilitas Park and Ride
Parkir dan menumpang atau dalam bahasa Inggris Park
and ride adalah kegiatan parkir kendaraan pribadi di tempat parkir dan
kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus atau kereta api. Banyak
ditemukan di stasiun kereta api di pinggir kota ataupun stasiun/shelter busway di pinggir kota. Manfaat pengembangan fasilitas parkir dan
menumpang antara lain adalah:
Membantu mengurangi kemacetan lalu
lintas di pusat-pusat kegiatan,
Mendorong masyarakat untuk
meningkatkan penggunaan angkutan umum,
Mengurangi konsumsi bahan bakar dan
emisi gas rumah kaca karena angkutan umum menghasilkan emisi gas rumah kaca per
penumpang km yang lebih rendah ketimbang menggunakan kendaraan pribadi,
Mengurangi kebutuhan ruang parkir
dipusat kota.
Park and ride dibuat untuk masyarakat yang tinggal
di luar Jakarta atau pinggiran Jakarta tetapi bekerja di pusat kota. Masyarakat
diharapkan memarkirkan kendaraan di tempat-tempat yang telah disediakan lalu
melanjutkan perjalanan dengan armada bus Trans Jakarta. Fasilitas park and ride sebagai penunjang transportasi
massal di Ibu Kota belum optimal. Dari empat park and ride yang disediakan baru di Ragunan yang sudah berfungsi
dengan baik. Tiga lokasi park and
ride lainnya, di Kampung Rambutan, Kalideres, dan Lebak Bulus, belum
maksimal.
Tarif park and ride untuk moda transportasi bus Transjakarta
akan ditetapkan sebesar Rp 8000 untuk pengendara mobil dan Rp 5000 untuk sepeda
motor. Besaran tarif tidak akan progresif demi mengundang minta warga
menggunakan Transjakarta atau busway.
Tarif ini sudah termasuk tiket Transjakarta sebesar Rp.3500, dengan tarif
tersebut masyarakat bisa menitipkan kendaraannya selama 24 jam.
4.3.4 Peningkatan Kapasitas Jaringan
Peningkatan kapasitas jaringan bertujuan untuk melancarkan
arus kendaraan dengan mengurangi hambatan laju kendaraan.
4.3.4.1
Intelligent Transport System (ITS)
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Dinas
Perhubungan DKI Jakarta meluncurkan sistem pemantau kondisi lalu lintas di ibu
kota. Sistem ini dinamakan Intelligent Transport System (ITS). Dilihat dari
cara kerjanya, sistem ini hampir menyerupai sistem kerja Traffic Management
Center (TMC) milik Polda Metro Jaya. Untuk tahap awal sistem ini baru
dikembangkan untuk Bus Tracking System (BTS), Area Traffic Control System
(ATCS) dan Traffic Information System (TIS). Tujuan pengadaan sistem ini untuk
mengintegrasikan pengguna jalan dengan sistem transportasi dan kendaraan
melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Tidak hanya sekadar
memonitoring, sistem ini diharapkan melakukan langkah-langkah antisipatif dan
reaktif terhadap kondisi lalu lintas di lapangan. Dengan adanya sistem ini
dapat memberikan kepastian kepada pengguna jalan untuk mendapatkan informasi
yang baik dan lengkap dari jaringan transportasi dan kondisi lalu lintas secara
real time. Termasuk, membantu kemudahan pengoperasian headway, frekuensi dan
memberikan jadwal informasi di halte maupun terminal. Operator sistem ITS ini
berada di Gedung Dinas Teknis Jl Abdul Muis. Operator ini akan memberikan
responnya dan tindak lanjut dari permasalahn lalu lintas yang terpantau ke
ruang operator. Sistem kerja BTS berbeda dengan ATCS. Jika BTS, operator yang
mengendalikan pramudi Trans Jakarta. Sedangkan ATCS, operator mengendalikan
traffic light yang semuanya dikontrol melalui control room.
4.3.4.2
Pelebaran Jalan / Flyover / Underpass
Pada dasarnya, pelebaran jalan dilakukan untuk meningkatkan
kapasitas jalan yakni memperbesar arus lalu lintas. Pelebaran jalan saja tidak
akan mengurangi kemacetan sebab jika jalan sudah dilebarkan maka arus lalu
lintas juga akan ikut bertambah. Pengguna jalan akan beralih menggunakan jalan
tersebut yang dianggap lebih lancar, sehingga penumpukan pun terjadi kembali. Semestinya
dilebarkan secara menyeluruh pada titik-titik yang memiliki traffic tinggi. Banyaknya persimpangan
jalan seperti pertigaan atau perempatan dalam jalur jalan di Jakarta membuat
sejumlah ruas mengalami kemacetan parah. Untuk meminimalisir kemacetan di
persimpangan dan meminimalisir kecelakaan di lintasan Kereta Api (KA) serta
mengurai kemacetan saat kereta api melintas, Pemprov DKI Jakarta berencana
membangun 12 underpass dan flyover di pintu perlintasan. Bahkan ke depan tidak
akan ada lagi perlintasan sebidang, sehingga tidak mengganggu arus lalu lintas
di ibu kota.
Sejauh ini, sudah 14 underpass dan 58 flyover yang dimiliki
Jakarta. Dinas Pekerjaan Umum (DPU) DKI Jakarta membuat fly over dan underpass
demi mendukung rencana PT KAI yang bertujuan untuk mendukung rencana program PT
Kereta Api Indonesia (KAI) yang akan melakukan peningkatan kualitas pelayanan
kereta api. PT KAI akan meningkatkan headway (jarak tempuh) kereta menjadi lima
menit.
4.3.4.3
Pengembangan Jaringan Jalan
Pengembangan jaringan
jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis,
pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan. Pada
tataran sistem transportasi makro pengembangan jaringan jalan diarahkan kepada
peningkatan kapasitas operasional jaringan jalan yang terstruktur. Pengembangan
yang dimaksud adalah pemisahan dan pendistribusian demand pergerakan lalu
lintas. Lalu lintas kendaraan jarak jauh yang masuk dari daerah penyangga ibu
kota semaksimal mungkin dipisahkan dengan lalu lintas lokal wilayah.
Pengembangan jaringan jalan sekaligus juga menyediakan
pemenuhan angkutan massal berbasis bus (bus rapid transit) jarak jauh. Pada
konteks ini, pembangunan jalan layang nontol ruas Blok M – Antasari dan ruas
Kampung Melayu-Tanah Abang diupayakan dalam kerangka meningkatkan kapasitas
ruas jalan dengan sasaran memisahkan lalu lintas kendaraan jarak jauh dengan
lalu lintas lokal. Kemudian penyelesaian tol Jakarta Outer Ring Road seksi West
2 dan seksi Akses Pelabuhan Tanjung Priok merupakan hal yang perlu segera
dituntaskan. Pengembangan jaringan jalan baru diutamakan juga untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi di Sentra Primer Timur dan Sentra Primer Barat serta
kawasan ekonomi khusus Marunda, Cilincing. Pada tataran transportasi mikro
penyempurnaan jaringan jalan di arahkan kepada upaya memastikan jaringan jalan
semaksimal mungkin mampu melayani pergerakan lalu lintas yang nyaman dan aman.
4.3.4.4
Pedestrianisasi
Pedestrianisasi kota merupakan suatu usaha dalam perancangan
suatu kota dimana dalam perancangannya mengutamakan kepentingan pedestrian/pejalan
kaki. Pedestrianisasi didefinisikan sebagai sebuah metode untuk merubah kawasan
seperti jalan secara eksklusif untuk penggunaan pedestrian. Dan tujuan dari
pedestrianisasi adalah untuk memberikan lingkungan pedestrian yang baik yaitu,
udara yang bersih, tidak bising, dan koridor yang aman.
Fasilitas pejalan kaki (pedestrian) atau trotoar dibuat untuk
keamanan dan kenyaman pejalan kaki dari benturan kendaraan di jalan. Desain
tempat pejalan kaki didasarkan kepadatan lalu lintas pejalan kaki, seperti
lebar, batas tinggi yang aman. Masalahnya pada daerah-daerah yang padat dalam
kota, banyak trotoar beralih fungsi yaitu dimanfaatkan untuk keperluan lain
seperti pedagang kaki lima, tempat parkir sepeda motor dan mobil, atau kegiatan
lain yang bisa mengganggu keamanan dan keselamatan pejalan kaki. Akibatnya
pejalan kaki berjalan di jalan raya, yang sewaktu-waktu bisa terancam
keselamtannya. Pedestrian yang salah peruntukan dan fungsinya akan mempersempit
lebar jalan dan akhirnya menambah kemacetan jalan raya.
Rencana Pemprov DKI Jakarta melakukan pedestrianisasi
(penataan
trotoar) di sepanjang Jalan di Jakarta akan dilakukan dengan serius oleh
Pemerintah Provinsi Jakarta. Menurut Joko Widodo, Gubernur DKI, pedestrian di
sejumlah tempat akan mengadopsi Orchard Road di Singapura. Saat ini pemerintah
telah menetapkan uji coba penataan kembali pedestrian atau trotoar pejalan kaki
di empat lokasi, yaitu pedestrian di Jl Cikini, Jl Kebon Sirih-Ridwan Sais, Jl
Gajah Mada-Hayam Wuruk, dan Jl Sabang agar menjadi ruang publik dan pedestrian
yang bermartabat. Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta sedang menyusun
perencanaan pembangunan penataan keempat pedestrian tersebut. Diprediksikan
anggaran penataan pedestrian tersebut mencapai Rp18,75 miliar.
4.4 Dampak Negatif Permasalahan Transportasi
Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable
Development) sebagaimana didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (World
Commission on Environment and Development 1987), telah diterima
secara luas di banyak negara di dunia.
Namun demikian transportasi dengan memakai kendaraan bermotor
merupakan pengguna terbesar dari
sumberdaya alam yang tidak terbaharukan (nonrenewable resources),
terutama minyak bumi, disamping menghasilkan gas buang yang berbahaya (bagi kesehatan manusia) dan tidak
dapat dikurangi/dihilangkan. Transportasi juga merupakan penyumbang terbesar
dalam pencemaran udara, khususnya di perkotaan.
Pertumbuhan kendaraan bermotor di
Indonesia juga memicu terjadinya peningkatan polusi, namun hal seperti ini
tampaknya menjadi rumit ketika melihat faktor produksi dalam pertumbuhan
kendaraan bermotor. Jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor mendeskripsikan suatu
pengrusakan lingkungan terbukti tidak terbatas hanya melihat faktor-faktor
pengguna transportasi saja. Namun dapat melihat lebih luas bagaimana
tindakan-tindakan tersebut dapat terjadi sehingga mengakibatkan dampak bahaya. Namun,
seiring dengan pentingnya sarana transportasi sebagai penunjang kegiatan
ekonomi, transportasi menciptakan banyak problema lingkungan yang cukup sulit ditemukan
solusinya.
4.4.1
Dampak
Transportasi Bagi Lingkungan (Udara)
Perencanaan sistem
transportasi yang kurang matang, bisa menimbulkan berbagai permasalahan,
diantaranya kemacetan dan tingginya kadar polutan udara akibat berbagai
pencemaran dari asap kendaraan bermotor. Polutan (bahan pencemar) yang ada di
udara, seperti gas buangan CO (karbon monoksida) lambat laun telah mempengaruhi
komposisi udara normal di atmosfer. Kualitas udara perkotaan sangat menurun
akibat tingginya aktivitas transportasi. Dampak yang timbul meliputi
meningkatnya konsentrasi pencemar konservatif yang meliputi karbon monoksida
(CO), Oksida sulfur (SOx), Oksida nitrogen (NOx), Hidrokarbon (HC), Timbal
(Pb), Ozon perkotaan (O3), Partikulat (debu). Dampak yang dirasakan
akibat menurunnya kualitas udara perkotaan adalah adanya pemanasan global
akibat perubahan iklim, hujan asam, efek rumah kaca serta kerusakan lapisan
ozon.
Dampak dari pemanasan
global adalah mencainya es di kutub, perubahan iklim regional dan global, serta
perubahan siklus hidup flora dan fauna. Selain itu juga akan terjadi
peningkatan badai atmosferik, bertambahnya populasi dan jenis organisme
penyebab penyakit dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, perubahan pola
curah hujan, dan perubahan ekosistem hutan, daratan serta ekosistem lainnya. Hujan
asam merupakan perubahan pH air hujan yang biasanya 5,6 karena adanya CO2
di atmosfer. Pencemaran udara seperti SO2 dan NO2
bereaksi dengan air hujan membentuk asam dan menurunkan pH air hujan. Dampak
dari hujan asam ini yaitu mempengaruhi kualitas air tanah dan air permukaan
serta bersifat korosif sehingga merusak material dan bangunan. Efek rumah kaca
disebabkan oleh keberadaan CO2, CFC, metana, ozon, dan N2O
di lapisan troposfer yang menyerap radiasi panas matahari yang dipantulkan oleh
permukaan bumi. Akibatnya panas terperangkap dalam lapisan troposfer dan
menimbulkan fenomena pemanasan global. Lapisan ozon yang berada di stratosfer
(ketinggian 20-35 km) merupakan pelindung alami bumi yang berfungsi memfilter
radiasi ultraviolet B dari matahari. Pembentukan dan penguraian molekul-molekul
ozon (O3) terjadi secara alami di stratosfer. Emisi CFC yang
mencapai stratosfer dan bersifat sangat stabil menyebabkan laju penguraian
molekul-molekul ozon lebih cepat dari pembentukan, sehingga terbentuk
lubang-lubang pada lapisan ozon.
Transportasi sebagai
sarana dan fasilitas yang diciptakan oleh teknologi masa kini ternyata menambah
permasalahan dalam pencemaran udara. Pada masa sekarang ini, pencemaran udara
di Indonesia 70%nya diakibatkan oleh emisi kendaraan bermotor. Kendaraan
bermotor merupakan salah satu sumber pencemaran udara yang utama di daerah
perkotaan. Emisi yang paling signifikan dari kendaraan bermotor ke atmosfer
berdasarkan massa adalah gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O)
yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang berlangsung sempurna.
Pembakaran yang sempurna dapat dicapai dengan tersedianya suplai udara yang
berlebih. Namun, kondisi pembakaran yang sempurna dalam mesin kendaraan jarang
terjadi. Sebagian kecil dari bahan bakar dioksidasi menjadi karbon monoksida
(CO). Sebagian hidrokarbon (HC) juga diemisikan dalam bentuk uap dan partikel
karbon dari butiran-butiran sisa pembakaran bahan bakar.
Kondisi emisi kendaraan
bermotor sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan bakar dan kondisi pembakaran
dalam mesin, sehingga langkah-langkah untuk mengurangi emisi gas buang harus
mengkombinasikan teknologi pengendalian dengan konservasi energi dan teknik-teknik
pencegahan pencemaran. Pengalaman dari negara-negara maju menunjukkan bahwa
emisi zat-zat pencemar udara dari sumber transportasi dapat dikurangi secara
substansial dengan penerapan teknologi kendaraan seperti katalis (three-way catalyst) dan juga pengendalian
manajemen lalu lintas setempat. Namun, untuk kondisi Indonesia, dengan
pertumbuhan perkotaan yang cepat yang meningkatkan kepemilikan dan penggunaan
kendaraan bermotor di daerah perkotaan perlu terus dilakukan upaya mengurangi
emisi kendaraan bermotor.
4.4.2
Dampak
Transportasi Bagi Lingkungan (Air)
Secara tidak langsung,
kegiatan transportasi akan memberikan dampak terhadap lingkungan air terutama
melalui air buangan dari jalan raya. Air yang terbuang dari jalan raya,
terutama terbawa oleh air hujan, akan mengandung bocoran bahan bakar dan juga
larutan dari pencemar udara yang tercampur dengan air tersebut.
Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Apabila air
telah tercemar maka kehidupan manusia terganggu. Ini merupakan bencana besar.
Hampir semua mahluk hidup dimuka bumi ini memerlukan air. Apabila air sudah
tercemar, maka dapat menyebabkan kerugian bagi umat manusia. Air yang sudah
tercemar oleh limbah industri, rumah tangga dan lain-lain tidak dapat
dipergunakan, karena sudah tercemar. Apabila digunakan dapat menimbulkan
berbagai penyakit menular. Pencemaran air dapat dihindari apabila masing-masing
pihak mau menjaga. Didalam kegiatan industri dan teknologi air yang telah
digunakan (air limbah industri) tidak boleh langsung dibuang ke lingkungan
karna dapat menyebabkan pencemaran. Jadi, harus diproses daur ulang baru
dikembalikan ke lingkungan.
4.4.3
Kebisingan
Bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki, atau
tenaga getaran yang tidak terkendali. Umumnya ada tiga sumber kebisingan :
a.
Kebisingan lalu lintas/transportasi
b.
Kebisingan pekerjaan atau industri
c.
Kebisingan penduduk/permukiman
Semua kebisingan tersebut dapat menghasilkan
kerusakan fisik dan psikologis. Kebisingan lalu lintas adalah konstan dan
menyebar luas, karena itu menimbulkan masalah-masalah yang lebih serius. Pada
umumnya kecepatan kendaraan yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat
kebisingan yang lebih tinggi pula, dan permukaan jalan yang makin kasar juga
akan menghasilkan kebisingan yang makin tinggi. Bunyi yang paling keras ditimbulkan
di daerah persimpangan (intersection area) dengan adanya kendaraan yang
berhenti atau mengerem, serta kendaraan yang mulai berjalan.
4.4.4
Dampak
Transportasi Bagi Lingkungan (Kesehatan Masyarakat)
Dampak terhadap
kesehatan merupakan dampak lanjutan dari dampak terhadap lingkungan udara.
Tingginya kadar timbal dalam udara perkotaan telah mengakibatkan tingginya
kadar timbal dalam darah dimana senyawa CO dapat menimbulkan reaksi pada
hemoglobin (Hb) dalam darah.
Karakteristik biologik
yang paling penting dari CO adalah kemampuannya untuk berikatan dengan
haemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengakut oksigen keseluruh tubuh.
Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihaemoglobin (HbCO) yang 200 kali
lebih stabil dibandingkan oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian HbCO yang relatif
lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut dalam
fungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini bisa berakibat
serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Dampat keracunan CO
sangat berbahaya bagi orang yang telah menderita gangguan pada otot jantung
atau sirkulasi darah periferal yang parah. Dampak dari CO bervasiasi tergantung
dari status kesehatan seseorang. Pengaruh CO kadar tinggi terhadap sistem
syaraf pusat dan sistem kardiovaskular telah banyak diketahui. jelas bahwa CO
mampu untuk mengganggu transpor oksigen ke seluruh tubuh yang dapat berakibat
serius pada seseorang yang telah menderita sakit jantung atau paru-paru.
Substansi pencemar yang terdapat di udara dapat masuk ke dalam tubuh melalui sistem
pernapasan. Dari paru-paru, zat pencemar diserap oleh sistem peredaran darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Dampak kesehatan yang paling umum dijumpai adalah ISNA (infeksi saluran napas atas),
termasuk di antaranya, asma,
bronkitis,
dan gangguan pernapasan lainnya. Beberapa zat pencemar dikategorikan sebagai toksik dan karsinogenik.
4.4.5
Dampak
Terhadap Nilai Waktu
Tujuan dasar dari
perencanaan transportasi adalah merencanakan jumlah serta lokasi kebutuhan akan
transportasi (misalnya menentukan total pergerakan, baik untuk angkutan umum
maupun angkutan pribadi) pada masa mendatang ataupun pada tahun rencana yang
akan digunakan untuk berbagai kebijakan investasi perencanaan transportasi
(Tamin, 2000). Untuk mengantisipasi kondisi transportasi jalan kota melalui
penyediaan sarana dan prasarana angkutan yang memenuhi kebutuhan di masa yang
akan datang, maka diperlukan analisis ekonomi yang bertujuan untuk menilai
manfaat yang dapat diperoleh, diantaranya penghematan atas waktu tempuh (time saving). Nilai waktu perjalanan
didefinisikan sebagai sejumlah uang yang bersedia dikeluarkan oleh seseorang
untuk menghemat waktu perjalanan atau sejumlah uang yang disiapkan untuk
dibelanjakan atau dikeluarkan oleh seseorang dengan maksud untuk menghemat atau
untuk mendapatkan satu unit nilai waktu perjalanan. Teori nilai waktu muncul
disebabkan oleh adanya hipotesis tentang individu memilih atau membagi waktunya
untuk berbagai kegiatan dan bagaimana pilihan atau pembagian waktu tersebut
berkaitan dengan suatu keputusan (Hensher, 1989).
Kondisi permasalahan
transportasi di Jakarta kini berdampak terhadap nilai waktu. Bagi individu yang
melakukan perjalanan dengan tujuan kerja, nilai waktu yang dilewatkan mungkin
akan mempunyai perbedaan yang berarti dibandingkan bagi mereka yang melakukan
perjalanan dengan maksud berwisata atau sekedar mengunjungi teman atau
keluarga. Sistem transportasi yang buruk di sebagian besar wilayah Jakarta
telah menimbulkan kemacetan sangat parah. Kerugian akibat macet dari
perhitungan kemacetan menyebabkan waktu yang terbuang percuma (nilai waktu).
Biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan.
Berdasarkan data
Yayasan Pelangi, kemacetan lalu lintas berkepanjangan di Jakarta menyebabkan
pemborosan senilai Rp 8,3 triliun per tahun. Data yang sama diungkapkan Ketua
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bambang Susantono, mengacu pada kajian
Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004).
Perhitungan itu mencakup tiga aspek sebagai konsekuensi kemacetan, yakni
pemborosan BBM akibat biaya operasional kendaraan senilai Rp 3 triliun,
kerugian akibat waktu yang terbuang Rp 2,5 tri- liun, dan dampak kesehatan
akibat polusi udara sebesar Rp 2,8 triliun. Angka kerugian akan terus meningkat
secara gradual seiring kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di Jakarta.
Tingginya penggunaan kendaraan bermotor menjadi pemicu utama permasalahan
kemacetan di DKI Jakarta.
4.4.6
Solusi
Untuk Menanggulangi Dampak Negatif dari Permasalahan Transportasi
Perencanaan sistem
transportasi harus disertai dengan pengadaan prasarana yang sesuai dan memenuhi
persyaratan dan kriteria transportasi antara lain volume lalu lintas, kecepatan
rata-rata, aliran puncak, keamanan pengguna jalan. Selain itu harus juga
memenuhi persyaratan lingkungan yang meliputi jenis permukaan, pengamanan
penghuni sepanjang jalan, kebisingan, pencemaran udara, penghijauan, dan
penerangan. Dalam mencapai sistem transportasi yang ramah lingkungan dan hemat
energi, persyaratan spesifikasi dasar prasarana jalan yang digunakan sangat
menentukan. Permukaan jalan halus, misalnya, akan mengurangi emisi pencemaran
debu akibat gesekan ban dengan jalan. Jalur hijau sepanjang jalan raya akan
mereduksi tingkat kebisingan lingkungan pemukiman yang ada di sekitar dan
sepanjang jalan, dan juga akan mengurangi emisi pencemar udara keluar batas
jalan yang memiliki kecepatan tinggi. Dalam konteks ini, untuk mencapai sistem
transportasi darat yang terbebas dari dampak terhadap lingkungan, ada beberapa
hal yang perlu dijalankan, di antaranya;
a. Rekayasa
lalu lintas.
Rekayasa lalu
lintas khususnya menentukan jalannya sistem transportasi yang direncanakan.
Penghematan energi dan reduksi emisi pencemar dapat dioptimalkan secara terpadu
dalam perencanaan jalur, kecepatan rata-rata, jarak tempuh per kendaraan per
tujuan (vehicle mile trip dan passenger
mile trip), dan seterusnya. Pola berkendara (driving pattern/cycle) pada dasarnya dapat direncanakan melalui
rekayasa lalu lintas. Dalam perencanaan, pertimbangan utama diterapkan adalah
bahwa aliran lalu lintas berjalan dengan selancar mungkin, dan dengan waktu
tempuh yang sekecil mungkin, seperti yang dapat di uji dengan model asal-tujuan
(origin-destination). Dengan meminimumkan waktu tempuh dari setiap titik asal
ke titik tujuannya masing-masing akan dapat dicapai efisiensi bahan bakar yang
maksimum, dan reduksi pencemar udara yang lebih besar.
b. Pengendalian
pada sumber (mesin kendaraan).
Jenis kendaraan
yang digunakan sebagai alat transportasi merupakan bagian di dalam sistem
transportasi yang akan memberikan dampak bagi lingkungan fisik dan biologi
akibat emisi pencemaran udara dan kebisingan. Kedua jenis pencemaran ini sangat
ditentukan oleh jenis dan kinerja mesin penggerak yang digunakan. Perubahan-perubahan
yang dilakukan dalam rencana mesin, meliputi pemasangan (katup) PCV palse
sistem karburasi, sistem pemantikan yang memungkinkan pembakaran lebih
sempurna, sirkulasi uap bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi emisi tangki
BBM, dan after burner untuk
menurunkan emisi. Sedangkan teknologi retrofit disyaratkan dengan pemasangan
alat Retrofit Catalitic Converter untuk mereduksi emisi HC dan NOX dan debu
(TSP). Teknologi ini membawa implikasi yang besar terhadap sistem BBM, karena tetra ethyl lead (TEL) tidak dapat lagi
ditambahkan dalam BBM.
c. Energi
transportasi.
Besarnya
intensitas emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor selain ditentukan oleh
jenis dan karakteristik mesin, juga sangat ditentukan oleh jenis BBM yang
digunakan. Seperti halnya penggunaan LPG, akan memungkinkan pembakaran sempurna
dan efisiensi energi yang tinggi. Selain itu dalam rangka upaya pengendalian
emisi gas buang, bila peralatan retrofit digunakan, diperlukan syarat bahan
bakar, khusus yaitu bebas timbal.
Upaya
yang telah dilakukan di DKI Jakarta adalah dengan penerapan program car free day. Hasil pengukuran terakhir
kualitas udara DKI Jakarta pada maret 2010 menunjukkan bahwa penurunan tingkat
pencemaran udara terjadi secara signifikan. Hasil pengukuran terakhir
menunjukkan, kadar debu di DKI Jakarta berkurang sampai 71 persen. Itu
menunjukkan bahwa program car free day
yang telah dilaksanakan berjalan efektif dan telah memberikan dampak positif.
Selain itu, tiap bulannya Pemerintah provinsi DKI Jakarta menggelar pula
Jakarta Great Clean dengan cara melakukan penutupan jalan-jalan atau
kawasan-kawasan tertentu di Jakarta selama 6 jam, antara lain jalan
Sudirman-Thamrin, kawasan Kota Tua, Rasuna Said, Boulevard Artha Gading, dan
jalan Letjen Suprapto.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan pada bab
sebelumnya, maka dapat diperoleh suatu simpulan sebagai berikut:
1. Jakarta
adalah sebuah kota dengan penduduknya yang terdiri dari berbagai sektor dengan
jumlah yang padat. Untuk melayani semua kegiatan, Jakarta harus memiliki sistem
kualitas transportasi yang dapat melayani seluruh penduduk Jakarta.
Permasalahan sistem transportasi Jakarta saat ini terletak pada besarnya volume
kendaraan yang tidak sesuai dengan kapasitas ruas jalan. Selain itu, jaringan
jalan yang tidak memadai, pertumbuhan kendaraan yang sangat tinggi, tidak
memadainya pelayanan angkutan umum, pelanggaran ketentuan lalu lintas serta
kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat.
2. Permasalahan
sistem transportasi Jakarta tidak hanya terletak pada sarana dan prasarana
transportasi, tetapi merupakan interaksi antara bagian-bagian sistem
transportasi makro yaitu sistem kegiatan, sistem jaringan transportasi, sistem
pergerakan lalu lintas, serta sistem kelembagaan.yang saling mempengaruhi.
Setiap sistem kegiatan akan menimbulkan pergerakan dan membutuhkan sistem
jaringan sebagai sarana serta prasarannya apabila tidak dilakukan pengaturan
dengan baik akan menimbulkan permasalahan lalu lintas. Dalam usaha untuk
menjamin terwujudnya sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah,
handal, dan sesuai dengan lingkunganya maka diperlukan peranan sistem
kelembagaan.
3. Dalam
pembenahan sistem transportasi diperlukan penerapan pola transportasi makro,
antara lain dengan pengembangan angkutan umum massal, pembatasan lalu lintas
serta peningkatan kapasitas jaringan. Prinsipnya adalah meningkatkan
aksesibilitas, memasyarakatkan angkutan umum massal serta mengurangi penggunaan
kendaraan pribadi. Dengan demikian jelas diperlukan adanya kebijakan pemerintah
untuk membenahi sistem transportasi DKI Jakarta. Kebijakan ini lebih
dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan angkutan umum yang layak dan dikelola
dengan baik. Pengembanagan busway
Transjakarta merupakan solusi sarana angkutan umum yang telah dilakukan. Serta
saat ini telah dilakukan perencanaan dan pembangunan monorel serta subway
sebagai solusi pembenahan angkutan massal DKI Jakarta.
4. Permasalahan
transportasi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan udara yang berupa
polusi asap kendaraan, terhadap lingkungan air melalui air buangan dari jalan
raya, dampak kebisisngan suara yang ditimbulkan oleh suara mesin kendaraan,
dampak bagi kesehatan manusia serta dampak kemacetan terhadap nilai waktu yang
mencapai 8,3 triliun per tahun.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan
yang didapat dari hasil penelitian diatas, maka penulis mencoba memberikan
saran. Adapun saran-saran tersebut antara lain :
1.
Dalam pemilihan sistem serta layanan
transportasi yang utama diperlukan adalah integrasi. Angkutan umum perkotaan harus
terintegrasi dan memberikan opsi berkendaraan bagi warga di perkotaan.
Pemerintah sebagai pembina sistem harus mampu menempatkan diri dan sebagai
pengendali layanan yang dibutuhkan masyarakat. Simulasi dan pemodelan sebaiknya
dilakukan, sehingga pemerintah dapat memetakan bagaimana pergerakan barang dan
manusia terjadi di suatu kota.
2.
Perlu dilakukan pengendalian jumlah
penduduk serta pengawasan pertumbuhan guna lahan baru yang tidak sesuai dengan
RTRW kota Jakarta.
3.
Perencanaan sistem transportasi harus
disertai dengan pengadaan prasarana yang memadai dan memenuhi persyaratan dan
kriteria transportasi yang baik.
4.
Masalah transportasi dalam kaitannya
dengan lingkungan memerlukan usaha untuk mengatasinya secara terencana dan
terpadu. Perencanaan sistem transportasi haruslah menjadi prioritas dalam upaya
menanggulangi hal tersebut, terutama dalam menekan dampak negatif bagi
lingkungan. Dampak sektor transportasi terhadap lingkungan perlu dikendalikan
dengan melihat semua aspek yang ada di dalam sistem transportasi, mulai dari
perencanaan sistem transportasi, model transportasi, sarana, pola aliran lalu
lintas, jenis mesin kendaraan dan bahan bakar yang digunakan.